Kamis, 27 April 2017

Makalah Filsafat : Kerangka Berpikir Filsafat Ontologi



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales berpendirian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan dan ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi permasalahan bagaimana menerangkan hakikat dari segala yang ada. Pertama, orang akan berhadapan dengan dua kenyataan yaitu berupa materi dan rohani. Pembicaraan mengenai hakikat sangatlah luas, meliputi segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat ada adalah kenyataan sebenarnya bukan kenyataan sementara atau berubah-ubah.
Secara ringkas Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Maka dalam uraian makalah ini, akan dijelaskan tentang Bidang Kajian Ontologi, apa saja aliran-aliran dalam Ontologi, dan bagaimana Asumsi Ontologi Ilmu.

B.          Rumusan Masalah
1.            Apakah yang di kaji dalam Bidang Kajian Ontologi ?
2.            Apa saja Aliran-aliran Ontologi ?
3.            Bagaimana Asumi Ontologi Ilmu ?

C.          Tujuan Penulisan
1.             Menjelaskan Bidang Kajian Ontologi.
2.             Menjelaskan Aliran-aliran Ontologi.
3.             Menerangkan Asumsi Ontologi Ilmu.











BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pengertian Ontologi
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistimologi), dan teori nilai (aksiologi).[1]
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[2]
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.[3]
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.[4]

Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama, ontologi mempersoalkan tentang Tuhan.[5] Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan ontologi berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika semata-mata.[6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut islitah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak.

1.        Bidang Kajian Ontologi
Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M yang menamai teori tentang hakikat yang ada bersifat metafisis. Ontologi mengkaji segala sesuatu yang ada yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal dan ada yang bersifat mutlak. Adapun bidang yang termasuk dalam ontologi yaitu kosmologi dan metafisika dengan segala sumber yang ada yaitu Tuhan Yang Maha Esa penentu alam semesta. Studi tentang yang ada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh kenyataan.


2.        Manfaat Kajian Ontologi
Mempelajari Ontologi akan dapat mengetahui nilai-nilai penting yang terdalam dari yang ada. Jika dilihat dari manfaat mempelajari filsafat itu sendiri maka filsafat akan mengajarkan tentang hakikat alam semesta. Filsafat terbagi atas cabang-cabang yang lebih terperinci. Salah satunya adalah kajian metafisika, menurut Kattsoff cabang filsafat metafisika adalah hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal-hal yang terdapat dibalik yang tampak.

3.        Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada diluar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi (2005: 14), metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’ yang berada di luar pengalaman manusia. Menurut Achmadi, metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa berlaku pada umumnya, atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada di luar kebiasaan manusia.
Metafisika berasal dari kata meta dan fisika, yang artinya meta ; sesudah, selain atau dibalik sedangkan fisika berarti nyata atau alam fisik. Dengan kata lain metafisika mengandung arti hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata. Dari ilmu filsafat metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dibalik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap pancaindra.
Tafsiran pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud gaib dan wujud ini lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animisme atau roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda seperti batu, pohon merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Paham naturalisme adalah paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Paham materisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat, dalam alam itu sendiri.
Menurut Conny Semiawan dkk. (2005: 158) memberikan pernyataan bahwa metafisika dimasukkan ke dalam ontologi filsafat ilmu. Dengan demikian ontologi didalam filsafat ilmu menyelidiki segala kemungkinan dari kenyataan yang terjadi.
Berdasarkan perkembangannya Christian Wolff (1679-1757) membagi metafisika menjadi dua yaitu:

a.         Metafisika Umum Membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
b.        Metafisika Khusus
Terbagi atas:  Kosmologi yang membicarakan alam semesta, Psikologi adalah cabang ilmu filsafat tentang jiwa manusia dan teologi adalah cabang ilmu yang khusus membicarakan Tuhan.

B.          Aliran-Aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (Where is being?)”.[7]

·           Apakah yang ada itu? (What is being?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima aliran filsafat, yaitu sebagai berikut :
1.             Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a.    Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[8]
Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.[9]
b.    Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[10] Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.[11]
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[12]

2.    Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).[13]
3.    Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
4.    Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
5.    Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.[14]
·           Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
·           Di manakah yang ada itu? (Where is being?)
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.[15]

C.          Asumsi Ontologis Ilmu
Pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional. Berkaitan dengan pengkajian konsep-konsep, pengandaian-pengandaian. Dengan demikian filsafat ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya dan juga dengan perluasan serta penyusunan cara-cara yang lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Karena setiap ilmu selalu memerlukan asumsi, Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.









                                            














BAB III
KESIMPULAN

A.          Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ontologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat sesuatu yang ada atau hakikat dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan Bidang Kajian Ontologi mengkaji segala sesuatu yang ada yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal dan ada yang bersifat mutlak. Sehingga dapat mengetahui nilai-nilai penting yang terdalam dari yang ada. Jika dilihat dari manfaat mempelajari filsafat itu sendiri maka filsafat  akan mengajarkan tentang hakikat alam semesta. Filsafat terbagi atas cabang-cabang yang lebih terperinci. Salah satunya adalah kajian metafisika.
Dan Aliran-aliran ontologi itu sendiri adalah bagian metafisika umum, yang membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh yang mengkaji persoalan seperti hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kebebasan dan lainnya. Sehingga timbul aliran-aliran dalam pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti Monoisme, Dualisme, Prularisme, Nikhilisme dan Agnotisisme.
Sedangkan Asumsi Ontologis Ilmu adalah Pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional. Berkaitan dengan pengkajian konsep-konsep dan pengandaian-pengandaian. Asumsi Ontologis Ilmu adalah hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA

Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wibisono. 2008. Filsafat Ilmu. (Online), http://cacau.blogsome.com
Suriasumantri, Jujun S. 1985. Pengantar Ilmu dalam Perspektif, cet. VI. Jakarta: Gramedia.
Gazalba, Sidi. 1973. Sistimatika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan, buku II, cet. I. Jakarta: Bulan Bintang.
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama I, cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar Pustaka Publisher.
Sunarto. 1983. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Nasution, Harun. 1982. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Anis, Farina. 2007. Ontologi Islam. (Online), (http://permenungan.multiply.com)

·                https://febifebriansyah60.wordpress.com/2013/01/11/ontologi-dalam-filsafat-ilmu-2/ (diakses 24 Februari 2016).
·                http://iskandarxxx92.blogspot.co.id/2013/01/makalah-bidang-kajian-ontologi.html (diakses 24 Februari 2016).



[1] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm. 47.
[2] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 132.
[3] Wibisono. Filsafat Ilmu. 2008. (Online), (http://cacau.blogsome.com)
[4] Jujun S. Suriasumantri. Pengantar Ilmu dalam Perspektif, cet. VI. Jakarta: Gramedia. 1985. hlm. 5
[5]  Sidi Gazalba. Sistimatika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan, buku II, cet. I. Jakarta: Bulan Bintang. 1973. hlm. 106.
[6] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama I, cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. hlm. 169.
[7] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar Pustaka Publisher. 2006. hlm. 25.
[8] Sunarto. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. 1983. hlm. 70.
[9]  Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996. hlm. 64.
[10] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 138.
[11] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm. 48.
[12] Harun Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1982. hlm. 53.
[13] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 142.
[14] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 148.
[15] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka Publisher. 2006. hlm. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...