Kamis, 27 April 2017

Pembahasan soal fiqih jilid 6



Soal-Soal UTS
A.           Coba kemukakan hikmah dan makna pembagian waris dan perkuat dengan dalil!
B.            Berdasarkan pengalaman anda, banyak persoalan yang berkaitan dengan pembagian waris. Persoalan-persoalan apa yang pernah anda alami & bagaimana cara mengatasinya!
C.           Coba jelaskan hubungan antara harta waris, dengan nasab dan pernikahan!
D.           Apa yang anda ketahui tentang
1.        Nikah
2.        Hukum nikah
3.        Proses nikah
4.        Kedudukan mahar, wali dan saksi


Pembahasan Soal UTS

A.           Coba kemukakan hikmah dan makna pembagian waris dan perkuat dengan dalil
Ketentuan pembagian waris telah diatur sedemikian rupa dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat hukum inilah yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut tentang ketegasan hukum dalam hal pembagian waris. Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum islam:
1.        Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal).
Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara harta. Ini berarti bahwa diharapkan dengan pembagian waris harta kita tetap terjaga dan mampu dikelola dengan baik untuk kedepannya bagi generasi selanjutnya. Selain itu, dengan memelihara harta dapat membuat kita menjauhi sifat boros, karena dengan boros harta kita akan hilang percuma dan tidak dapat dipelihara dengan baik. Firman Allah.
                                                                                           
ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ   ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Isra: 26-27)


2.        Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
Seseorang yang meninggal dunia dengan mewariskan hartanya kepa ahli waris itu bertujuan agar ia tidak meninggalkan sanak keluarga dalam keadaan kesusahan dan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan potongan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridho Allah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu. (HR. Bukhari Muslim)

3.        Menjalin tali silaturahim antar anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
Dengan menyambung tali silaturahim maka banyak sekali manfaat yang didapat, diantaranya dapat memudahkan kita dalam mencari rizki dan dapat pula memanjangkan umur kita. Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali tali silaturahim (Muttafaqun ‘alaihi)

4.        Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Allah subhanahu wata’ala yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.
Sabda Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam          

Sesungguhnya bagi tiap-tiap umat itu ada fitnah, dan sesungguhnya fitnah bagi umatku adalah harta (HR. Tirmidzi)

Hadits ini mengisyaratkan tentang bahaya nya harta jika tidak dapat dimanfaatkan dan dipertanggungjawabkan dengan baik sesuai syariat islam. Karena hal ini dapat menjadi salah satu fitnah dalam hidup. Maka dari itu penting bagi kita agar bisa amanah dalam menjaga harta dan mengelolanya dengan baik. Karena kelak di akhirat nanti kita akan dipertanyakan tentang harta yang kita miliki tersebut pada awal dan akhirnya (darimana kita mendapatkan harta dan bagaimana kita membelanjakan harta tersebut)

5.        Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ...
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; ... (Q.S. An-Nisa: 11)
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Allah mengisyaratkan bahwa dalam pembagian harta waris, laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan. Hal ini dimaksudkan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada perempuan. Maka dengan ayat ini dapat memberikan asas keadilan antara laki-laki dan perempuan.

6.        Harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.

õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. At-Taubah: 103)

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

Sama halnya dengan zakat, bahwa dalam harta waris juga bisa dijadikan sarana untuk membersihkan harta dan jiwa bagi pewaris yang meninggal. Karena daripada harta tersebut terus dipendam dan tidak dimanfaatkan dengan baik, maka lebih baik dibagikan kepada sanak keluarga yang pembagiannya telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.


7.        Mewujudkan kemashlahatan umat Islam.
Apapun yang kita lakukan ketika hidup didunia, hendaknya kita bisa memiliki manfa’at bagi orang lain, tak terkecuali dalam perihal harta waris yang kita tinggalkan ketika kita meninggal dunia. Sebagaimana Firman Allah:
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡B ÏmŠÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; ֍ô_r& ׎Î7x. ÇÐÈ
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S. Al-Hadid: 7)

[1456] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.

8.        Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan bagi umat manusia.
9.        Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam bermasyrakat
Kaitannya dengan makna pembagian harta waris, maka pembagian harta waris dimaksudkan untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan keteraturan dalam pembagian harta waris tersebut sesuai apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

B.            Berdasarkan pengalaman anda, banyak persoalan yang berkaitan dengan pembagian waris. Persoalan-persoalan apa yang pernah anda alami & bagaimana cara mengatasinya!
1.        Kasus 1
Jika orang tua murtad dan meninggal, kepada siapakah harta warisan dibagikan?
Jawab:
Jika orang tua murtad, harta warisnya masuk ke baitul mal (seperti Bazas dll). Ahli warisnya yang muslim tidak mendapat bagian sedikit pun karena berbeda agama.

2.        Kasus 2
Apakah anak angkat berhak mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya?
Jawab:
Anak angkat tidak berhak mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Namun, ia bisa diberi wasiat harta maksimal 1/3 jumlah warisan.

3.        Kasus 3
Seseorang diberi warisan dengan syarat tidak boleh dijual. Apakah warisan dengan syarat ini sah? Apakah syarat tersebut termasuk wasiat yang tidak boleh dilanggar?
Jawab :
Warisan adalah harta peninggalan mayit untuk ahli warisnya dan dibagi setelah selesai urusan jenazah, utang, dan wasiatnya. Warisan adalah milik ahliwaris, bukan lagi milik mayit, jadi terserah penggunaannya oleh ahli waris. Syarat tidak boleh dijual menyalahi konsekuensi harta waris.

4.        Kasus 4
Seorang laki-laki menikahi wanita yang dihamilinya dengan zina, lalu lahirlah anak. Apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab:
Ada rinciannya:
-          Anak tersebut mendapat warisan dari jalur ibu yang melahirkannya
-          Anak tersebut tidak mendapat warisan dari jalur ayah karena dia tidak mempunyai bapak secara syariat. Laki-laki tersebut bukan ayahnya secara syariat sehingga tidak ada hubungan warisan antara keduanya.

C.           Coba jelaskan hubungan antara harta waris, dengan nasab dan pernikahan!
Sebelum menjelaskan bagaimana hubungan antara harta waris, dengan nasab dan pernikahan, maka terlebih dahulu kita mengetahui arti dari ketika masing-masing bagian tersebut.
Harta waris
Harta waris adalah harta peninggalan orang yang sudah meninggal untuk dibagikan kepada ahli waris yang telah ditetapkan pembagiannya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada tiga:
1.        Nasab (النسب) atau hubungan kekerabatan. Nasab ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini berdasarkan firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyy_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sùنن óOä3ZÏB 4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7Î=tæ
“Dan orang-orang yang beriman sesudahmu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Anfal: 75)

2.        Perkawinan (الزواج). Seorang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَ لَكُمْ  نِصْفُ  مَا تَرَكَ  أَزْوَاجُكُمْ...الآية

Dan bagi kamu seprdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu (Q.S. An-Nisa: 12)

Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:
a.         Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari ibunya.
b.         Perkawinan itu dalam posisi:
1)             Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh –tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya perkwinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.
2)             Perkawinan telah teputus, tetapi antara suami dan istri masih dalam iddah  (masa tunggu yang dibolehkan suami  kembali kepada istri dengan tidak membuat akad baru), yang itu disebut dengan thalaq raj’iy, yaitu masa dimana suami dapat merujuk kepada istri tampa membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin istri tersebut. Dari itu, apabila pada saat itu salah seorang mati, maka mereka dapat saling mewarisi. Akan tetapi bila waktu iddah telah habis kemudian  salah seroang meninggal maka hak saling mewaris telah habis dengan sebab iddah tersebut telah habis.

Dari uraian panjang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harta waris adalah harta yang peninggalan dari pewaris/pemilik harta yang dibagikan ketika pewaris tersebut telah meninggal. Pembagian tersebut sesuai apa yang telah terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ahli waris yang berhak menerima pembagian harta tersebut digolongkan menjadi 2, yaitu karena faktor Nasab / faktor langsung karena ahli waris tersebut memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan pewaris. Dan karena faktor pernikahan/perkawinan/ faktor tidak langsung karena ahli waris tersebut memiliki hubungan pernikahan/perkawinan dengan pewaris.


D.           Apa yang anda ketahui tentang
1.        Pengertian Nikah
2.        Hukum nikah
3.        Proses nikah
4.        Kedudukan mahar, wali dan saksi
1.        Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.  Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” .
2.        Hukum Nikah
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya
a.        Hukum asal dari pernikahan
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ (Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, hlm : 179)
Salah satu dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” (H.R. Bukhari Muslim)
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Pendapat Kedua :  bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. Salah satu dalilnya adalah :
Firman Allah subhanahu wa ta’ala     :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa:3)
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala    memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “ (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174.)
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).
b.        Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa  atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 172)
Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. Contoh ini disebutkan oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm : 180. Penulis sendiri masih belum bisa memahami secara utuh contoh yang disebutkan oleh beliau. Tetapi yang jelas contoh tersebut  berbeda dengan apa yang disebutkan oleh imam an-Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim yang mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh. Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174)
Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. 
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz: 9, hlm : 174)
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.   
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. (Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak , Jakarta, Dar al-Haq, Cet-1, 2010. )
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.( Al-Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm :179)
3.        Proses Nikah
Berikut ini akan membahas tatacara / proses pernikahan menurut Islam secara singkat. Hal-hal yang perlu dilakukan sebelum menikah (proses Ta’aruf), ketika melamar (hitbah), dan lain-lain
a.        Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.
b.        Shalat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon istrinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan.
Shalat istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah Taala agar diberi petunjuk dalam memilih mana yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang mengalami rasa bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang penting. Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup. Inshaa Allah ia akan mendapatkan kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
c.         Khithbah (peminangan)
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya. Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya." (HR. Jamaah)
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-laki untuk meminangnya.
d.        Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya
Dari Jabir radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya."
Jabir berkata: "Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832). Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan ini di antaranya adalah:
e.         Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram.
f.         Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
-          Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
-          Adanya ijab qabul.
-          Adanya Mahar (mas kawin)
-          Adanya Wali
-          Adanya Saksi-Saksi
  1. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf:
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib.
"Jika kalian diundang walimah,sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad no.6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib meninggalkan tempat itu.
Dari Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
"Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan bersabda: "Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, lihat Al-Jamius Shahih mimma Laisa fisShahihain 4/318 oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii).
Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Semoga Allah Taala memberikan kelapangan bagi orang- orang yang ikhlas untuk mengikuti petunjuk yang benar dalam memulai hidup berumah tangga dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaih wa sallam. Mudah-mudahan mereka digolongkan ke dalam hamba-hamba yang dimaksudkan dalam firman-Nya: "Yaitu orang-orang yang berdoa: Ya Rabb kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa." (Al-Furqan: 74).

4.             Kedudukan mahar, wali dan saksi
a.        Kedudukan mahar
1)      Pengertian dan hukum mahar
Mahar secara etimologi berarti mas kawin. Sedangkan mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon  suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suami.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seseorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan calon suami, kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut, maka tidak halal menerimanya.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakan sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya wajib.
2)        Syarat–syarat mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat sebagai berikut.
-            Harta bendanya berhaga
Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah.
-          Barangnya suci dan bisa di ambil mamfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena itu semua haram dan tidak berharga.
-          Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tampa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak.
-          Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya,  atau tidak disebuan jenisnya.
3)      Kadar (jumlah) mahar
Islam tidak menetapkan berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Ada orang kaya, adapula orang miskin, ada yang lapang dada dan ada juga yang di sempitkan rezekiya. Disamping itu, setiap masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu masalah mahar diserahkan berdasarkan kemampuan masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat.
Bahkan, islam membolehkan memberi mahar dengan apa saja, asalkan bermanfaat, misalnya cincin besi, segantang kurma, atau mengajarka al-Quran, dan sebagainya atas kesepakatan kedua belah pihak.
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha sepakat bahwa mahar itu tidak ada batasnya, apakah sedikit atau banyak. Namun mereka hanya berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
4)        Memberi mahar dengan kontan dan utang
Pelaksanaan memberi mahar bisa dilakukan sesuai kemampuan atau di sesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang. 
Dalm hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan di kalangan ahli fiqh. Segolongan ahli fiqh berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh di berikan dengan cara dihutang keseluruhan. Segolongan lainya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan membayar sebagian mahar dimuka manakala akan mengauli istri.
Dan diantara para fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tegangan waktu terbatas yang telah di tetapkan.
b.        Kedudukan wali
1)      Pengertian Wali
Wali yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah pengertian wali sebagai Pengasuh pengantin perempuan pada pernikahan (akad nikah berlangsung), atau yang berhak mengakadkan perkawinan, istilah ini biasa disebut wali mujbir. Urutan orang berhak menjadi wali mujbir adalah:
-          Bapak
-          Kakek (bapak dari bapak)
-          Saudara laki-laki kandung
-          Saudara laki-laki sebapak
-          Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan)
-          Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (keponakan)
-          Saudara laki-laki bapak (paman)
-          Anak laki-laki paman (sepupu)
-          Hakim.
2)      Syarat Wali
Menurut jumhur ulama, orang yang menjadi wali hendaknya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu agar perwaliannya itu dipandang sah menurut agama, syaratnya adalah:
-          Islam
-          Baligh (kurang lebih 15 tahun)
-          Berakal
-          Laki-laki
-          Adil.
-          Merdeka, dan
-          Seagama
3)      Kedudukan wali dalam nikah
Pendapat jumhur ulama termasuk Imam Syafi’i dan Maliki, bahwa nikah tanpa wali hukumnya tidak sah, alasannya adalah
“dari Abi Musa al-asy’ari berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (H.R. Ibnu Hibban)
c.         Kedudukan dua saksi dalam nikah
Menurut jumhur ulama, nikah tanpa adanya saksi dipandang tidak sah,
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Ibnu Hibban berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua orang saksi kecuali dalam hadits ini) (Lihat Tuhfatul Labiib, 2: 747).
 Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Walaupun hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kebanyakan para ulama mengamalkan hadits tersebut. Mereka berkata bahwa inilah bedanya antara nikah dan sesuatu yang hanya main-main yaitu dengan adanya saksi.” At Tirmidzi berkata, “Hadits ini diamalkan oleh para ulama dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in sesudahnya dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa tidak ada nikah kecuali dengan adanya saksi. Tidak ada ulama terdahulu yang berselisih pendapat mengenai hal ini kecuali sebagian ulama belakangan yang berbeda.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 149).
Syaikh Abu Malik berkata bahwa hadits yang membicarakan hal ini saling menguatkan satu dan lainnya. Jika dikatakan “tidak ada nikah”, maka itu menunjukkan bahwa adanya saksi merupakan syarat sahnya nikah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 150)
Syarat-syarat menjadi saksi
1)        Dua orang Laki-laki, akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai hal ini:
-               Menurut Imam syafi’i dan imam Ahmad mengatakan bahwa saksi disyaratkan haruslah laki-laki semuanya
-               Menurut Imam Hanafi dan madzhab Zaidiah mengatakan bahwa saksi boleh satu laki-laki ditambah dua orang perempuan.
-               Dan menurut pendapat lain bahwa dua orang laki-laki tersebut bisa digantikan kedudukannya dengan empat orang wanita.
2)        Adil, menurut Imam Syafi’i adil merupakan syarat sah saksi, sedangkan menurut imam Hanafi, seorang saksi tidaklah harus adil dan bukan yang menentukan sah atau tidaknya persaksian.
3)        Harus tidak ada hubungan kekeluargaan atau permusuhan.
Menurut imam Ahmad tidak sah jika persaksian dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau permusuhan, akan tetapi menurut imam Hanafi dan madzhab Zaidiah, sah jika persaksian dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau permusuhan.









DAFTAR PUSTAKA
Situs Web:
-            http://andhikhariz.blogspot.co.id/2012/06/filosofi-hukum-islam-tentang-waris.html (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-            http://walis-net.blogspot.co.id/2015/07/tanya-jawab-seputar-hukum-waris.html (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-            http://surya-muamalah.blogspot.co.id/2012/04/sebab-sebab-hubungan-dan-penghalang.html (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-            www.khabib.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=8 (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-            www.naufalskr.blogspot.co.id/2016/05/kedudukan-tentang-mahar.html?m=1 (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-            www.rumasyo.com (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...