Rabu, 26 April 2017

Makalah Fiqih Imam Hambali



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Madzhab fiqih besar yang menempati urutan keempat berdasarkan periodisasi kemunculannya adalah Madzhab Hambali, yang didirikan oleh muhaddits besar Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Madzhab ini muncul di kota kelahiran pendirinya yaitu Baghdad, pada akhir abad ketiga, yang bertepatan dengan masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah.
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lain, perkembangan pengikut Madzhab Hambali bisa dibilang yang paling tersendat. Menurut sejarawan muslim, hal ini disebabkan rata-rata ulama Madzhab Hambali enggan duduk dalam pemerintahan. Seperti menjadi qadhi (hakim) atau mufti. Karena menolak menjadi pejabat pemerintah, otomatis madzhabnya pun tidak pernah menjadi madzhab resmi negara. Padahal dengan menjadi madzhab resmi negara, bisa dipastikan suatu madzhab akan berkembang pesat diwilayah kekuasaan pemerintah tersebut.
Madzhab Hambali terkenal sangat ketat dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah. Tak mengherankan dalam berbagai literatur, madzhab ini juga sering disebut dengan nama fiqh assunnah. Oleh karenanya disini penulis akan mengulas sedikit lebih jauh mengenai madzhab ini.

B.          Perumusan Masalah
1.             Bagaimana biografi Imam Hambali?
2.             Apa sumber-sumber hukum madzhab Imam Hambali?
3.             Bagaimana metode Ijtihad Imam Hambali dalam Madzhabnya?
4.             Bagaimana penulisan madzhab Imam Hambali?

C.          Tujuan Penulisan
1.             Mengetahui Biografi Imam Hambali
2.             Mengetahui sumber – sumber hukum Mazhab Imam Hambali
3.             Mengetahui metode Ijtihad Imam Hambali dalam Mazhabnya
4.             Mengetahui penulisan Mazhab Hambali
















BAB II
PEMBAHASAN

A.          Biografi Imam Hambali
Nama lengkap Imam Hambali adalah ابو عبد الله احمد بن محمد بن حنبل بن هلال بن اسد بن ادريس  ابن عبد الله بن حيان بن عبد الله بن انس بن عوف بن قاسط بن مازن ابن شيبان المروزى البغدادى.- [1] Dan beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 780-855 M, beliau juga merupakan murid dari Imam Syafi’I [2]. Beliau dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal di masa mudanya, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya belajar Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainya kepada ulama-ulama yang ada di Baghdad, dan setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, beliau rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk menimba ilmu dari sang ulama, beliau mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat, seperti Bashrah, Syam, Kufah, Yaman, Mekkah dan Madinah, beberapa gurunya antara lain : Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim dan Musa bin Thariq. Kecintaanya terhadap ilmulah yang membuat beliau tidak menikah di usia muda, namun beliau menikah pada di usia 40 tahun.
Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi, menurut putra sulungnya Abdullah bin Ahmad bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya Al Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama-nama sahabat yang meriwayatkan. Dengan kemampuan dan kepandaiannya, mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya yang melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud. [3]



1.             Awal Mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah beliau hafal di luar kepala. Belaiu menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad sebagai berikut :
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau pernah berkata,"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal".

2.             Keadaan fisik Imam Hambali
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”.

3.             Kecerdasan Imam Hambali
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushanaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
 Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.     

4.             Pujian ‘Ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

5.             Kezuhudan Imam Hambali
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.

6.             Wara’ dan menjaga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.


7.             Tawadlu’ dengan kebaikannya dan kesabaran dalam mencari ilmu
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat ldtih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzak”.

B.          Guru-Guru dan Murid-Murid Imam Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1.             Ismail bin Ja’far
2.             Abbad bin Abbad Al-Ataky
3.             Umari bin Abdillah bin Khalid
4.             Hasyim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5.             Imam Syafi'i
6.             Waki’ bin Jarrah
7.             Ismail bin Ulayyah
8.             Sufyan bin ‘Uyainah
9.             Abdurrazaq                                                
10.         Ibrahim bin Ma’qil
11.         Hasym bin Basyir bin Abi Khazim Al-Wasithi [4]

Dan murid-muridnya antara lain :
1.             Shalih ibn Ahmad ibn Hambali
2.             Abdullah Ibn Ahmad ibn Hambali
3.             Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu Bakar
4.             Abdul Malik ibn Abd Al-Hamid
5.             Ahmad ibn Muhammad ibn Al-Hajjaj

C.          Sumber hukum Madzhab Hambali
Dalam pengambilan sumber hukum, Imam Hambali menjadikan lima dasar sebagai berikut.
1.             Al Qur’an dan Sunnah.
 Jika ia menemukan nash (maka Al-qur’an / As-Sunnah) ia akan menggunakannya dalam berfatwa dan tidak menggunakan yang lain, tidak mendahulukan pendapat sahabat daripada hadits shahih, atau amalan penduduk madinah atau yang lainnya. Tidak pula logika, qiyas, atau ketidak tahuan akan adanya nash yang menentangnya yaitu apa yang dinamakan ijma’.  

2.             Fatwa Sahabat.
Imam Ahmad bin Hambal menjadikan fatwa sahabat sebagai standar hukum yang nomor 3 setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena menurut Imam bin Hambal fatwa sahabat diambil dari hadits sahih. Dalam hal ini ulama yang banyak mengeluarkan fatwa adalah “ Umar bin khaatab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin abi mas’ud, ‘Abdullah bin bin Abbas, Zaid bin sabit sayidah ‘Aisyah (ummul mu’miniin)” serta sahabat yang sedikit memberikan fatwa adalah Abu Bakar As-sidiq, ‘Usman bin ‘Affan mu’ad bin Jabal al-anshari, Sa’ad bin abi Waqasy, Talkhah bin ‘Ubaidillah, Zubair binn ‘Awam, ‘Abdulah bin Umar bin al-‘as, dan Salman al-Farisi”.
Namun   diantara kesekian banyaknya sahabat yang paling banyak mengeluarkan fatwanya adalah ‘Umar bin Khatab dan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka bredua merupakan hakim dari orang muslim pada waktu itu maka tidak heran bila banyak sekali fatwa yang dikeluarkan oleh mereka [5]

3.             Qiyas
 Jika tidak ada nash dari Al Qur’an dan Sunnah, atau pendapat sahabat atau hadits mursal atau hadits dhaif maka beliau baru mengambil qiyas, tapi dalam hal ini Imam Hambali hanya mengambil qias yang berasal dari ulama terdahulu.
Selain itu juga beliau menggunakan Hadits mursal dan hadits dhaif jika tidak ada dalil lain yang menguatkannnya dan di dahulukan dari pada qiyas. Adapun hadits dhaif menurut imam hambali bukanlah haits batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tida boleh diambil haditsnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadits dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka ia pun bagian dari hadits yang shahih.      
                    
4.             Istiskhab
Maksudnya adalah melangsungkan keberlakuan ketentuan hukum yang ada sehingga terdapat ketentuan dalil yang mengubahnya. Istiskhab yang dimaksud baik berupa istiskhab ‘aqli (melangsungkan keberlakuan hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal pada saat tidak dijumpai dalil yang mengubahnya), maupun istiskhab syar’i (melangsungkan keberlakuan hukum syara’ berdasarkan suatu dalil dan tidak ada dalil yang mengubahnya)[6]

5.             Syad adz-Zara’i
Maksudnya adalah menghambat, menghalangi dan menyumbat segala hukum yang menuju kepada kerusakn atau maksiat.Tujuan dari metode ini adalah untuk menarik kemaslahatan dan menjauhi karusakan. Pada awalnya perbuatan yang dimaksud tidak memiliki hukum, tapi apabila di biarkan akan menjerumuskan manusia perbuatan dosa, seperti permainan yang lazimnya berujung pada perjudian[7]

D.          Metode Ijtihad Imam Hambali
Metode yang dikembangkan oleh Ahmad bin Hambal adalah metode dialektika hal ini dapat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang suatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab. Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :
“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah“
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibnu Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Hambali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambali menjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.

E.          Penulisan Madzhab Imam Hambali
Imam Hambali tidak pernah menuliskan madzhabnya, bahkan beliau tidak suka jika ada yang menulis pendapat dan fatwanya. Kalaupun ada, paling hanya berupa catatan kecil khusus untuknya yang memuat beberapa masalah fiqih dan tidak ditulis ulang oleh orang lain karena ia berpendapat bahwa yang boleh ditulis hanyalah Al Qur’an dan sunnah agar ia tetap menjadi referensi utama masyarakat untik mempelajari hukum taklif.
Salah seorang muridnya yang bernama Ishaq Al Kusaj pernah menulis pendapatnya kemudian menyebarkan di Khurasan. Mengetahui hal tersebut, Imam Hambali menunjukkan ketidaksukaannya dan berkata,”saksikan bahwa saya sudah menarik kembali pendapat saya.”
Oleh karena itu, kalangan yang berjasa menuliskan madzhab Imam Hambali adalah murid-muridnya. Merekalah yang mengumpulkan pendapat dan fatwa sang imam, lalu menyusunnya sesuai dengan urutan bab fiqih. Adapun orang pertama yang menyebarkan madzhab imam hambali adalah putranya yang bernama Shalih bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H). Beliau menyebarkan madzhab ayahnya dengan cara mengirimkan surat kepada orang yang bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan oleh ayahnya, beliau pernah menjabat sebagai hakim, menukil pendapat ayahnya dan diterapkan langsung.
Putra Imam Hambali yang bernama Abdulloh bin Ahmad (wafat 266 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan kitab Al musnad dan menyusunnya serta menukilkan fiqih sang ayah, walaupun beliau lebih banyak meriwayatkan hadits. Beberapa murid imam hambali yang bergiat menulis madzhab dan menyebarkannya antara lain: Abu bakar Al Asyram, Abdul Malik Al Maimuni, Abu bakar Al Mawaruzi.
Di samping mereka, masih ada lagi para fuqoha’ yang menjadi murid Imam Hambali. Mereka menulis dan mengumpulkan pendapat sang imam kemudian membuat penjelasan. Salah satu di antara mereka adalah Umar bin Ali bin Husain al Hazmi (wafat 234 H) yang menulis kitab monumental, Mukhtashar Al Khiraqi yang lebih lanjut disyarahi oleh ibnu qudamah menjadi kitab Al Mughni.
Setelah mereka datanglah dua imam besar yang mengafilisasikan diri pada madzhab Imam Ahmad, yaitu Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibnu al Qoyyim al Jauziyah (wafat 751 H). Keduanya dikenal sebagai orang yang menisbahkan diri pada madzhab hambali, baik dalam dasar maupun kaidahnya[8]
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.

F.           Perkataan Imam Hambali
 Imam Ahmad adalah salah seorang Imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga dia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furuq) dan pendapat. Oleh kerana itu dia berkata:
1.             “Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2.             “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits. Red.)” (Ibnul Abdl Brr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3.             “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam, maka sesungguhnya dia telah berada di tepi kehancuran.” (Ibnul Jauzi, 182).
Allah berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa:65),  dan firman-Nya:  “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. ” (An-Nur:63).
G.         Wafatnya Imam Hambali
Setelah sakit sembilan hari, beliau menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

H.         Karya Imam Hambali
Beliau menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan beliau dan sebaik baik penelitian Hadits.Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah. Adapun beberapa karangannya adalah :
1.      Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2.      Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3.      Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4.      Kitab at-Tarikh
5.      Kitab Hadits Syu'bah
6.      Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7.      Kitab Jawabah al-Qur`an
8.      Kitab al-Manasik al-Kabir
9.      Kitab al-Manasik as-Saghir
            Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1.      Kitab al-'Ilal
2.      Kitab al-Manasik
3.      Kitab az-Zuhd
4.      Kitab al-Iman
5.      Kitab al-Masa'il
6.      Kitab al-Asyribah
7.      Kitab al-Fadha'il
8.      Kitab Tha'ah ar-Rasul
9.      Kitab al-Fara'idh
10.  Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah.[9]





















BAB III
KESIMPULAN
Madzhab fiqih besar yang menempati urutan keempat berdasarkan periodisasi kemunculannya adalah Madzhab Hambali, yang didirikan oleh muhaddits besar Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Madzhab ini muncul di kota kelahiran pendirinya. Baghdad, pada akhir abad ketiga dan awal abad kedua, yang bertepatan dengan masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah.
Sumber-sumber yang di ambil oleh imam anbali adalah Al-Qur’an. As-sunnah, fatwa sahabat, qiyas, istiskhab, dan syad adz-dzara’i.
            Metode yang dikembangkan oleh ahmad bin hambal adalah metode Dialektika. Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lain, perkembangan pengikut Madzhab Hambali bisa dibilang yang paling tersendat. Menurut sejarawan muslim, hal ini disebabkan rata-rata ulama Madzhab Hambali enggan duduk dalam pemerintahan., seperti menjadi qadhi (hakim) atau mufti. Karena menolak menjadi pejahat pemerintah, otomatis madzhabnya pun tidak pernah menjadi madzhab  resmi negara. Padahal dengan  menjadi madzhab resmi negara, bisa dipastikan suatu madzhab  akan berkembang pesat diwilayah kekuasaan pemerintah tersebut.
            Madzhab Hambali terkenal sangat ketat dan teguh dalam menggunakan dasar sunnah. Tak mengherankan dalam berbagai literatur, madzhab ini juga sering disebut dengan nama fiqh assunnah






Daftar Pustaka

·               Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal, oleh Ibnul Jawzy, diteliti oleh Dr.'Abdullah Bin 'Abdul Muhsin At Turky, Rektor Universitas Muhammad Bin Su'ud Al Islamiyyah di Arab Saudi
·               Rasyad Hasan Khalil. Sejarah Legislasi Hukum Islam. (Jakarta: AMZAH, 2009)
·               http://zafaimoet.wordpress.com/category/biografi/dikutip tanggal 13 Juni 2011
·               Dr. Syarbasyi akhmad, al-aimatul al- arba’ah jz 1, al-azhar, darr al-jaill, Bairut
·               Dr. Musthofa as-saq’ah, imam akhmad bin hambal, jz 4 th 1998 , dar al-kitab, Bairut
·               Forum pengembangan intelektual Islam, Sejarah Tasyri’ al- Islam (FPII), Lirboyo, 2006
·               Mijib, ‘Abdullah M.Ag. , Kawasan dan Wawasan Study Islam, cet-2, thn 2007
(dikutip pada tanggal 9-10-2015)



[1] Aimmatul arba’ah jz 1, hal 159
[2] Sejarah tasyri’ al-islam, hal 261
[3] Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal, Rektor Universitas Muhammad Bin Su’ud Al Islamiyah di Arab Saudi
[4] Akhmad bin hanbal, jz 4, hal 217
[5] Akhmad bin hanbal, jz 4, hal 223
[6] Kawasan dan Wawasan Study Islam, hal 201
[7] Kawasan dan Wawasan Study Islam, hal 202

[8] Rasyad Hasan Khalil. Sejarah Legislasi Hukum Islam hal 197

[9] http://hasbiedaud.wordpress.com/2007/09/03/mazhab-hambali/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...