Kamis, 27 April 2017

Makalah sirah nabawi : Nabi berdagang dan Pernikahan Nabi dengan Khadijah



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Kisah para nabi khususnya Nabi Akhir Zaman yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kisah yang selalu menarik dan tidak ada bosannya untuk dikaji secara terus-menerus mengingat begitu banyak hikmah, pelajaran, suri tauladan dan yang lainnya untuk kita ambil dan diharapkan bisa dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah ini dimulai dari kehidupan Jahiliyah masyarakat Arab waktu itu, Kelahiran Nabi, turunnya wahyu, sepak terjang Nabi dalam memperjuangkan Islam termasuk terlibat dalam hampir setiap peperangan melawan kaum kafir hingga akhirnya Islam bisa Berjaya dan tersebar hampir keseluruh dunia
Sirah Nabawiah ini merupakan kisah nyata terbaik yang pernah ada dan takkan pernah terlupakan terutama dihati orang-orang Mukmin tentang sejarah Islam awal hingga masa kejayaannya.
Untuk itulah, kami ingin kembali mengisahkan Kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makalah kali ini, dan tema yang kami bawakan hanya seputar perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama ke Syam dan usahanya mencari rezeki serta Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Harta Khadijah dan pernikahannya.
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari pemaparan makalah ini. Aamiin













B.          Perumusan Masalah
1.             Bagaimana perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Pertama ke Syam dan apa saja Usaha Beliau dalam Mencari Rezeki?
2.             Bagaimana Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Harta Khadijah dan pernikahan beliau dengannya?


C.          Tujuan Penulisan
1.             Menjelaskan tentang perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Pertama ke Syam dan Usaha Beliau dalam Mencari Rezeki
2.             Menjelaskan Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Harta Khadijah dan pernikahan beliau dengannya




















BAB II
PEMBAHASAN

A.          Perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Pertama ke Syam dan Usahanya Mencari Rezeki
Ketika berusia 12 tahun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diajak pamannya, Abu Thalib, pergi ke Syam dalam suatu kafilah dagang. Sewaktu kafilah berada di Bashra, mereka melewati seorang pendeta bernama Bahira. Ia adalah seorang pendeta yang banyak mengetahui Injil dan ahli dalam masalah-masalah kenasranian. Bahira kemudian melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia lalu mulai mengamati Nabi dan mengajaknya berbicara. Bahira kemudian menoleh kepada Abu Thalib dan menanyakan kepadanya, “Apa status anak ini disisimu?” Abu Thalib menjawab, “Anakku (Abu Thalib memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan anak karena kecintaan yang mendalam).” Bahira berkata kepadanya, “Dia bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini masih hidup”. Abu Thalib berkata, “Dia adalah anak saudaraku”. Bahira bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh ayahnya?” Abu Thalib menjawab, “Dia meninggal ketika ibu anak ini mengandungnya.” Bahira berkata, “Anda benar. Bawalah dia pulang ke negerinya dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya disini, pasti akan dijahatinya. Sesungguhnya, anak saudaramu ini akan memegang perkara besar.” Abu Thalib kemudian cepat-cepat membawanya kembali ke Mekkah.[1]
Memasuki masa remaja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertutur tentang dirinya,

“Aku dulu menggembalakan kambing penduduk Madinah dengan upah beberapa qirath.”[2]
Selama masa mudanya, Allah telah memeliharanya dari penyimpangan yang biasanya dilakukan oleh para pemuda seusianya, seperti berhura-hura dan permainan nista lainnya. Bertutur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dirinya,
“Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang biasa mereka lakukan dimasa Jahiliyah kecuali dua kali. Itupun kemudian dicegah oleh Allah. Setelah itu, aku tidak pernah menginginkannya sampai Allah memuliakan aku dengan risalah. Aku pernah berkata kepada seseorang teman yang menggembala bersamaku di Mekkah, “Tolong awasi kambingku karena aku akan memasuki kota Mekkah untuk begadang sebagaimana para pemuda.” Kawan tersebut menjawab,”Lakukanlah”. Lalu aku keluar.
Ketika aku sampai di rumah pertama di Mekkah, Aku mendengar nyanyian lalu aku berkata,”Apa ini?” Mereka berkata, “Pesta”. Aku lalu duduk mendengarkannya. Allah kemudian menutup telingaku lalu aku tertidur dan tidak terbangunkan kecuali oleh panas matahari. Aku kemudian kembali kepada temanku lalu ia bertanya kepadaku dan aku pun mengabarkannya. Pada malam yang lain, aku katakan kepadanya sebagaimana malam pertama. Aku pun masuk ke Mekkah lalu mengalami kejadian sebagaimana malam terdahulu. Setelah itu, aku tidak pernah lagi menginginkan keburukkan.”[3]

Beberapa ‘Ibrah
 Hadits Bahira tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni hadits yang diriwayatkan oleh jumhur ulama sirah dan para perawinya dan dikeluarkan oleh Tirmidzi secara panjang lebar dari hadits Abu Musa al-Asy’ari menunjukkan bahwa para Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani memiliki pengetahuan tentang bi’tsah Nabi dengan mengetahui tanda-tandanya. Ini mereka ketahui dari berita kenabiannya serta penjelasan tentang tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat didalam Taurat dan Injil. Dalil tentang hal ini banyak sekali.
Diantaranya adalah tentang apa yang diriwayatkan oleh para ulama sirah bahwa orang-orang Yahudi biasa memohon kedatang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebelum bi’tsah) untuk mendapatkan kemenangan atas kaum Aus dan Khazraj, dengan mengatakan, “Sesungguhnya sebentar lagi akan dibangkitkan seorang Nabi yang kami akan mengikutinya. Kami lalu bersamanya akan membunuh kalian sebagaimana pembunuhan yang dialami oleh kaum ‘Aad dan Iram.” Ketika orang-orang Yahudi mengingkari janjinya, Allah menurunkan Firman-Nya,
$£Js9ur öNèduä!%y` Ò=»tGÏ. ô`ÏiB ÏYÏã «!$# ×-Ïd|ÁãB $yJÏj9 öNßgyètB (#qçR%x.ur `ÏB ã@ö6s% šcqßsÏFøÿtGó¡tƒ n?tã tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. $£Jn=sù Nèduä!$y_ $¨B (#qèùttã (#rãxÿŸ2 ¾ÏmÎ/ 4 èpuZ÷èn=sù «!$# n?tã šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÑÒÈ
dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka[1], Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (Q.S. Al-Baqoroh 2: 89)

[1] Maksudnya kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya.

Al-Qurtubi dan lainnya meriwayatkan bahwa ketika turun Firman Allah,
tûïÏ%©!$# ãNßg»uZ÷s?#uä |=»tGÅ3ø9$# ¼çmtRqèù̍÷ètƒ $yJx. tbqèù̍÷ètƒ öNèduä!$oYö/r& ( ¨bÎ)ur $Z)ƒÌsù öNßg÷ZÏiB tbqßJçGõ3us9 ¨,ysø9$# öNèdur tbqßJn=ôètƒ ÇÊÍÏÈ
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) Mengenal Muhammad seperti mereka Mengenal anak-anaknya sendiri[2]. dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka Menyembunyikan kebenaran, Padahal mereka mengetahui. (Q.S. Al-Baqoroh 2: 146)

[2] Mengenal Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Yaitu Mengenal sifat-sifatnya sebagai yang tersebut dalam Taurat dan Injil.

Umar bin Khattab bertanya kepada Abdullah bin Salam (Seorang Ahli Kitab yang telah masuk Islam), “Apakah kamu mengetahui Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kamu mengetahui anakmu?” Ia menjawab, “Ya, bahkan lebih banyak. Allah mengutus (malaikat) kepercayaan-Nya dibumi dengan sifat-sifatnya, lalu saya mengetahuinya. Adapun anak saya maka saya tidak mengetahui apa yang telah terjadi dari ibunya.”
Bahkan keislaman Salman al-Farisi juga disebakan karena ia telah melacak berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sifat-sifatnya dari Injil, para pendeta, dan ulama al-Kitab.
Ini tidak dapat dinafikan oleh banyaknya para Ahli Kitab yang mengingkari adanya pemberitaan tersebut atau oleh tidak adanya isyarat penyebutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam Injil yang beredar sekarang. Hal ini karena terjadi pemalsuan dan perubahan secara beruntun pada kitab-kitab tersebut telah diketahui dan diakui oleh semua pihak. Mahabenar Allah yang berfirman didalam kitab-Nya,
öNåk÷]ÏBur tbqÏiBé& Ÿw šcqßJn=ôètƒ |=»tGÅ3ø9$# HwÎ) ¥ÎT$tBr& ÷bÎ)ur öNèd žwÎ) tbqZÝàtƒ ÇÐÑÈ   ×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9 tbqç7çFõ3tƒ |=»tGÅ3ø9$# öNÍkÏ÷ƒr'Î/ §NèO tbqä9qà)tƒ #x»yd ô`ÏB ÏYÏã «!$# (#rçŽtIô±uŠÏ9 ¾ÏmÎ/ $YYyJrO WxŠÎ=s% ( ×@÷ƒuqsù Nßg©9 $£JÏiB ôMt6tGŸ2 öNÍgƒÏ÷ƒr& ×@÷ƒurur Nßg©9 $£JÏiB tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÐÒÈ
dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga[3]. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Al-Baqoroh 2: 78-79)

[3] Kebanyakan bangsa Yahudi itu buta huruf, dan tidak mengetahui isi Taurat selain dari dongeng-dongeng yang diceritakan pendeta-pendeta mereka.

Sehubungan dengan usaha Rasulullah menggembalakan kambing untuk tujuan mencari rezeki, terdapat tiga pelajaran penting.
Pertama, selera tinggi dan perasaan halus. Dengan kedua sifat inilah Allah “memperindah” kepribadian Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selama ini. Pamannyalah yang mengasuh dengan kasih sayang sebagai seorang bapak. Akan tetapi, begitu merasakan kemampuan untuk bekerja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera melakukannya dan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya. Barangkali hasil yang diperolehnya dari hasil pekerjaan yang dipilihkan Allah tersebut tidak begitu banyak dan penting bagi pamannya, tetapi ini merupakan akhlak yang mengungkapkan rasa syukur, kecerdasan watak, dan kebaikan prilaku.
Kedua, berkaitan dengan penjelasan tentang bentuk kehidupan yang diridhoi oleh Allah untuk para hamba-Nya yang saleh didunia. Sangatlah mudah bagi Allah mempersiapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal kehidupannya, segala sarana kehidupan dan kemewahan yang dapat mencukupi sehingga tidak memerlukan lagi memeras keringat menggembalakan kambing. Akan tetapi, hikmah Ilahi menghendaki agar kita mengetahui bahwa harta manusia yang terbaik adalah harta yang diperoleh dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan saudaranya. Sebaliknya, harta yang terburuk ialah harta yang didapatkan seseorang tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan kepada masyarakat.
Ketiga, para aktivis dakwah (dakwah apa saja) tidak akan dihargai orang manakala mereka menjadikan dakwah sebagai sumber rezekinya atau hidup dari mengharapkan pemberian dan sedekah orang.
Karena itu, para aktivis dakwah Islam merupakan orang yang paling patut untuk mencari ma’isyah (nafkah)-nya melalui usaha sendiri atau sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar mereka tidak “berutang budi” kepada seorangpun yang menghalangi dari menyatakan kebenaran dihadapan “investor budi”.
Kendatipun hakikat ini belum terlintas dalam benak pikiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa itu karena beliau belum mengetahui bahwa dirinya akan diserahi urusan dakwah dan risalah Ilahi, manhaj yang ditetapkan Allah untuk itu telah mengandung tujuan ini dan menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar tidak ada sesuatu pun dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum bi’tsah yang menghalangi jalan dakwahnya atau menimbulkan pengaruh negatif terhadap dakwahnya sesudah bi’tsah.
Menyangkut kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang telah mendapatkan pemeliharaan Allah dari segala keburukan sejak kecilnya dan awal masa remajanya, terdapat penjelasan mengenai dua hal yang sangat penting.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (juga) memiliki seluruh karakteristik manusia sehingga ia mendapati pada dirinya apa yang terdapat pada setiap pemuda berupa berbagai kecenderungan fitrah yang telah ditetapkan Allah pada Manusia.
Kedua, sesungguhnya Allah, kendatipun demikian, telah melindunginya dari segala bentuk penyimpangan dan dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan berbagai tuntunan dakwah. Karena itu, sekalipun belum mendapatkan wahyu atau syariat yang akan melindunginya dari memperturutkan dorongan-dorongan nafsu. beliau telah mendapat perlindungan lain yang tersamar yang menghalanginya dari memperturutkan nafsunya yang tidak sesuai dengan dirinya yang telah dipersiapkan Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan menegakkan syariat Islam.
Terhimpunnya dua hal tersebut pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang jelas akan adanya ‘inayah Ilahi (Pemeliharaan Ilahi) secara khusus yang menuntunnya tanpa perantara faktor-faktor yang lazim (biasa), seperti pembinaan dan pengarahan. Siapakah gerangan yang mengarahkannya ke jalan ke-ma’tsum-an ini, padahal semua orang disekitarnya, keluarganya, kaum dan tetangga, asing sama sekali dari jalan tersebut, tersesat jauh dari arah jalan tersebut?
Jelas, hanya ‘Inayah Ilahi-lah yang memberikan kepada pemuda Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan terang berupa cahaya yang menembus lorong-lorong jahiliyah, termasuk tanda-tanda besar yang menunjukkan kenabian yang diciptakan dan disiapkan Allah untuknya. Juga menunjukkan bahwa arti kenabian merupakan asas pembentukkan kepribadian dan arah kehidupannya, baik menyangkut kejiwaan maupun pemikiran.
Tidaklah sulit bagi Allah untuk mencabut, sejak kelahiran Rasulullah, dorongan-dorongan naluriahnya kepada kesenangan syahwat dan hawa nafsu. Dengan demikian, beliau tidak akan pernah sama sekali menitipkan kambing gembalaannya kepada temannya untuk turun ke rumah-rumah Mekkah mencari orang-orang yang begadang dan berhura-hura. Akan tetapi, hal tersebut tidak menunjukkan, pada saat itu, kepada kelainan-kelainan pada tatanan kejiwaanya karena gejala ini ada contohnya pada setiap zaman. Jadi, tidak ada sesuatu yang menunjukkan kepada “pemeliharaan tersembunyi” yang memalingkan dari sesuatu yang tidak layak, disamping adanya dorongan-dorongan naluriah terhadapnya. Allah menghendaki agar manusia mengetahui ‘Inayah Ilahi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga akan memudahkan keimanan terhadap risalahnya dan menjauhkan faktor-faktor keraguan terhadap kebenarannya.***



B.          Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Harta Khadijah dan pernikahannya.
Khadijah, menurut riwayat Ibnu Katsir dan Ibnu Hisyam, adalah seorang pedagang yang mulia dan kaya. Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar tentang kejujuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemuliaan akhlaknya, Khadijah mencoba memberi amanat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syiria, Lebanon dan Yordania).
Khadijah membawa barang dagangan yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam perjalanan dagang ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khadijah. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi berhasil membawa keuntungan yang berlipat ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan tersebut, Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah. Khadijah tertarik kepada kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah kemudian menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perantara Nafisah binti Muniyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya kemudian Nabi menyampaikan hal itu kepada paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminang Khadijah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari paman Khadijah, Amr bin Asad. Ketika menikahinya, Nabi berusia dua puluh lima tahun, sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Sebelum menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’idz at-Tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at-Tamimi.[4]

Beberapa ‘Ibrah
Usaha menjalankan perniagaan Khadijah ini merupakan kelanjutan dari kehidupan mencari nafkah yang telah dimulainya dengan menggembalakan kambing. Hikmah dan ‘ibrah mengenai ini telah dijelaskan sebagaimana pembahasan sebelumnya.
Mengenai keutamaan dan kedudukan Khadijah dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia tetap mendapatkan kedudukan yang tinggi disisi Rasulullah sepanjang hidupnya. Telah disebutkan didalam riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Khadijah adalah wanita terbaik pada zamannya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah bersabda,
Sebaik-baiknya wanita (langit) adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baiknya wanita (bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid.[5]

Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah radiallahu ‘anha, ia berkata,
Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali kepada Khadijah sekalipun aku tidak pernah bertemu dengannya. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing, beliau berpesan, “Kirimkan daging kepada teman-teman Khadijah.” Pada suatu hari, aku memarahinya lalu aku katakan, “Khadijah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Sesungguhnya aku telah dikaruniai cintanya”.[6]

Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah radiallahu ‘anha, ia berkata,
Hampir tidak pernah Rasulullah keluar rumah sehingga menyebut Khadijah dan memujinya. Pada suatu hari, Rasulullah menyebutnya sehingga menimbulkan kecemburuanku. Aku lalu katakan, “Bukankah ia hanya seorang tua yang Allah telah menggantinya untuk kakanda orang yang lebih baik darinya?” Rasulullah lalu marah seraya bersabda, “Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku orang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakanku, dia membela dengan hartanya ketika orang-orang menghalaingku, dan aku dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama sekali dari istri lainnya.”

Sehubungan dengan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah, kesan yang peertama kali didapatkan dari pernikahan ini ialah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikan faktor kesenangan jasadiah. Seandainya Rasulullah sangat memperhatikan hal tersebut, sebagaimana pemuda seusianya, niscaya beliau mencari orang yang lebih muda atau minimal orang yang tidak lebih tua darinya. Tampaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan Khadijah karena kemuliaan akhlaknya diantara kerabat dan kaumnya, sampai ia pernah mendapatkan julukan ‘Afifah Thahirah (wanita suci) pada masa Jahiliyah.
Pernikahan ini berlangsung hingga Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendekati usia 50 tahun, tanpa berfikir selama masa ini untuk menikah dengan wanita atau gadis lain, padahal usia antara 20 sampai 50 tahun merupakan masa bergejolaknya keinginan atau kecenderungan untuk menambah istri karena dorongan syahwat.
Akan tetapi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melampaui masa tersebut tanpa pernah berfikir untuk memadu Khadijah. Seandainya beliau mau, tentu beliau akan mendapatkan istri tanpa bersusah payah menentang adat atau kebiasaan masyarakat. Terlebih lagi, beliau menikah dengan Khadijah yang berstatus janda dan lebih tua darinya.
Hakikat ini akan membungkam mulut orang-orang yang hatinya terbakar oleh Islam dan kekuatan pengaruhnya dari kalangan misionaris, orientalis dan antek-antek mereka.
Mereka mengira bahwa tema pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dapat dijadikan sasaran empuk untuk menyerang Islam dan merusak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dibayangkan bahwa mereka akan mampu mengubah citra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimata semua orang, sebagai seorang seks maniak yang tenggelam dalam kelezatan jasadiah.
Para misionaris dan sebagian besar orientalis adalah musuh-musuh bayaran terhadap Islam yang menjadikan “Penikaman Agama (Islam)” sebagai profesi unntuk mencari nafkah. Adapun para murid mereka yang tertipu, kebanyakan memusuhi Islam karena taqlid buta, sekadar ikut-ikutan tanpa berfikir sedikitpun, apalagi melalui kajian. Permusuhan mereka (para murid orientalis) terhadap Islam tak ubahnnya seperti lencana yang digantungkan seseorang diatas dadanya sekadar supaya diketahui orang keterkaitannya dengan pihak tertentu. Seperti diketahui, lencana itu tidak lebih dari sekadar simbol. Karena itu, permusuhan mereka terhadap Islam tidak lain hanyalah simbol yang menjelaskan identitas mereka kepada semua orang, bahwa mereka bukan termasuk dari bagian sejarah Islam, dan bahwa loyalitas mereka hanyalah sekadar lencana yang menjelaskan identitas diri mereka ditengah kaumnya, bukan suatu hasil pemikiran untuk pengkajian atau argumentasi.
Jika tidak, tentu tema pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dalil yang dapat digunakan oleh Muslim yang mengetahui agama dan mengenal sirah nabinya untuk membantah tikaman-tikaman para musuh agama ini.
Mereka bermaksud menggambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang pemburu seks yang tenggelam dalam kelezatan jasadiah, padahal tema pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini saja sudah cukup sebagai dalil untuk membantah tuduhan tersebut.
Seorang pemburu seks tidak akan hidup bersih dan suci sampai menginjak usia 25 tahun dalam suatu lingkungan Arab jahiliyah seperti itu, tanpa terbawa arus kerusakan yang mengelilinginya. Seorang pemburu seks tidak akan pernah bersedia dengan seorang janda yang lebih tua darinya, kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik kepada wanita-wanita lain yang juga menginginkannya, sampai melewati masa remajanya, kemudia masa tua dan memasuki pascatua.
Adapun pernikahannya setelah itu dengan Aisyah kemudian dengan yang lainnya, maka masing-masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahan memiliki hikmah dan sebab yang akan menambah keimanan seorang Muslim kepada keagungan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesempurnaan akhlaknya.
Tentang hikmah dan sebabnya, yang jelas pernikahan tersebut bukan untuk memperturutkan dorongan seksual, sebab seandainya demikian, niscaya sudah dilampiaskan pada masa-masa sebelumnya. Terlebih lagi, pada masa-masa tersebut, pemuda Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum memikirkan dakwah dan permasalahannya yang dapat memalingkan dari kebutuhan nalurinya.***





BAB III
PENUTUP
A.          Kesimpulan
Kedatangan Nabi akhir zaman yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya sudah jauh-jauh dikabarkan oleh kitab-kitab terdahulu seperti dalam Injil dan Taurat. Hal ini juga dibuktikan tatkala pendeta Nasrani yang bernama Bahira telah melihat sendiri tan-tanda kenabian pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi pada akhirnya orang-orang Nasrani dan Yahudi malah enggan mengakui Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi hingga mereka menyembunyikan bahkan merubah isi kandungan tentang kebenaran Nabi Akhir Zaman didalam kitab-kitab mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan akhlak-akhlak yang begitu mulia bahkan diusianya yang masih sangat muda. Salah satunya ialah, beliau diusia 12 tahun telah belajar hidup mandiri, hal ini dibuktikannya dengan mencari rezeki dengan cara menggembalakan kambing. Tentu saja hal tersebut berbeda jauh dengan anak-anak muda seusianya yang lebih memilih hidup berhura-hura dan berbuat banyak kenistaan.
Selain itu Rasulullah dikenal jujur dan dapat dipercaya dalam menjalankan barang dagangan milik Khadijah, sehingga lambat laun Khadijah mulai tertarik terhadapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hendak menikahinya. Sehingga pada akhirnya mereka menikah dan kesetian serta kecintaan Khadijah turut dibuktikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka perjuangan beliau untuk menegakkan Agama Allah yakni Islam sampai akhir hayatnya.











DAFTAR PUSTAKA

Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Fiqhus Sirah : Dirasat Manhajiah ‘Ilmiah li Siratil-Musthafa ‘alaihish-Shalatu was-Salam, Lebanon : Darul Fikr 1397 H/1977 M



[1] Diringkas dari Sirah Ibnu Hisyam, 1/180; diriwayatkan oleh Thabari didalam Tarikh-nya, 2/287; Baihaqi didalam Sunan-nya; dan Abu Nu’aim didalam al-Hilyah. Diantara riwayat-riwayat ini terdapat sedikit perbedaan menyangkut beberapa rincian
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dan Hakim dari Ali bin Abi Thalib. Hakim berkata tentang riwayat ini, “Periwayatan ini sesuia dengan syarat Muslim.” Diriwayatkan oleh Tabrani dari hadits Ammar bin Yasir.
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Sayyid an-Nas dalam ‘Uyunul Atsar, Ibnu Hajar dalam al-ishabah dan lainnya.
[5] Kata ganti didalam kata nisa’iha seperti ditunjukkan oleh riwayat Muslim kembali kepada langit untuk yang pertama (Maryam) dan kepada bumi untuk yang kedua (Khadijah). Berkatalah Ath-Thaibi, “Kata ganti yang pertama kembali kepada umat dimasa Maryam hidup, yang kedua kembali kepada umat ini.” Lihat Fat-hul Bari. 7/91
[6] Muttafaq ‘alaih, lafal ini bagi Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...