Kamis, 27 April 2017

Makalah Fiqih tentang Muamalah bab 2



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Fiqih Muamalah merupakan segenap peraturan hukum Islam mengenai perilaku manusia di dunia yang berkaitan dengan harta. Fiqih muamalah mencakup masalah transaksi komersial seperti pinjam meminjam, sewa menyewa dan lain sebagainya. Jadi fiqih muamalah berarti serangakaian aturan hukum Islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar manusia yang berkaitan dengan harta. Aturan yang mengikat dan mengatur para pihak yang melaksanakan muamalah tertentu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat ini aktivitas ekonomi sebagai salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia berkembang cukup dinamis dan begitu cepat.[1]
Namun, realitas sekarang konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Tidak bisa dipungkiri ada pihak yang dalam menjalankan tujuannya mencari keuntungan semata.
Di sinilah bertapa pentingnya pembahasan tentang Pinjam-meminjam, Sewa-menyewa, dan yang lainnya seperti Upah, Hiwalah, Luqotoh, Riba, Mokhobaroh dan Muzaro’ah untuk diketahui umat Islam. Agar nantinya pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan syariat Islam.

B.          Rumusan Masalah
1.        Bagaimana hakekat pinjam-meminjam, sewa-menyewa, upah, hiwalah, luqotoh, mukhobaroh dan muzaro’ah dalam Islam?

C.          Tujuan penulisan
1.        Mengetahui hakekat pinjam-meminjam, sewa-menyewa, upah, hiwalah, luqotoh, mukhobaroh dan muzaro’ah dalam Islam, termasuk pengertian, dasar hukum, adab, syarat, rukun dan yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.          Pinjam Meminjam (‘Ariyah)
1.        Pengertian Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak rusak zatnya. Pinjam meminjam itu boleh, baik dengan secara mutlak artinya tidak dibatasi dengan waktu, atau dibatasi oleh waktu.[2]
Pinjam meminjam adalah akad berupa suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya.[3]

2.        Dasar Hukum Pinjam Meminjam
Islam sangat menganjurkan untuk saling membantu dalam kebaikan. Diantaranya dengan saling meminjam sesuatu yang bermanfaat dan sangat diperlukan. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
#qçRur$yès?ur.... n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur ....4
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...[4]

Pinjam meminjam wajib dikembalikan kepada yang meminjamkan sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Dari Abi Umama Ra. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ia berkata pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang yang menjamin dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar.” (HR. Turmudzi dan Abu Dawud)[5]

3.        Hukum Pinjam Meminjam
a.    Meminjamkan sesuatu hukumnya sunnah malah tekadang menjadi wajib dan kadang-kadang haram meminjamkannya
b.    Orang yang meminjamkan sewaktu-waktu boleh meminta kembali barang yang dipinjamkanya
c.    Sesudah yang meminjam mengetahui, bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akadnya, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya
d.   Pinjam-meminjam sudah tidak berlaku (batal) dengan matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam atau yang meminjamkannya.[6]


4.        Syarat Pinjam Meminjam
a.    Syarat orang yang meminjam dan yang meminjamkan ialah baligh, berakal dan melakukannya dengan kemauannya.
b.    Manfaat barang yang dipinjamkan harus merupakan milik orang yang meminjamkan. Oleh karena itu orang yang meminjam sesuatu barang tidak boleh meminjamkan barang itu kepada orang lain.
c.    Orang yang meminjam suatu barang hanya dibolehkan mengambil manfaatnya menurut apa yang diijinkan oleh orang yang memnjamkan.
d.   Mengembalikan barang pinjaman jika dibutuhkan biaya maka biayanya atas tanggungan peminjam.
e.    Pinjaman yang dibatasi waktunya setelah habis waktunya, si peminjam wajib segera mengembalikannya. Pengambilan manfaat setelah lewat batas waktu yang ditentukan adalah diluar ikatan pinjam meminjam. Hilang atau rusaknya barang dipinjamkan penuh atas tanggungan yang meminjamkan.

5.        Hikmah Pinjam Meminjam
Hikmahnya dapat mencukupi keperluan seseorang terhadap manfaat sesuatu barang yang tidak ia miliki.[7]

B.          Sewa Menyewa (Al-Ijarah)
1.        Pengertian Sewa Menyewa
Menurut bahasa, ijarah berarti “upah” atau “ganti” atau “imbalan”. Dalam arti luas, ijarah bermakan suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan suatu jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentuu. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Dengan istilah lain dapat pula disebutkan bahwa ijarah adalah salah satu akad yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan penggantian.[8]
Menurut pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah) adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[9]

2.        Dasar Hukum Sewa Menyewa
Ulama bersepakat bahwa ijarah diperbolehkan. Ulama memperbolehkan ijarah berdasarkan legitimasi dari al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’. Legitimasi dari Al-Qur’an tercantum dalam Q.S Al-Baqarah: 233
÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ öä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ öä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt ÇËÌÌÈ
 “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”

Sementara legalitas dari As-Sunnah, salah satunya berasal dari hadits riwayat dari Abdullah bin Umar, yang artinya:

“Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: berikanlah upah orang yang bekerja sebelum keringatnya kering.”

Selain legalitas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijarah diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama atau ijma’. Ijarah juga dilaksanakan berdasarkan Qiyas. Ijarah diqiyasakan dengan jual beli, dimana keduanya sama-sama ada unsur jual beli, hanya saja yang menjadi obyek jual beli adalah manfaat barang.[10]

3.        Rukun dan Syarat Sewa Menyewa
Menurut golongan Syafi’iyah, Malikiah, dan Hanabilah bahwa rukun ijarah terdiri atas muajjir (pihak yang memberikan ijarah), musta’jir (orang yang membayar ijarah), al-ma’qud ‘alaih (kedua belah pihak mengetahui apa yang disewakan), dan sighot
Adapun syarat pelaksanaan ijarah menurut Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad mestilah orang yang sudah dewasa dan tidak cukup hanya mumayiz saja.[11] Akad ijarah dapat terlaksana bila ada kepemilikan dan penguasaan, karena tidak sah akad ijarah terhadap barang milik atau sedang dalam penguasaan orang lain.[12]

C.          Upah
1.        Pengertian Upah
Upah adalah memberikan sesuatu baik berupa uang atau barang kepada seseorang sebagai ganti atas jasa mengerjakan pekerjaan tertentu dengan batas waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 

2.        Hukum Memberi Upah
Firman Allah subhanahu wata’ala :
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,... (Q.S. Ath-Thalaaq : 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mewajibkan setiap umat Islam untuk memberikan upah kepada siapa saja telah memberikan jasa atau manfaatkan kepada kita. Sebaliknya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang telah memanfaatkan tenaga dan jasa seseorang, tapi tidak mau memberi upahnya dengan memasukkan mereka kedalam salah satu golongan yang akan menjadi musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  
Dari ayat di atas Allah memerintahkan kepada kita untuk memberika upah kepada orang-orang yang telah selesai melakukan tugas yang kita bebankan kepada mereka. Kecuali jika pemilik jasa atau pekerja tersebut mengerjakan pekerjaannya dengan suka rela tanpa minta imbalan apapun.

3.        Syarat-Syarat Upah
Syarat-syarat tersebut antara lain sebagai berikut:
a.                  Jelasnya pekerjaan yang harus dikerjakan.
b.                  Pekerjaannya tidak melanggar ajaran Islam.
c.                  Jelasnya upah atau imbalan yang akan diterima oleh pihak kedua.

4.        Rukun Upah
Akad atau transaksi upah adalah alat yang terjadi antara dua belah pihak dengan didukung faktor-faktor yang lain, jika salah satunya tidak ada maka transaksi tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai transaksi upah. Dalam Islam, semua komponen tersebut disebut dengan rukun.
Rukun-rukun dalam transaksi upah adalah sebagai berikut:
a.              Adanya orang yang membutuhkan jasa.
b.             Adanya pekerja.
c.              Adanya jenis pekerjaan yang harus dikerjakan.
d.             Adanya upah.

5.        Tata Cara / Adab Dalam Upah
Tata cara transaksi upah menurut Islam:
a.            Bagi pengguna jasa/majikan
Bagi pengguna jasa harus berperilaku yang baik dan santun kepada pekerja yang telah berjasa kepadanya karena tanpa bantuan mereka barang kali pekerjaan tidak akan selesai untuk itulah kita harus menaati perintah Allah dan Rasul-Nya seperti sebagai berikut:
1)        Tidak boleh mengurangi upah yang telah disepakati
2)        Ketika memberi upah hendaknya dengan sikap yang santun dan mengucapkan terima kasih
3)        Tidak boleh memperlambat dalam pemberian upah tapi harus sesegera mungkin
4)        Tidak boleh menipu upah dengan mencari-cari kesalahan pekerja

b.            Bagi buruh atau pegawai
Seorang pegawai atau buruh pada hakekatnya adalah seseorang yang sedang mendapatkan kepercayaan atau amanat oleh sebab itu ia berkewajiban untuk mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik dan benar.[13]

D.          Hiwalah
1.        Pengertian Hiwalah
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain.

2.        Hukum hiwalah
Dasar dibolehkannya transaksi hiwalah adalah hadis di bawah ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Orang yang mampu membayar utang apabila salah seorang dari kamu memindahkan utangnya kepada orang lain hendaklah diterima pemindahan-pemindahan itu. “ (H.R. Ahmad Baihaki).

3.        Rukun Hiwalah
a.           Adanya muhil (orang yang memiliki hutang)
b.          Adanya muhal (orang memberi hutang)
c.           Adanya muhal alaih (orang yang diseragi hutang)
d.          Adanya utang muhil kepada muhal
e.           Adanya utang muhal alaih kepada muhil
f.           Adanya sighot (lafal yang diucapkan dalam transaksi).

4.        Syarat Hiwalah
Syarat hiwalah antar lain sebagai berikut:
a.    Kerelaan antara muhil dan muhal
b.    Persamaan besar utang antara muhil kepada muhal dan utang muhal alaih kepada muhil
c.    Kesamaan jenis pembayaran utang.

E.          Luqathah
1.        Pengertian Luqathah
Luqathah menurut bahasa artinya barang temuan. Sedangkan menurut istilah syar’i luqathah ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui pemilik barang tersebut
2.        Hukum Laqathah
a.         Wajib (mengambil barang itu)
Jika seseorang menemukan barang yang tidak diketahui pemiliknya ia berkewajiban mengambil barang tersebut jika ia mempunyai keyakinan, seandainya tidak diambil, maka barang itu akan hilang dan sia-sia. Maksudnya hilang atau sia-sia adalah, jika barang itu ditemukan oleh orang lain ia yakin barang itu akan hilang dengan percuma dan orang yang menemukannya tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam kondisi seperti itu, jika ia yakin bahwa dirinya yakin bisa amanah dan menjalankan kewajiban yang berkenaan dengan barang tersebut maka hukumnya adalah wajib mengambil barang tersebut.
b.      Sunah
Jika seseorang menemukan barang dan ia merasa sanggup memeliharanya dan sanggup mengumumkannya kepada masyarakat selama satu tahun maka disunahkan baginya untuk mengambil barang tersebut.
c.       Makruh
Jika seseorang menemukan barang dan ia tidak yakin bahwa dirinya mampu menjalankan amanah barang temuan dan khawatir ia akan khianat terhadap barang itu di kemudian hari maka baginya makruh untuk mengambil

3.        Rukun Laqathah
Rukun laqathah diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Orang yang mengambil barang tersebut
b.    Adanya barang yang didapat atau ditemukan

4.        Macam-Macam Luqathah
Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut:
a.    Benda-benda tahan lama yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu  yang lama contoh: emas, perak, pisau, gergaji, dan lain-lain
b.    Benda-benda yang tidak tahan lama contoh: makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya
d.   Benda-benda yang memerlukan perawatan seperti padi
e.    Benda-benda yang memerlukan perawatan seperti binatang ternak.

F.           Riba
1.        Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a.    Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b.    Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
c.    Berlebihan atau menggelembung.[14]
Riba menurut istilah adalah pertambahan atau kelebihan dalam tukar menukar satu jenis barang yang dapat memberatkan satu pihak.

2.        Macam-Macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi tiga: Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba An-nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya:
a.    Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram emas, maupun perak dengan perak.[15] Hal ini sesuai dengan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا

“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
b.    Riba Al-Yadd
 Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

c.    Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan.
Mengenai hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menegaskan bahwa:

عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً

“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”


d.   Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). 
Terhadap bentuk transaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (H. R. Baihaqi).

3.        Dasar-Dasar Hukum Riba
Al-Quran menyinggung keharaman riba secara kronologis diberbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah subhanahu wata’ala. Dalam surat Ar-Ruum ayat 39:[16]
!!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

Pada periode Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130.[17]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian utang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.
Dalam hadist lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim).

G.         Muzara’ah
1.        Pengertian Muzara’ah
Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.[18] Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu ( presentasi ) dari hasil panen. Dalam kebiasaan di Indonesia disebut sebagai “paron sawah“
      
2.        Dasar Hukum Muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama, Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Menurut Asy-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslimah dari Tsabit Ibn al-Dhahak :[19]

 “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa-menyewa saja dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, itu tidak mengapa“ (HR. Muslim)

Menurut mereka, objek akad dalam al-muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula belum jelas.
Dalam sebuah hadits lain ada yang membolehkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu:

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, tidak mengharamkan  bermuzara’ah bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.

Jumhur ulama membolehkan akad al-muzara’ah, tetapi harus mengemukakan rukun dan syarat harus dipenuhi sehingga akad dianggap sah.

3.        Rukun dan Syarat Muzara’ah
a.    Rukun muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :[20]
1)        Pemilik tanah
2)        Petani penggarap
3)        Objek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
4)        Ijab
5)        Qabul
b.    Syarat muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :[21]
1)        Menyangkut orang yang berakad
Untuk menyangkut orang yang berakad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh dan berakal.
2)        Menyangkut benih yang akan ditanam
Untuk menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan tanah itu dan akan menghasilkan.
3)        Untuk menyangkut tanah pertanian
Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tanah itu adalah tanah tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah. Batas-batas tanah itu jelas, tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap, dan apabila pemillik tanah ikut mengelola pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.
4)        Untuk menyangkut hasil panen
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak menimbulkan perselisihan dikemudian hari dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti : satu kuintal untuk pekerja atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu
5)             Untuk menyangkut jangka waktu
Syarat untuk menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula
6)             Untuk menyangkut objek akad
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah.

4.        Hikmah Muzara’ah
Hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah :[22]
a.    Saling tolong menolong (ta’awun), dimana antara pemilik tanah dengan petani penggarap saling menguntungkan
b.    Tidak terjadi adanya kemubaziran, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang membutuhkan, begitupun pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya tergarap.
c.    Menimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.

H.      Mukhabaroh
1.        Pengertian Mukhabaroh
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Mukhabaroh seringkali diidentikkan dangan Muzara’ah. Persamaan antara keduanya yaitu dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah sama-sama pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu pengertian. Adapun perbedaan nya adalah:
Muzara’ah : Benih dari pemilik lahan
Mukhabarah         : Benih dari penggarap[23]



BAB III
PENUTUP
A.          Kesimpulan
1.        Pinjam meminjam adalah akad berupa suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya
2.        Menurut pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah) adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
3.        Upah adalah memberikan sesuatu baik berupa uang atau barang kepada seseorang sebagai ganti atas jasa mengerjakan pekerjaan tertentu dengan batas waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 
4.        Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain.
5.        Luqathah ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui pemilik barang tersebut
6.        Riba menurut istilah adalah pertambahan atau kelebihan dalam tukar menukar satu jenis barang yang dapat memberatkan satu pihak.
7.        Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah
8.        Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.








DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Falah. 2009 Materi Fiqih MTs-MA STAIN Kudus, Kudus,
Al Qalami, Abu Fajar dan Al Banjary, Abdul Wahid, Tuntunan jalan lurus dan benar, (tanpa kota dan tahun terbit: Gita media Press)
Azim, Abdul Aziz Muhammad, 2010. Prof. Dr, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah
Chairuman Pasaribu, 1994. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta
Ghazaly, Abdul Rahman,Prof. Dr., H.,MA.,dkk., 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
Rasjid, Sulaiman, 2012. H. Fiqih Islam (Hukum Fiqih Islam), Bandung: PT. Penerbit Sinar Baru Algensindo,
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta. Gaya Media Pratama.
Hasan, M. Ali, 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grapindo,
Helmi Karim, 1997. Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Imam Musthofa, 2014. Fiqih Muamalah Kotemporer, KAUKABA, Yogjakarta
Khabib Bashori, 2007. Muamalat, Pustaka Insan Madani, Yogjakarta
Moh Rifa’i, 1978. Ilmu Islam Fiqih Lengkap, PT Karya Toha Putra , Semarang
Musthofa Diib Al-Bugha, 2010. Fiqih Islam Lengkap, Media Zikir, Solo
Rasyid, H. Sulaiman, 2005. Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo
Sahrani Sohari, Abdullah Ru’fah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor. Ghalia Indonesia.
Sudarko, 2007. Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas IX, Semarang: CV. Aneka Ilmu
Sudarsono, 1993. Pokok-Pokok Hukum Islam, PT Rineka Cipta, Jakarta,
Suhendi, H. Hendi, 2002.  Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grapindo
Suhendi, Hendi, M.si., Dr., H.. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada






Situs Web:
·           http://aufamaudy0408.blogspot.co.id/2011/12/gadai-upah-hiwalah-luqathah-dan-utang.html (Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)
·           http://fitrianahadi.blogspot.co.id/2015/12/makalah-pinjam-meminjam-sewa-dan-gadai.html (Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)
·           http://islahilwathon.blogspot.co.id/2014/06/makalah-fiqih-muamalah-tentang-riba_7.html (Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)
·           http://inimakalahku.blogspot.co.id/2014/12/muzaraah_2.html (Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)
·           http://suciindahpratiwi26.blogspot.co.id/2014/03/tugas.html (Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)










[1] Imam Musthofa, Fiqih Muamalah Kotemporer, KAUKABA, Yogjakarta, 2014, hlm 5-6
[2] Moh Rifa’i, Ilmu Islam Fiqih Lengkap, PT Karya Toha Putra , Semarang, 1978, hlm 426.
[3] Musthofa Diib Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, Media Zikir, Solo, 2010, hlm 293.
[4] Khabib Bashori, Muamalat, Pustaka Insan Madani, Yogjakarta, 2007, hlm 15.
[5] Moh Rifa’i, Ilmu Islam Fiqih Lengkap, hlm 427.
[6] Ibid., hlm. 427-428
[7] Ibid, hlm 428.
[8] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm  29
[9] Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm, 52.
[10] Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, hlm 86-88
[11][11] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, hlm 34
[12][12] Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, hlm 89
[13] Ibid, h. 118
[14] Prof.Dr.Abdul Aziz Muhammad Azim, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010). Hlm. 217
[15] Prof.Dr.H.Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010).hlm. 220
[16] Ibid, hlm. 220
[17] Ibid, hlm. 221
[18] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 ) 275
[19] Sohari sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor,  Ghalia Indonesia, 2011 ) 215
[20] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 ) 278
[21] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 ) 279
[22] Sohari sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor,  Ghalia Indonesia, 2011 ) 218
[23] Muhamad syafi’i antonio, bank syari’ah,(jakarta, gema insani 2001).hlm.99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...