Kamis, 27 April 2017

Makalah Majaz Aqli



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pada pembahasan awal materi Bahasa Arab IV telah dijelaskan tentang at-tasybih dan macam-macamnya, yaitu penyerupaan hal yang satu dengan hal yang lainnya baik itu verbal atau non verbal.
Ulama’ Balaghah berpendapat bahwa asal dari uslub majaz adalah uslub tasybih, perbedaannya adalah jika tasybih itu musyabah dan musyabah bih-nya harus ada dalam kalimat, sedangkan majaz hanya ada satu daintara keduanya. Didalam buku Ilmu Balaghah antara Al-Bayan dan Al-Badi’, majaz dibagi menjadi 3, yaitu majaz isti’arah, majaz mursal dan majas ‘Aqli. Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan membahas salah satu dari pembagian majaz tersebut yaitu majaz aqli.

B.     Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian dari Majas Aqli?
2.        Bagaimana nilai majaz mursal dan majas aqli dalam ilmu Balaghah?

C.      Tujuan penulisan
1.        Mengetahui pengertian dari Majas Aqli
2.        Mengetahui nilai dari majas mursal dan majas aqli dalam ilmu Balaghah








BAB II
PEMBAHASAN

A.          Majas Aqli
1.        Contoh-Contoh
a.       Al-Mutannabi berkata daam menyifati Raja Romawi setelah dipukul mundur oleh Saifud-Daulah:
Tongkat yang bermata lembing itu berjalan-jalan di rumah pendeta bersamanya untuk bertobat, padahal semula ia tidak rela melihat larinya kuda blonde yang pendek bulunya.

b.      Amr bin Ash membangun Kota Fusthath (mesir kuno)
c.       Siangnya Zahid berpuasa dan malamnya berdiri (shalat)
d.      Jalan-jalan Kairo berdesak-desakkan
e.       Kesungguhanmu sungguh-sungguh dan kelelahanmu lelah.
f.       Al-Khuthai’ah berkata:
Biarkanlah kemurahan-kemurahan itu, janganlah kau berangkat untuk mencarinya. Duduklah, karena sesungguhnya engkau pemberi sandang dan pangan.


g.      Allah subhanahu wata’ala berfirman:
Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat suatu dinding yang tertutup. (Q.S. Al-Isra’: 45)

h.      Allah subhanahu wata’ala berfirman:

Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati. (Q.S. Maryam: 61)

2.        Pembahasan
Perhatikanlah dua contoh pertama! Pada masing-masing contoh itu terdapat fi’il (kata kerja) yang disandarkan tidak kepada fa’il (pelaku)-nya, yakni yamsyii (berjalan) disandarkan kepada al-‘ukkaazu (tongkat bermata lembing) karena tongkay itu tidak dapat berjalan, dan yabnii (membangun) disandarkan kepada Amr bin Ash karena ‘Amr bin Ash sebagai gubernur tidak mungkin ikut membangun secara langsung, yang membangun adalah para pekerjanya. Akan tetapi, karena tongkat itu akan menjadi sebab berjalan dan ‘Amr bin Ash menjadi sebab membangun, maka fi’il itu disandarkan kepada keduanya.
Kemudian pada contoh kedua, puasa disandarkan kepada siang (bukan kepada Zahid sebagai pelakunya), berdiri shalat disandarkan kepada malam, dan berdesak-desakkan (padat) disandarkan kepada jalan raya, padahal siang itu tidak berpuasa, yang berpuasa adalah orang yang hidup di siang hari itu; malam juga tidak berdiri, yang berdiri adalah orang yang shalat pada malam itu; jalan-jalan di Kairo juga tidak berdesak-desakan, yang berdesak-desakan adalah orang atau kendaraan yang lewat di jalan itu. Jadi, pada dua contoh kedua ini fi’il atau yang serupa dengannya disandarkan kepada kata yang bukan tempat sandaran yang sebenarnya. Faktor yang memperbolehkan penyandaran demikian adalah karena musnad ilaih (sesuatu yang menjadi sandaran) pada kedua contoh tersebut merupakan waktu atau tempat berlangsungnya pekerjaan.
Pada contoh kelima terdapat dua fi’il, yaitu jadda dan kadda, disandarkan kepada mashdar (kata dasar / asal) masing-masing dan tidak kepada fa’il masing-masing. Pada contoh keenam, Huthai’ah berkata kepada orang yang diejeknya, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau adalah orang yang memberi sandang dan pangan”. Apakah Anda mengira bahwa setelah berkata, “Jangan berangkat untuk mencari kemurahan,” lalu berkata, “sesungguhnya engkau adalah orang yang memberi sandang dan pangan orang lain?” Tentu tidak demikian. Yang ia maksud tiada lain adalah: “Duduklah dengan total (menjadi beban bagi) orang lain dengan mendapat makanan dan pakaian”. Jadi, kata sifat yang mabnii faa’il disandarkan dengan dhamiir maf’uul.
Pada contoh terakhir terdapat kata mastuuran menggantikan kata saatirun, dan kata ma-tiyyan menggantikan kata aatin. Jadi, isim maf’ul digunakan untuk menggantikan kedudukan isim fa’il. Atau dengan kata lain, sifat yang mabni maf’ul disandarkan kepada fa’il.
Dari contoh-contoh diatas kita lihat beberapa fi’il atau yang menyerupainya tidak disandarkan kepada fa’ilnya yang hakiki, melainkan kepada penyebab fi’il, kepada waktunya, tempatnya, atau kepada mashdar-nya, dan beberapa kata sifat yang seharusnya disandarkan kepada maf’ul (objek penderita), namun disandarkan kepada fa’il (subyek), serta kata sifat yang lain yang seharusnya disandarkan kepada fa’il, namun disandarkan kepada maf’ul. Mudah untuk diketahui bahwa penyandaran yang demikian adalah bukan penyandaran yang hakiki karena penyandaran hakiki adalah penyandaran fa’il kepada fa’il-nya yang hakiki. Kalau demikian, maka penyandaran disini adalah majaz daan disebut sebagai majaz aqli karena majaz nya tidak terdapat pada lafaz sebagaimana pada majaz mursal dan isti’aarah, melainkan pada penyandaran, dan hal ini dapat diketahui melalui pemikiran yang tajam atau dengan akal.

3.        Kaidah-Kaidah
(24) Majaz Aqli adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki.
(25) Penyandaran majazi adalah penyandaran kepada sebab fi’il, waktu fi’il, tempat fi’il, atau mashdar-nya, atau penyandaran isim mabnii fa’il kepada maf’ul-nya, atau isim mabni maf’ul kepada fa’il-nya.

4.        Latihan-Latihan
a.       Abuth-Thayyib berkata:
Wahail Abal-Misk (nama julukan Kafur Al-Ikhisyidi), aku mengharap pertolongan darimu unntuk menghadapi musuh-musuhku, dan aku mengharapkan kemenangan yang melumurkan pedang dengan darah. Dan (saya mengharapkan) suatu hari yang membuat kemarahan oraang-orang yang (dengki) kepadaku, dan suatu keadaan yang menempatkan kesengsaraan ditempat kenikmatan.

b.      Allah subhanahu wata’ala berfirman:
(Nuh berkata), “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah kecuali Allah (saja) Yang Maha Penyayang,” (Q.S. Huud: 43)

c.        
Kami berangkat ke kebun yang banyak bernyanyi.

d.       
Ismail membangun banyak madrasah di Mesir

e.       Abu Tammam berkata:
Hampir-hampir pemberiannya kegila-gilaan bila tidak diobati oleh ruqyah peminta-mintanya.

Contoh Penyelesaian:
a.        
Penyandaran melumurkan pedang kedalam darah kepada kemenangan adalah penyandaran yang tidak hakiki karena kemenangan itu tidak melumurkan darah ke pedang, melainkan hanya sebab terhimpunnya kekuatan dan bala tentara yang melumurkan pedang mereka ke dalam darah. Jadi, ungkapan diatas mengandung majaz aqli yang hubungan maknanya adalah sababiyyah.

Penyandaran membuat kemarahan orang-orang yang dengki adalah penyandaran yang bukan hakiki karena hari itu merupaakan waktu berlangsungnya kemarahan. Jadi. Kalimat diatas mengandung majaz aqli yang hubungan maknanya adalah zamaniyyah

b.       
Makna ayat adalah (boleh seperti terjemahan diatas, atau):  Tidak ada yang dilindungi hari ini dari azab Allah kecuali orang yang disayang Allah. Jadi, isim fa’il disandarkan kepada maf’ul. Yang demikian adalah majaz aqli yang hubungannya adalah maf’uliyyah.

c.        
Kebun itu tidak bernyanyi-nyanyi. Yang bernyanyi itu tiada lain adalah burung-burung yang ada padanya atau lalat-lalat dan lebahnya. Jadi, kalimat tersebut mengandung majaz aqli yang hubungan maknanya adalah makaaniyyah.

d.       
Ismail tidaklah membangun sendiri madrasah di Mesir, melainkan beliau hanya memerintahkan pembangunannya. Jadi, penyandaran tersebut adalah majaz aqli yang hubungan maknanya adalah sababiyyah.

e.        
Penyandaran fi’il kepada mashdar-nya adalah majaz aqli yang hubungan maknanya adalah mashdariyyah.

B.          Nilai Majaz Mursal dan Majaz Aqli dalam Balaghah
Apabila kalian memperhatikan macam-macam majaz mursal dan majaz aqli, maka akan kita temukan bahwa kebanyakan majaz itu mengemukakan makna yang dimaksud dengan singkat. Bila kita katakan:  (Komandan itu menyisihkan pasukan musuh) atau  (Majelis menetapkan demikian), maka akan lebih ringkas daripada kita katakan:  (Tentaranya komandan itu mengusir pasukan musuh) atau   (Ahli majelis itu menetapkan demikian). Tidak syak lagi bahwa keringkasan ungkapan itu adalah salah satu jenis balaghah.
Disamping itu, ada celah-celah balaghah yang lain pada kedua majaz ini, yakni kemahiran memilih titik singgung antar makna asli dan makna majazi dengan mengusahakan majaz itu dapat menggambarkan makna makna yang dikehendaki dengan gambaran yang lebih baik, seperti menyebut intelijen dengan mata, menyebut telinga kepada orang yang mudah tersinggung, dan menyebut khuf dan telapak kaki dengan maksud keindahan dan kuda. Semua contoh ini adalah dalam majaz mursal,. Atau seperti menyandarkan sesuatu kepada sebabnya, tempatnya, dan waktunya dalam majaz aqli karena balaghah itu mengharuskan pemilihan sebab yang kuat dan tempat serta waktu yang khusus.
Dan apabila kita perhatikan dengan cermat, maka akan kita dapatkan bahwa kebanyakan majaz mursal dan majaz aqli itu tidak lepas dari mubalaghah (berlebih-lebihan) yang indah dan berpengaruh, menjadikan majaz itu begitu menarik dan mencengkeram kuat dalam hati. Penyebutan keseluruhan dengan maksud sebagian adalah suatu mubalaghah, demikian juga menyebut sebagian dengan maksud keseluruhan, sebagaimana dikatakan: Fulaanun famun (Si Pulan adalah mulut) dengan maksud bahwa si Pulan adalah orang yang rakus yang melahap segala sesuatu, atau Fulaanun anfun (Si Pulan adalah hidung) dengan maksud bahwa hidungnya besar sehingga berlebih-lebihan dengan menjadikan bahwa seluruhnya adalah hidung. Diantara pernyataan dalam menyifati orang yang besar hidungnya adalah pernyataan sebagian sastrawan:

(Saya tidak tahu apakah ia yang berada pada hidungnya, ataukah hidungnya yang ada pada dia)



























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.        Majaz Aqli adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki.
2.        Nilai dari majaz mursal dan majaz aqli dapat disimpulkan bahwa kebanyakan majaz mursal dan majaz aqli itu tidak lepas dari mubalaghah (berlebih-lebihan) yang indah dan berpengaruh, menjadikan majaz itu begitu menarik dan mencengkeram kuat dalam hati. Penyebutan keseluruhan dengan maksud sebagian adalah suatu mubalaghah, demikian juga menyebut sebagian dengan maksud keseluruhan















DAFTAR PUSTAKA
Al-Jarim, Ali & Musthafa Amin. 1994. Terjemahan Al-Balaghah Waadhihah. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...