Kamis, 27 April 2017

Makalah Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul di dunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang Yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat Yunani adalah filsafat Persia, Cina, India, dan tentu saja filsafat Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran filsafat Islam Ibnu Rusyd. Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.

B.             Rumusan Masalah
1.        Bagaimana biografi Ibnu Rusyd?
2.        Apa saja karya-karya Ibnu Rusyd?
3.        Apa saja pemikiran Ibnu Rusyd?

C.          Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui biografi Ibnu Rusyd
2.        Mengetahui karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Rusyd
3.        Mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd







BAB II
PEMBAHASAN

A.          Biografi Ibnu Rusyd
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M, sekitar 5 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalusia dan ia sendiri pada tahun 565 H/ 1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[1]
Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas karya-karya Aristoteles (Comentator), sebuah gelar yang diberikan Dante (1265-1321 M) dalam bukunya Devine Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya, setelah bercampur dengan unsur-unsur Platonik yang cukup memperburuk orisinalitas pemikirannya dan yang dimasukkan para filsuf Iskandariah.[2]
Dengan realitas yang dialami sebagai qadhi, dokter, dan didukung oleh berbagai penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat, Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi. Kehebatannya dapat dilihat dari berbagai karya yang telah ditulis, meskipun di akhir hidupnya, Rusyd mendapat tuduhan besar sehingga ia dibuang dari tanah kelahirannya.[3]

Ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat  ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Suasana yang mencekam ini dimanfaatkan oleh ulama-ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.[4]

B.          Karya-karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filosuf yang menentang Al Ghazali. Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, Al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
1.        Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2.        Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
3.        Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.

Menurut Al-Gazhali bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam hal itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu Al-Quran.
 Bukunya yang khusus menentang filsafat Al Ghazali, Tahafutut-tahafut, adalah reaksi dari buku Al Ghazali, Tahafutu falasifah. Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit. Di antara karangan-karangannya yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
1.        Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.        Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Milat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.        Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, berisikan uraian-uraian di bidang fiqih.[5]

C.          Pemikiran Ibnu Rusyd
1.        Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan falsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya dengan dalil Al-Qur’an (Al-A’Raaf : 185, Al-An’am : 75),
óOs9urr& (#rãÝàZtƒ Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3tƒ Ïs% z>uŽtIø%$# öNßgè=y_r& ( Ädr'Î7sù ¤]ƒÏtn ¼çny÷èt/ tbqãZÏB÷sムÇÊÑÎÈ
“dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”
(Q.S. Al-A’raaf:185)

šÏ9ºxx.ur ü̍çR zOŠÏdºtö/Î) |Nqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur tbqä3uÏ9ur z`ÏB tûüÏYÏ%qßJø9$# ÇÐÎÈ
“dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.” (Q.S. Al-An’am : 75)

Menurut Ibnu Rusyd, ayat-ayat tersebut menyuruh manusia berfikir tentang wujud atau alam yang tampak ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh umat manusia berfilsafat, atau mempelajari filsafat Yunani, bukan dilarang atau diharamkan.[6]

2.        Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, menurut para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada justru tidak mempunyai dasar dalam Al-Qur’an. Seperti dalam beberapa firman-Nya:
uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& šc%Ÿ2ur ¼çmä©ötã n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uŠÏ9 öNä3ƒr& ß`|¡ômr& WxyJtã 3 úÈõs9ur |Mù=è% Nä3¯RÎ) šcqèOqãèö6¨B .`ÏB Ï÷èt/ ÏNöqyJø9$# £`s9qà)us9 tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿŸ2 ÷bÎ) !#x»yd žwÎ) ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÐÈ
“dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". (Q.S. Hud : 7)

§NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }Édur ×b%s{ߊ tA$s)sù $olm; ÇÚöF|Ï9ur $uÏKø$# %·æöqsÛ ÷rr& $\döx. !$tGs9$s% $oY÷s?r& tûüÏèͬ!$sÛ ÇÊÊÈ
“kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".”(Q.S. Fushilat : 11)

óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
“dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. Al-Anbiya : 30)

Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an (Q.S. Hud: 7, Al-Fushshilat: 11, Al-Anbyaa’: 30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim, justru karena alam itu diciptakan Tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali. Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.[7]

3.        Kebangkitan Jasmani
Menurut Al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebabkan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Ibnu Rusyd menyangkal pendapat Al-Ghazali itu, karena menurut Ibnu Rusyd, keimanan terhadap kebangkitan jasmani adalah suatu keharusan bagi terwujudnya keutamaan akhlak, keutamaan teori dan amalan lahir, karena seorang tidak akan memperoleh kehidupan yang sebenarnya dalam dunia ini kecuali dengan amalan-amalan lahir, dan untuk kehidupan di dunia dan di akhirat, tidak bisa tercapai kecuali dengan keutamaan-keutamaan teori. Dengan demikian pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para filosuf adalah persoalan teori.[8]
Ibnu Rusyd menggambarkan kebangkitan rohani dengan analogi tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan.[9]

4.        Kerasulan Nabi
Banyak filosuf dan para ulama kalam yang membicarakan masalah kenabian. Pembuktian kerasulan para ulama kalam menyatakan apabila orang berbicara dan berkehendak dapat mengutus hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga apabila berbicara dan beriradah dapat mengutus rasul-Nya. Pembuktian ini adalah melalui jalan qiyas, namun jalan tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang mungkin saja. Bagi golongan Asy’ariyah dalam memperkuat qiyas itu adalah bahwa orang yang mengaku menjadi utusan Tuhan, maka harus menunjukkan benar-benar bahwa ia diutus Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, dan tanda ini dinamakan mu’jizat.
Pembuktian yang seperti itu menurut Ibnu Rusyd hanya bersifat memuaskan hati, tetapi tidak meyakinkan, namun ia menyadari bahwa pembuktian itu sesuai dengan kebanyakan orang. Apabila diteliti dengan seksama pembuktian mengandung berbagai kelemahan. Diantaranya yaitu darimana kita mengetahui bahwa mu’jizat yang nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.
Mu’jizat menurut Ibnu Rusyd ada dua macam, yaitu:
a.          Mu’jizat luaran (al karrami) yakni mu’jizat yang sesuai dengan sifat yang karena seorang nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan penyakit, membelah lautan dan sebagainya.
b.         Mu’jizat yang sesuai (al immasib) dengan sifat kenabian tersebut, yaitu syariat (peraturan) yang dibawanya untuk kebahagiaan manusia.[10]

5.        Pengetahuan Tuhan
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para filsuf Muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang terjadi) pada alam sementara ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama islam, para filsuf Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek (akibat dari memperhatikan hal-hal juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yakni sebab bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal bersifat juz’i di alam semesta ini, betapa pun kecilnya hal tersebut. Manusia tidak memiliki pengetahuan sama sekali, tetapi kemudian secara berangsur-angsur, memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan bagian demi bagian alam secara seksama.
Kritik Al-Ghazali tentang apakah Tuhan tahu terhadap hal-hal kecil atau tidak. Ia memandang bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, baik besar ataupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan perkara yang kecil. Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.[11]























BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
1.        Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M, sekitar 5 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas karya-karya Aristoteles (Comentator), karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya. Beliau meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.
2.        Karya-karya Ibnu Rusyd:
a.              Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
b.             Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Milat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
c.              Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, berisikan uraian-uraian di bidang fiqih.
3.        Pemikiran Ibnu Rusyd:
·                Agama dan filsafat
·                Qadimnya alam
·                Kebangkitan jasmani
·                Kerasulan Nabi
·                Pengetahuan Tuhan









DAFTAR PUSTAKA

Mustofa. 1997.  Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Supriyadi, Dedi. 2009.  Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik,. Semarang: Pustaka Pelajar

Situs Web :
(Dikutip sebagian pada hari Selasa, 18 November 2016. Jam 16.30 WIB)
(Dikutip sebagian pada hari Selasa, 18 November 2016. Jam 16.30 WIB)






[1] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 221.
[2] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), 17.
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 227.
[4] Sirajuddin, 224.
[5] Ibid, 225.
[6] Dedy Supriyadi, 229.
[7] Ibid.
[8] Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 301-302.
[9] Dedy Supriyadi, 234.
[10] Mustofa, 304.
[11] Dedy Supriyadi, 236-238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...