Rabu, 26 April 2017

Tokoh Ilmu Kalam : Ibnu Taimiyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang
Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf ekstrim karena kurang memberi ruang gerak pada akal. Masa hidupnya bersamaan dengan kondisi umat islam yg mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasukan mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Pemikiran-pemikiran yg dituangkan dalam karya-karyanya memang cukup radikal. Ia berusaha membersihkan masyarakat dari akidah dan kepercayaan yg dianggapnya sesat. Bahkan ia berani mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibnu Arabi dan para filosof Islam lainnya. Kritiknya juga ditujukan pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya.
Dalam makalah ini tertuang tentang bagaimana kehidupan beliau dan bagaimana konsep teologi menurut pandangan beliau sendiri.

B.         Rumusan Masalah
1.             Bagaimana biografi mengenai Ibnu Taimiyah?
2.             Bagaiman konsep berfikir Ibnu Taimiyah mengenai teologi?
3.             Bagaimana konsep berfikir Ibnu Taimiyah mengenai pendidikan?
4.             Relevankah Pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap Pendidikan Kontemporer?





C.         Tujuan Penulisan
1.             Untuk mengetahui bagaimana biografi mengenai Ibnu Taimiyah.
2.             Untuk mengetahui konsep berfikir Ibnu Taimiyah mengenai teologi.
3.             Untuk mengetahui konsep berfikir Ibnu Taimiyah mengenai pendidikan.
4.             Untuk mengetahui elevansi Pemikiran Ibnu Taimiyah terhadap Pendidikan Kontemporer.













BAB II
PEMBAHASAN

A.          Sekilas Mengenai Biografi Ibnu Taimiyah
1.             Nama, Kelahiran dan Sifat Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena nenek moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[1]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.[2]
Kakeknya yang bernama Abu al-Dimasyqi dalam kitab at-Tibyan mengatakan, “sesungguhnya ibu Muhammad bin al-Khadr (kakeknya) adalah seorang penceramah, ahli fiqh dan juga ahli hadits”. Hal ini yang berpengaruh terhadap Ibnu Taimiyah.
Asy-Syaukani mengatakan.”Adz-Dzahabi berkata,” Ibnu Taimiyah memiliki kulit yang putih, rambut dan jenggot yang hitam, dan uban yang sedikit. Rambutnya memanjang sampai ke daun telinganya, sementara kedua matanya seolah lisan yang berkata. Di samping itu, ia adalah orang yang panjang pundaknya, keras suaranya, fasih bicaranya, cepat bacaannya, tinggi emosinya, namun emosi yang tinggi ini dikalahkan oleh sifat belas kasihnya.[3]
2.             Guru-guru Dan Murid-murid Ibnu Taimiyah

a.        Guru-gurunya
Adapun mengenai guru-guru Ibnu Taimiyah di antaranya ialah:[4]
1)             Zainuddin Ahmad bin Abdu Ad-da`im Al-Maqdisi
2)             Al-Majd Muhammad bin Ismail bin Utsman bin Muzhaffar bin Hibatullah Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi
3)             Abdurrahman bin Sulaiman bin Sa’id bin Sulaiman Al-Baghdadi
4)             Muhammad bin Ali Ash-Shabuni
5)             Taqiyuddin Ismail bin Ibrahi bin Abi al-Yusr.
6)             Kamaluddin bin Abdul Azis bin Abdul Mun’im bin Al-Khidhr bin Syibl.
7)             Saifuddin Yahya bin Abdurrahman bin Najm bin Abdul Wahhab Al-Hanbali.
8)             Al-Mu`ammil bin Muhammad Al-baalisi Ad-Dimasyqi.
9)             Yahya bin Abi Manshur Ash-Shairafi.
10)         Ahmad bin Abu Al-Khair Salamah bin Ibrahim Ad-Dimasyqi Al-Hanbali.
11)         Dan banyak lagi lainnya.
b.             Murid-muridnya
Kepribadian dan watak keilmuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang dimasa itu tiada seorangpun yang sebanding dengan beliau, telah menarik banyak para alim serta imam besar dizaman itu, dalam ragam disiplin keilmuan mereka untuk menyimak majlis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Diantara banyak murid-murid beliau yang mengagumi dan mencintai beliau, telah hadir pula dimajlis beliau ulama, qadhi, serta wa’izh penasihat atau penceramah yang masyhur yang merupakan ulama yang sezaman dengan beliau
Sedangkan mengenai murid-murid Ibnu Taimiyah di antaranya ialah:[5]
1)        Al-Imam Ar-Rabbani Al-‘Allamah Al-Hafizh Muhammad bin Abi Bakar Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, murid terdekat syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
2)        Al-Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi, muarrikh Islam, seorang hadizh hadits, penulsi kitab Siyar A’laam An-Nubala, Tarikh Islam, Tadzkirah Al-Huffazh dan lain sebagainya.
3)        Al-Hafizh Al-Kabiir Al-Mufassir ‘Imaduddin Abul Fida` Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, penulis kitab Al-Bidayah wan-Nihaya dan Tafsir serta kitab-kitab lainnya. Beliau telah mengalami siksa dalam pembelaan beliau terhadao Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4)        Al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi, penulis Al-‘Uqqud Ad-Durriyah min Manaaqib Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5)        Imam Al-Huffazh Abul Hajaj Jamaluddin Al-Mizzi, Syaikh Al-Jami’ah Al-‘Uraiqah Daar Al-Hadist Al-Asyrafiyah, penulis kitab rujukan dalam ilmu ar-Rijal (biografi perawi hadits),  yaki Tahdzib Al-Kamaal.
6)        ‘Imaduddin Ahmad bin Ibrahim Al-Hizaam.
7)        Al-Faqih Syarfuddin Muhammad bin Muhammad bin An-Nujaih Al-Harrani.
8)        Asy-Syaikh Syarfuddin Muhammad bin Al-Munjaa At-Tannukhi Al-Hanbali.
9)        Al-Muhaddits Asy-Syaikh ‘Afifuddin Ishaq bin Yahyah Al-Aamidi Al-Hanafi, syaikh Daar Al-Hadist Azh-Zhahiriyah.
10)    Asy-Syaikh Abdullah bin Musa Al-Jazari, salah seorang yang mulazamah lama kepada beliau.
11)    Dan masih banyak lagi lainnya.
3.             Karya-karya Ibnu Taimiyah
Kitab-kitab beliau banyak dan sangat bermacam-macam pembahasannya dalam bidang ilmu. Untuk menyingkat, di bawah ini akan kami tuliskan yang masyhur saja, diantaranya:[6]
a.              Majmu’ Al-Fatawa (disusun oleh Ibnu Al-Qasim)
b.             Dar`u At-Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql
c.              Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah
d.             Naqdhu At-Ta`sis
e.              Al-Jawaab Ash-Shahih liman Baddala Diin al-Masiih
f.                     Ar-Radd ‘ala Al-Bakrie (Al-Istighatsah)
g.             Syarah Hadits An-Nuzul
h.             Syarah Hadits Jibril (Al-Iman Al-Ausath)
i.                      Kitab Al-Iman
j.                      Al-Istiqamah’
k.             As-Siyasah Asy-Syar’iyah
l.                      Dan lain sebagainya.
4.             Meninggalnya Ibnu Taimiyah
Sesungguhnya di antara tanda kebaikan orang shalih dan diterimanya dia di tengah-tengah kaum muslimin adalah: orang-orang merasa kehilangannya tatkala dia meninggal dunia. Oleh karena itu, para salaf menilai banyaknya orang yang menyalati merupakan tanda kebaikan dan diterimanya orang tersebut. Oleh karena itu, Imam Ahmad – rahimahullah mengatakan, “Katakan pada Ahlul Bid’ah, perbedaan antara kami dan kalian adalah pada hari kematian”, yaitu orang-orang akan merasakan kehilangan Imam Ahlusunnah, apabila imam itu meninggal akan terlihat banyaknya orang yang mengiringi jenazahnya ke pemakaman. Sungguh realita telah menunjukkan hal itu.
Belum ada yang pernah terdengar seperti kematian dua imam (yang samasama bernama Ahmad, pent) yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Ahmad bin Taimiyyah ketika keduanya meninggal. Begitu banyak orang yang mengiringi ke pemakaman dan keluar bersama jenazah keduanya serta menyalati keduanya. Ini bukanlah suatu yang aneh karena kaum muslimin adalah saksi Allah di bumi ini. Demikianlah Syaikhul Islam rahimahullah wafat, dalam keadaan beliau terpenjara di penjara Al Qol’ah, Damaskus, pada malam Senin, 20 Dzulqo’dah 728 Hijriyah. Seluruh penduduk Damaskus dan sekitarnya merayap untuk menyalati dan mengiringi jenazah beliau ke pemakaman. Berbagai referensi yang menyebutkan kematian beliau sepakat bahwa yang menghadiri pemakaman beliau adalah jumlah yang sangat besar sekali yang tidak bisa dibayangkan jumlahnya.[7]
5.             Keilmuan Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah berkembang di bawah bimbingan para ulama, bahkan ayah beliau sendiri merupakan salah seorang pembesar madzhab Hanbali. Demikian pula kakek dan pamannya, mereka semua tergolong para ulama yang terkenal. Mengenai kakek beliau Al-Dzahabi berkata: “Beliau seorang imam yang sempurna, tidak ada yang menandinginya di masa itu, pangkal ilmu fiqih dan ushulnya, menonjol di bidang hadits dan maknanya serta pengetahuannya yang luas di bidang qiraat maupun tafsir”. Jamaluddin ibn Malik berkata: “Ilmu fiqih telah dimudahkan untuk syaikh al-Majd sebagaimana Allah telah melunakkan besi bagi Daud”[8]

Tanda-tanda kejeniusan telah nampak semenjak kecil, beliau senang membaca berbagai pengetahuan, berkemauan tinggi, menghadiri sekolah-sekolah dan majlis ilmu, beradu argument, mendatangkan perkara yang membingungkan para pembesar dari kalangan ulama dan beliau mulai berfatwa semenjak usia 19 tahun serta menjadi imam yang diakui oleh para ulama sebelum berusia 30 tahun.
Mengkaji musnad Imam Ahmad, kitab-kitab hadits enam yang pokok (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasaa i dan Ibnu Maajah) dan kitab-kitab berjilid lainnya serta Mu’jam Al-Thabraani Al-Kabiir.
Telah hafal al-Qur’an sejak kecil, kemudian memperdalam tafsir, fiqih, ilmu-ilmu bahasa arab hingga menonjol dalam hal itu dan beliau tetap menambah keilmuannya hingga kepadanya bermuara keimaman bahkan sampai pada batas berijtihad dalam hal itu. Pembahasan ini dikumpulkan oleh Al-Ba’liy dengan nama “Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah” juga Ibnu Al-Qayyim mengumpulkannya dalam sebuah kitab dengan judul “Ikhtiyaaraat Ibn Taimiyah”.
Disamping luasnya pengetahuan,  beliau juga menonjol di segala cabang ilmu. Seperti ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara hafalan, pengetahuan, pengambilan hukum dalam berdalil (istinbath). Mengetahui para perawi hadits beserta derajatnya, perkataan ulama dan perbedaannya diantara mereka. Mata hatinya bening dalam menatap sebuah kebenaran yang beliau nukil perkataannya dari para ulama tersebut.
Hal ini diakui baik oleh teman, guru maupun muridnya bahkan oleh lawannya sekalipun.[9] Berbeda dengan ulama yang lainnya, khususnya mereka yang semasa hidupnya larut dalam ilmu kalam dan filsafat hingga memiliki berbagai tingkatan semasa hidupnya bahkan setiap tingkatan memiliki metode dan cara yang berbeda; Ibnu Taimiyah sepanjang hidupnya tidak pernaha berubah. Beliau tetap diatas satu manhaj, meskipun pernah ruju’ dari beberapa permasalahan karena pertamanya taklid lalu setelah pengetahuannya sempurna merubah pendapatnya[10]

Allah ـ telah mengumpukan pada diri beliau ilmu dan amal, keberanian dan zuhud, wara’ dan kewibawaan, amat berpegang teguh dengan atsar, kesabaran dan kelembutan serta segala sifat yang baik dari akhlak.
6.             Jihad di masa hidup dan wafatnya
            Ibnu Taimiyah : bukanlah tipe orang alim yang duduk di rumahnya, mengkhususkan diri dengan kegiatan berfatwa, mengajar dan menulis / mengarang. Namun beliau sosok yang mengaitkan antara ilmu dengan amal. Hal ini yang menjadikan beliau merasa punya tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebathilan termasuk berjihad.
Pada masa beliau, perkembangan politik dan kemasyarakatan berkecamuk, pasukan Tartar (Mongol) dan salib (Inggris) mengepung negara-negara Islam, berbuat kerusakan di muka bumi serta membuat orang-orang resah dan ketakutan.
Berbagai bid’ah dan kesesatan terkumpul di masyarakat, Ibnu Taimiyah memerangi hal itu semua. Beliau mengangkat pedang memerangi Tartar hingga terlihat paling berani diantara manusia; paling kuat hatinya dan paling kokoh dalam menghadapi kegelisahan/ kekacauan. Beliau menunggang kuda mengelilingi musuh seraya bertakbir dengan takbir yang membuat musuh lebih gentar daripada pedang yang terhunus hingga berdampak besar bagi kekuatan kaum muslimin. Memberi motifasi kepada mereka dan memberi kabar gembira serta menjanjikan pertolongan Allah ـ.
Di sisi yang lain beliau bersungguh-sungguh memerangi pelaku bid’ah dari berbagai lapisan seperti mereka yang telah sampai pada batas kufur, kaum filosof, kaum rafidhah, sufi, Ismailiyyah, Nashiriyyah dan pelaku bid’ah yang keji di sekitar kuburan sebagaimana beliau membantah kaum jahmiyyah, muktazilah, al-khawarij, ahli kalam dan Asy-‘ariyyah hingga Allah  أmenampakkan kebenaran melalui perantaraannya.
Bersamaan dengan itu pula telah nampak sekelompok fuqaha’ dan sufi yang menyerangnya, menuduh beliau karena ijtihadnya lalu menampakkan perbedaan hal itu dengan pendapat mereka yang ditopang oleh pihak yang memiliki kedudukan dan kekuasaan. Namun Ibnu Taimiyah tetap membantah mereka berdasarkan dalil dan bukti, menyingkap syubhat mereka yang bathil hingga beliau dikenal memiliki sikap yang tegas berkenaan dengan mereka.
Hingga sekarang bantahan-bantahan beliau menjadi senjata bagi para da’i yang menghendaki perbaikan dalam menghadapi musuh kebenaran dan pelaku kebathilan karena ditopang dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,  kemudian petunjuk al-salaf al-shalih serta kuatnya pengambilan dalil syar’i (istinbaath) beserta ‘aqli yang menandakan luasnya ilmu yang dikaruniakan Allah kepadanya. Hal ini tidak berlebihan kiranya mengingat mereka adalah perpanjangan dari kelompok sempalan yang ada di masa Ibn Taimiyah.

Beliau mengalami cobaan karena sikapnya yang demikian. Seperti terusir dari negrinya, beberapa kali masuk penjara namun beliau sabar dan mengharap pahala. Terakhir beliau di penjara di qal’ah Damaskus karena fatwanya mengenai bepergian untuk ziarah kubur, beliau sakit beberapa hari karena tekanan setelah mengeluarkan kitab-kitab dan lembarannya hingga akhirnya wafat :  di penjara pada malam senin 20 dzulqa’dah  728 H. Setelah 5 bulan sebelumnya beliau mengosongkan diri untuk ibadah dan membaca Al- Qur’an. Kejadian ini  “disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an surah Al-Qamar yang berbunyi “Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin”[11]

Demikianlah selama 67 tahun masa hidupnya beliau isi dengan ketekunan dan perjuangan. Sebagaimana pepatah mengatakan: “Kematian orang yang shaleh merupakan peristirahatan baginya, sedangkan kematian orang yang thaleh (lawan dari shaleh) merupakan peristirahatan bagi orang-orang dari gangguannya”.
Pemandangan saat pemakaman beliau demikian hebatnya, orang-orang saling berdesakan di sekitar jenazahnya, suara tangisan orang-orang meninggi disertai doa dan pujian. “Pada waktu itu tidak orang yang mendengar kematiannya di Damaskus melainkan sengaja mengosongkan diri datang untuk menshalati jenazahnya. Pasar ditutup, kehidupan seolah-olah berhenti. Para penguasa, pembesar, ulama’ dan fuqaha’, orang-orang Turki dan tentara, laki-laki dan wanita serta anak-anak bahkan orang khusus atau awam”[12]. Mereka yang menghadiri peristiwa itu lebih dari 100.000 orang dari kalangan pria dan 15.000 dari kalangan wanita.

Sumber yang lain menyatakan bahwa orang-orang yang menghadiri jenazahnya tidak dapat digambarkan. Imam Ahmad ibn Hanbal : pernah berkata: “Katakanlah kepada para pelaku bid’ah: Sebagai bukti kebenaran antara kita dengan mereka adalah pada hari kematian”[13]. Sejarah telah mencatat tidak ada orang-orang yang berkumpul pada hari kematian yang lebih banyak dari kedua imam ini. Semoga Allah ـ melimpahkan pada keduanya pahala yang berlimpah dan menjadikan beliau berdua mendampingi para Nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta orang-orang yang jujur dan shalih.

7.             Kepribadian Ibnu Taimiyah
Selain dikenal dengan keilmuannya dalam bidang agama, Ibn Taimiyah dikenal memiliki kepribadian yang mulya. Beliau lebih mendahulukan orang-orang yang butuh daripada dirinya sendiri dalam hal makanan, pakaian atau yang lain. Banyak beribadah, berdzikir, membaca Al-Qur’an bersikap wara’ dan zuhud hingga tidak memiliki perhiasan dunia selain yang berupa kebutuhan primer.
Beliau merupakan sosok yang tawadhu’ dalam penampilannya, pakaiannya dan interaksinya dengan orang lain. Beliau tidak mengenakan pakaian yang mewah, tidak pula yang jelek / kumuh. Tidak dibuat-buat dalam tingkah lakunya dengan orang dihadapannya. Beliau dikenal berwibawa, memiliki prinsip yang kuat dalam berpegang teguh dengan kebenaran baik di kalangan pemerintah, ulama maupun masyarakat. Setiap orang yang melihatnya menyukainya, merasa sungkan dan hormat terhadapnya. Terkecuali orang-orang yang dengki dari kalangan pengikut hawa nafsu.
Beliau dikenal sebagai seorang yang penyabar, tahan banting di jalan Allah, memiliki firasat yang kuat, doa yang cepat terkabul dan karomah yang diakui. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang Maha luas dan menempatkan beliau di surga-Nya yang tinggi[14].

8.             Ibnu Taimiyah di Mata Musuhnya                        
Ibarat pohon yang tinggi maka angin yang menerpanya juga semakin kencang dan kuat. Mungkin inilah kalimat yang cocok bagi sosok Ibnu Taimiyah. Kalaupun ada segelintir manusia yang mencela beliau namun perkataannya tidak terhitung/ tidak dianggap[15] karena menyelisihi perkataan mayoritas ummat.

Para musuh di sini maksudnya mereka yang menyelisihi madzhab salaf dari golongan Asy’ariyyah, kaum falsafah, tasawwuf, bathiniyah, rafidhah (syi’ah) dan yang lainnya. Ibnu Taimiyah berpegang teguh pada pernyataannya: kaum salaf a’lam (lebih mengetahui) dan ahkam (lebih berhak memutuskan hukum) .
“Kesempurnaan” performa seperti ini tak heran mengundang rasa iri di benak sebagian orang. Muncullah pena dan mulut-mulut usil yang berusaha mendeskriditkan Ibnu Taimiyah denganmenuduhnya sebagai tokoh yang menentang Al-Qur’an dan Sunnah. Aneh memang. Tampaknya sekelompok orang yang mendeskriditkan Ibnu Taimiyah tersebut belum tuntas membaca karya-karyanya yang berjumlah lebih dari liam ratus judul. Atau kemungkinan orang-orang tersebut telah dibayar oleh lawan-lawan Islam untuk memfitnah Islam dan tokoh-tokohnya)[16].
Beliau dalam membantah mereka menyusun dua metode: a. Menjelaskan keadaan kaum tersebut dan sebab keberadaannya guna membangun sebuah hukum tentangnya b. Membantah mereka[17].
B.            Konsep Berfikir Ibnu Thaimiyah Mengenai Teologi
1.             Latar Balakang Pembentukan Pemikiran Ibnu Taimiyah
Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material,
Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat. potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya. [18]
Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.[19]
Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al- Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma’mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani.[20]
Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan, sikap Ibn Taimiyyah ini merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio- kultural masyarakat muslim pada waktu itu.[21]
2.             Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:
a.              Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits).
b.             Tidak memberikan ruang gerak kepada akal.
c.              Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
d.             Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
e.              Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[22]

Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwwa pengakuan ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.[23]

Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:[24]
a.    Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:.
1)            Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
2)            Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3)            Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
4)            Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
b.    Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c.    Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1)            Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual).
2)            Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil).
3)            Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad).
4)            Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif).
5)            Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[25]

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
1.             Biografi mengenai Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H.
Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Demikianlah Syaikhul Islam rahimahullah wafat, dalam keadaan beliau terpenjara di penjara Al Qol’ah, Damaskus, pada malam Senin, 20 Dzulqo’dah 728 Hijriyah.
2.             Konsep berfikir Ibnu Taimiyah mengenai teologi
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits), Tidak memberikan ruang gerak kepada akal, Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.




DAFTAR PUSTAKA

·                Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung: Sinar Baru, 1993.
·                Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
·                Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
·                Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, cet ke-2.
·                M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
·                Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003.
·                Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan,  Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, cet ke-2.
·                Rahman, Fazlur, terj. Aam Fahmia, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
·                Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah, 1987.





[1] Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah, 1987), hal.  261
[2] Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan,  Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, hal. 115.
[3] Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), cet ke-2, hal. 784.
[4] Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama, hal. 807.
[5] Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama, hal, 808.
[6] Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama, hal, 809.

[7] Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama, hal, 810.
[8] Ibid hlm. 152.
[9] Iqtidhaa’ al-Shiraath al-Mustaqiim….tahqiq DR. Nashir al-‘Aql hlm. 12

[10] Mauqif Ibn Taimiyah…DR. Abd al-Rahmaan al-Mahmud hlm. 156-157
[11] Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[12] Demikianlah al-Bazzar, salah seorang murid Ibnu Taimiyah mensifati hari itu. Ibid hlm. 213
[13] Iqtidhaa’ al-Shiraath al-Mustaqiim….tahqiq DR. Nashir al-‘Aql hlm. 16
[14] Ibid hlm. 14
[15] Perkataan al-Syaukani dalam majmu’ fatawa jilid 1 hlm. ب
[16] Risalah Ibnu Taimiyah tentang tafsir Al-Qur’an hlm. 12
[17] Mauqif Ibn Taimiyah…DR. Abd al-Rahmaan al-Mahmud hlm. 284.
[18] Rahman, Fazlur, terj. Aam Fahmia, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 186.
[19] H. M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 142.
[20] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran, hal. 143.
[21] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran, hal. 146.
[22] Rozak, Ilmu Kalam, hal. 116
[23] Rozak, Ilmu Kalam, hal. 121.
[24] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 58-60.
[25] Rozak, Ilmu Kalam,  hal. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...