Kamis, 27 April 2017

Pembahasan Soal Fiqih jilid 1



A.          Jelaskan dan cari dari berbagai sumber tentang sekitar najis!
1.        Macam-macam Najis
Para ulama membagi najis ke dalam 3 macam, yaitu najis mukhaffafah, najis mughaladzah, dan najis mutawassitah.
a.         Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah(najis yang hukumnya ringan) adalah najis berupa air kencing bayi laki-laki yang belum makan atau minum, selain air susu ibunya. Air kencing bayi perempuan hukumnya seperti air kencing dewasa walaupun belum makan dan minum selain air susu ibunya. Karena jika perempuan kencing, air kencing langsung keluar tanpa ada saringan terlebih dahulu. Sementara itu, air kencing bayi laki-laki tidak langsung keluar semuanya, tetapi tersaring pada quluf atau kulit ujung kemaluan laki-laki yang belum dikhitan. 
Cara menyucikan air kencing bayi laki-laki cukup dengan memercikan air pada bagian badan, pakaian, atau benda-benda lainnya yang terkena air kencing tersebut tanpa dibasahi seluruhnya. Jika air kencingnya bayi perempuan, harus dibasuh.
b.        Najis Mughaladzah
Najis mughaladzah(najis yang hukumnya berat) adalah najisnya anjing dan babi beserta anak dari kedua jenis hewan itu dengan jenis hewan lain.Cara menyucikannya ialah membasuh tujuh kali dan salah satu di antaranya dilakukan dengan menggunakan tanah. Cara ini disebut ta’abud (ibadah),yaitu tidak boleh ditukar-tukar dan diubah, misalnya mengganti campuran debu dengan sabun.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

http://3.bp.blogspot.com/-UsIAAf5El-w/Vo_5vm7o5aI/AAAAAAAACIM/jW_voJEuKqs/s1600/Hadist%2BNajis.bmp

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Cara menyucikan bejana salah seorang di antaramu bila dijilat anjing, yaitu membasuh (dengan air) sampai tujuh kali. Salah satu basuhan itu dicampur dengan debu” (H.R. Muslim)

Babi disamakan dengan anjing karena babi termasuk binatang yang keji, artinya binatang yang najis.

Firman Allah swt. :
http://2.bp.blogspot.com/-DsGr5NTDQ6w/Vo_50yOlt7I/AAAAAAAACIU/eiVRBTRxGt4/s1600/Firman%2BAllah%2Btentang%2BBabi.bmp

“Atau (yang diharamkan juga), daging babi itu adalah binatang keji (najis)”. (Surah Al- An’am [6] : 145)
c.         Najis Mutawassitah
Najis mutawassitah (najis yang hukumnya sedang) adalah najis selain dari najis mukhaffafah dan mughaladzah. Najis mutawassitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu najis mutawassitah ainiyyah dan mutawassitah hukmiyyah.
1)        Najis mutawassitah ainiyyah, yaitu najis yang tampak dilihat oleh mata, seperti baul (air kencing) orang dewasa, gait (kotoran manusia atau binatang), darah, nanah, dan muntah. Cara menyucikan najis ainiyyah adalah dengan membasuh bagian yang terkena najis hingga hilang dzat dan sifat dari najis tersebut. Akan tetapi apabila rasa, warna, dan baunya susah untuk dihilangkan, boleh dibiarkan.
2)      Najis mutawassitah hukmiyyah, yaitu najis yang tidak dapat terlihat oleh mata, tetapi yakin adanya najis itu, seperti air kencing yang sudah kering. Cara mensucikannya cukup dengan menyiramkan air sekali saja tanpa harus mencuci seluruhnya.
2.        Najis Yang Dimaafkan
Seseorang yang akan shalat hendaklah terlebih dahulu memastikan dirinya, pakaiannya serta tempatnya dari najis. Jika terdapat najis pada perkara-perkara yang disebutkan itu, maka baiknya dibersihkan terlebih dahulu sehingga tempat yang terkena najis itu menjadi suci. Salah satu dari syarat sah shalat itu ialah suci tubuh badan, pakaian dan tempat shalat dari najis yang tidak dimaafkan. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Tafsirnya: “Dan pakaianmu, maka hendaklah engkau bersihkan!” (Surah al-Muddatstsir: 4)
Syarat suci dari najis ketika di dalam shalat adalah juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Jika datang darah haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah berlalu haid itu maka bersihkanlah (darah) dari dirimu dan kerjakanlah shalat.” (Hadits riwayat Bukhari)
Dari ayat dan hadits di atas, jelas bahwa tidak sah shalat seseorang yang terdapat najis pada badan, pakaian atau tempat shalat. Namun jika sekiranya najis itu merupakan najis yang dimaafkan, maka shalatnya adalah sah walaupun dia tidak menghilangkan najis dan menyucikan tempat yang terkena najis itu terlebih dahulu.
Untuk memudahkan seseorang itu melaksanakan ibadatnya, adalah perlu dia mengetahui apakah perkara yang dikategorikan sebagai najis yang dimaafkan.
a.        Apakah Najis Yang Dimaafkan itu?
Menurut para ulama mazhab asy-Syafi‘i, kaedah umum yang boleh dirujuk untuk mengenal pasti najis-najis yang dimaafkan itu ialah suatu perkara yang susah dielakkan darinya.
Berikut adalah sebahagian contoh najis-najis yang dimaafkan:
1.             Najis yang tidak nampak pada pandangan kasat mata, walaupun iadari najis mughallazhah. Umpamanya darah yang terlalu sedikit atau air kencing yang terpercik sama ada pada tubuh badan, pakaian atau tempat bershalat yang tidak nampak oleh pandangan kasat mata
2.             Najis yang sedikit seperti darah nyamuk atau kutu yang tidak mengalir. Begitu juga darah yang keluar dari kudis, bisul, jerawat kecil, luka atau nanah pada badan seseorang, pakaian atau tempatnya bershalat yang bukan disebabkan perbuatannya sendiri.
Jika darah tersebut keluar disebabkan oleh perbuatannya sendiri, umpamanya membunuh nyamuk yang ada pada bajunya atau menekan kudis atau jerawat sehingga mengeluarkan darah, maka darah tersebut tidak sebagai najis yang dimaafkan.
Darah atau nanah luka yang banyak juga termasuk najis yang dimaafkan dengan syarat, yaitu:-
·         Darah atau nanah tersebut merupakan darah/nanah dari diri sendiri
·         Darah atau nanah itu keluar bukan disebabkan perbuatannya
·         Darah atau nanah yang keluar itu tidak mengalir dari tempatnya, seperti darah yang banyak itu tidak mengalir dari lukanya.
3.             Darah ajnabi yaitu darah orang lain yang terkena pada badan, kain atau tempat shalat dengan kadar yang sedikit dengan syarat najis tersebut bukan dari najis mughallazhah iaitu dari anjing dan babi. Jika ia berasal dari keduanya atau salah satu dari keduanya, tidak dimaafkan walaupun hanya sedikit.
4.             Darah yang sedikit yang keluar dari hidung atau darah yang keluar dari bagian-bagian tubuh seperti mata, telinga dan yang lainnya, selain dari jalan tempat keluar najis seperti tempat keluar kotoran.
5.             Darah yang masih tinggal di tempat lukanya yang keluar hasil dari perbuatan mengeluarkan darah dengan tusukan atau berbekam, sekalipun banyak yang masih tinggal di tempat lukanya.
6.             Darah yang keluar dari gusi bila tercampur dengan air ludah sendiri. Sah shalat bagi orang yang gusinya berdarah sebelum dicucinya darah tersebut selagi dia tidak menelan air ludahnya ketika di dalam shalat.
7.             Tempat umum yang memang diyakini kenajisannya, dengan syarat najis tersebut tidak jelas di tempat itu dan dia telah pun berusaha untuk mengelak dari terkena tempat laluan tersebut seperti tidak membiarkan ujung kain terkena tanah tempat umum tersebut.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang mengutamakan kebersihan. Karena itu umat Islam diperintahkan untuk memelihara diri dari segala najis sehingga suci dari najis pada tubuh, pakaian dan tempat dijadikan sebagai salah satu syarat sah shalat. Walau bagaimanapun Islam juga adalah agama yang tidak membebankan umatnya dengan kesusahan.
ABDUL AZIZ
PAI Semester 2
B.          Kriteria halalnya bangkai dari binatang yang ada di laut
1.        Dalil Tentang Hewan Air
Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “al bahru al maa’“ adalah kumpulan air yang banyak. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai atau kolam.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».
“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2.        Apakah Hewan Air yang Ditemukan Mati Mengapung atau Terseret Hingga ke Pinggiran Halal?
Jika hewan air mati dengan sebab yang jelas, misalnya: karena ditangkap (dipancing), disembelih atau dimasukkan dalam kolam lalu mati, maka hukumnya adalah halal berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Jika hewan air mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan pendapat. Pendapat mayoritas ulama yaitu Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hewan semacam itu tidak halal.
Dalil dari pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا
Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12)
Juga dalil dari pendapat jumhur adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا . فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ { بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .
Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan air itu halal, baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di air, pen) atau mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sedangkan ulama Hanafiyah memakruhkan hal ini.”
Dalil lain tentang halalnya hewan air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR. Ibnu Majah no. 3314, shahih)
Intinya, pendapat jumhur ulama dinilai lebih kuat, yaitu meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu mengapung di air atau terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi halal. Namun jika hewan seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan dapat memberikan bahaya ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.
[Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh ‘Abdullah Al Ghodyan selaku anggota]
ABDUL AZIZ
PAI Semester 2
C.              Kondisi Air dan Permasalahannya
1. Macam-macam Air
Ada beberapa macam air yang bisa digunakan untuk bersuci, mayoritas ulama menyebutkan ada 7 macam air yang boleh dan sah di gunakan untuk bersuci , yaitu :
  1. Air hujan
  2. Air Sungai
  3. Air Mata Air
  4.  Air Laut
  5. Air Sumur
  6. Air embun
  7. Air Salju
Catatan:
Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya Hasiyah Al Bajuri menuturkan urutan beberapa air yang memiliki nilai lebih di bandingkan dengan air-air lain karena memiliki nilai histories :
  1. Air terbaik adalah air yang pernah keluar dari sela-sela jari Rasulullah di saat para sahabat kehausan.
  2. Air zam zam
  3. Air Telaga Al Kautsar
  4. Air Sungai Nil
  5. Air sungai Furat, Dajlah dan seluruh air sungai yang ada di dunia.

2.   Pembagian Air
Dalam hubungannya dengan bersuci, air di bagi menjadi empat macam :
a.      Air suci yang mensucikan dan boleh di gunakan.
Air ini di sebut air mutlaq, yaitu air yang tidak bercampur apapun, masih murni dan tidak ada benda atau zat lain yang merusak kemutlakannya.

b.      Air suci yang mensucikan dan makruh di gunakan.
Yaitu air yang sebenarnya suci secara zatnya, juga mensucikan dan sah jika di gunakan untuk bersuci, tetapi makruh di gunakan untuk bersuci. Air jenis ini di sebut dengan Air Musyammas, yaitu air yang di panaskan pada sinar matahari. Air ini makruh di gunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran, air yang telah di panaskan dengan sinar matahari bisa menyebabkan penyakit sopak. Akan tetapi, tidak semua air yang dipanaskan dengan sinar matahari makruh di gunakan, sebab ada syarat-syarat tertentu yang menyebabkannya makruh di gunakan, yaitu :
·                     Air tersebut ketika dipanaskan berada pada tempat yang terbuat dari besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Jika terbuat dari kayu, plastic, tanah, kulit, emas dan perak, air tersebut tidak makruh digunakan.
·                     Dipanaskan pada kondisi panas yang luar biasa
·                     Tidak mudah mendingin kembali
·                     Masih tersedia air yang lain selain air musyammas. Jika sama sekali tidak ada air lain selain air musyammas, maka boleh bahkan wajib menggunakan air musyammas untuk bersuci.
·                     Di gunakan pada badan. Jika digunakan untuk mensucikan pakaian atau tempat, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat bahwa air musyammas tidak makruh digunakan, sebab menurut beliau, hadits yang menerangkan makruhnya air musyammas hukumnya lemah. Akan tetapi mayoritas mengatakan kemakruhannya.

Selain air musyammas, ada lagi air yang makruh di gunakan, yaitu :
a.       Air yang sangat panas, misalnya air yang baru saja di rebus. Air ini bisa dan boleh digunakan lagi serta tidak makruh lagi jika telah mendingin.
b.      Air yang sangat dingin, misalnya air yang tersimpan dalam kulkas dalam waktu lama. Air ini juga boleh di gunakan kembali dan tidak makruh setelah derajat kedinginannya kembali ke derajat normal.

c.       Air suci tetapi tidak mensucikan.
Air ini terbagi menjadi dua :
·         Air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk mensucikan najis atau hadats. Hukumnya suci, tetapi tidak sah digunakan untuk bersuci lagi.
·         Air yang berubah dari wujud aslinya, yaitu air yang berubah karena bercampur dengan benda suci lainnya. Contoh mudah untuk air jenis ini adalah air kopi, air teh, air susu dan lain-lain. Air ini sesungguhnya suci, buktinya tidak ada yang tidak mau jika di suguhi kopi, pasti mau meminumnya. Artinya air ini sebenarnya suci, tetapi tidak bisa mensucikan benda lain.
d.      Air Najis, yaitu air yang bernajis meskipun sedikit.
Bagian ini di bagi dua :
·         Air yang sedikit. Air dikatakan sedikit jika ukurannya kurang dari dua kullah, jika air kurang dari dua kullah kemasukan najis, maka hukumnya menjadi najis walaupun tidak ada perubahan apapun karena kemasukan najis itu tadi. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
·         Air yang banyak. Air yang banyak adalah air yang mencukupi bahkan lebih dari dua kullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya suci jika tidak terjadi perubahan pada warna, rasanya dan baunya. Tetapi jika ada perubahan walaupun sedikit pada salah satu sifatnya, maka hukumnya menjadi najis. Air ini tetap boleh digunakan bersuci dengan catatan tidak ada perubahan apapun jika kemasukan najis. Misalnya si A mengencingi air sungai, jika air kencing tersebut tidak menyebabkan bau, rasa dan baunya air sungai berubah, maka hukumnya tetap suci.
Catatan:
1. Ukuran air dua kullah adalah :
  • 174,580 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 55,9 cm ( Menurut Imam Nawawi ).
  • 176,245 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 56,19 cm ( Menurut Imam Rofii i ).
  • 270 liter menurut kitab Fiqh Islamiyah.
2.   Air yang sedikit tidak menjadi najis jika kemasukan bangkai hewan yang tidak memiliki darah, seperti lalat, semut, lebah dan lain-lain.
Sumber : http://mellamela3.blog.com/macam-macam-air-yang-dipakai-bersuci/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...