Kamis, 27 April 2017

Makalah tentang Kode Etik Guru dan Kebijakan Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Akhir-akhir ini pendidikan menjadi masalah yang ramai dibicarakan. Berbicara mengenai pendidikan berarti berbicara tentang profesi guru. Pada saat ini profesi guru merupakan salah satu profesi yang banyak diminati oleh kebanyakan siswa dan siswi, hal tersebut karena guru merupakan profesi yang dapat menentukan masa depan bangsa ini, guru yang baik dan berkualitas dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang berkualitas juga, begitu pun sebaliknya, seorang guru yang tidak berkualitas akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tertinggal dan bahkan bisa menjadi bangsa yang terjajah lagi. Selain itu, saat ini profesi guru dijamin kesejahteraan hidupnya. Hal ini didukung oleh berbagai upaya pemerintah dalam mensejahterakan posisi guru melalui berbagai kebijakannya.
Oleh karena itu, orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi seorang guru. Namun, menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah syarat admistrasi, teknis, psikis, dan fisik, selain itu seorang guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional.
Namun, kebanyakan orang-orang yang telah menjadi seorang guru dalam menjalankan profesinya tersebut tidak jarang melakukan penyimpangan atau pun pelanggaran terhadap norma-norma menjadi seorang guru, sehingga pemerintah menetapkan suatu aturan atau norma-norma yang harus dipatuhi oleh para guru di Indonesia yang dikenal dengan “Kode Etik Guru”. Dengan adanya Kode Etik Guru ini, diharapkan para guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagaimana telah ditetapkan dalam Kode Etik Guru tersebut.
Untuk itu, dalam ini akan dipaparkan tentang kode etik keguruan dan apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam hal pendidikan salah satunya.




B.          Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian Kode Etik Guru?
2.        Apakah yang dimaksud dengan Kebijakan Pendidikan?


C.          Tujuan Penulisan
1.        Dapat menjelaskan tentang Kode Etik Guru
2.        Dapat menjelaskan tentang Kebijakan Pendidikan

































BAB II
PEMBAHASAN
A.          Kode Etik Guru
1.        Pengertian  Kode Etik Guru
Kode Etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standar perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat. Berikut beberapa pengertian kode etik:
a.    Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Pasal 28 menyatakan bahwa "Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku perbuatan di dalam dan di luar kedinasan".
Dalam Penjelasan Undang-undang tersebut dinyatakan dengan adanya Kode Etik ini, Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Selanjutnya dalam Kode Etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat di simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari- hari.
b.    Kongres PGRI ke XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiaan bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (1) sebagai landasan moral, dan (2) sebagai pedoman tingkah laku.
Secara umum, kode etik guru ialah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru di Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga Negara.



2.        Isi Kode Etik Guru
Adapun rumusan kode etik guru yang merupakan kerangka pedoman guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya itu sesuai dengan hasil kongres PGRI XIII, yang terdiri dari 9 item berikut:
  1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
  2. Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing
  3. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
  4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
  5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
  6. Guru secara sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
  7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antarsesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan keseluruhan.
  8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru professional sebagai sarana pengabdiannya.
  9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.


3.        Hakikat Kode Etik Guru
Pada dasarnya guru adalah tenaga professional dibidang kependidikan yang memiliki tugas mengajar, mendidik, dan membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berpribadi (pancasila). Dengan demikian, guru memiliki kedudukan yang sangat penting dan tanggung jawab yang sangat besar dalam menangani berhasil atau tidaknya program pendidikan. Kalau boleh dikatakan sedikit secara ideal, baik atar buruknya suatu bangsa di masa mendatang banyak terletak di tangan guru.
Sehubungan dengan itu guru sebagai tenaga professional memerlukan pedoman atau kode etik guru agar terhidar dari segala bentuk penyimpangan. Kode etik menjadi pedoman baginya untuk tetap professional (sesuai dengan tuntutan dan persyaratan profesi). Setiap guru yang memegang keprofesionalannya sebagai pendidik akan selalu berpegang kepada kode etik guru. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi itu sendiri.
Kode etik yang memedomani setiap tingkah laku guru senantiasa sangat diperlukan. Karena dengan itu penampilan guru akan terarah dengan baik, bahkan akan terus bertambah baik. Ia akan terus menerus memperhatikan dan mengembangkan profesi keguruannya. Kalau kode etik yang merupakan pedoman atau pegangan itu tidak dihiraukan berarti akan kehilangan pola umum sebagai guru.
Jadi postur kepribadian guru akan dapat dilihat bagaimana pemanfaatan dan pelaksanaan dari kode etik yang sudah disepakati bersama tersebut. Dalam hubungan ini jabatan guru yang betuk-betuk professional selalu dituntut adanya kejujuran professional. Sebab kalau tidak ia akan kehilangan pamornya sebagai guru atau boleh dikatakan hidup diluar lingkup keguruan.

4.        Tujuan Kode Etik Guru
Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik guru adalah untuk kepentingan guru, peserta didik dan lembaga pendidikan itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik guru adalah sebagai berikut:
a.          Untuk menjunjung tinggi martabat guru
Dalam hal ini kode etik guru dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah terhadap profesi keguruan. Oleh karenya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan setiap anggota profesi keguruan yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga sering kali disebut kode kehormatan.
b.        Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan guru
Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi keguruan, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya (guru) untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merusak kesejahteraan profesi keguruan
Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorium anggota profesi keguruan dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk para anggota keguruan untuk melaksanakan profesinya.
Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi keguruan dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi.
c.         Untuk meningkatkan pengabadian bagi guru
Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabian profesi keguruan, sehingga bagi anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi keguruan dalam menjalankan tugasnya.
d.        Untuk meningkatkan mutu profesi keguruan
Untuk meningkatkan mutu profesi keguruan, kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi keguruan selalu berusaha untuk meningkatkan mutu, terutama dalam hal mendidik/mengajar.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik guru adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi keguruan, menjaga dan memelihara kesejateraan guru, meningkatkan pengabdian bagi guru, dan meningkatkan mutu profesi keguruan.

5.        Fungsi  Kode Etik Guru
Pada dasarnya kode etik berfungsi sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi itu, dan sebagai pelindung bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan suatu profesi. Gibson and Mitchel (1995;449), sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional anggota suatu profesi dan pedoman bagi masyarakat pengguna suatu profesi dalam meminta pertanggungjawaban jika anggota profesi yang bertindak di luar kewajaaran.
Secara umum, fungsi kode etik guru adalah sebagai berikut:
a.       Agar guru memiliki pedoman dan arah yang jelas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terhindar dari penyimpangan profesi.
b.      Agar guru bertanggungjawab atas profesinya.
c.       Agar profesi guru terhindar dari perpecahan dan pertentangan internal.
d.      Agar guru dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan.
e.       Agar profesi ini membantu memecahkan masalah dan mengembangkan diri.
f.         Agar profesi ini terhindar dari campur tangan profesi lain dan pemerintah.


B.          Kebijakan Pendidikan 
1.        Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75).
Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.

2.        Fungsi Kebijakan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan (Pongtuluran, 1995:7).
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, maka kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara dengan maksud agar tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan

3.        Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
a.         Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
b.        Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
c.         Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
d.        Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
e.         Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
f.     Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
g.        Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
h.         Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.

4.        Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
a.        Memiliki tujuan pendidikan.
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b.        Memenuhi aspek legal-formal.
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.     Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
  1. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
  1. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi secara mudah dan efektif.
  1. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal.
Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut:
a.         Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
b.        Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
c.         Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
d.        Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
e.         Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
f.         Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
g.          Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.

5.        Implementasi Kebijakan Pendidikan
Dalam menentukan kebijakan pendidikan, para guru dan birokrasi pendidikan ditutut profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka harus selalu berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengen kebutuhan masyarakat.
Karena kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara kita ini bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal tersebut.
Dalam penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering berganti-gantinya kurikulum. Akhirnya pemeintah kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang ada.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.        Secara umum, kode etik guru ialah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru di Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga Negara.
2.        Dalam kaitannya dengan pendidikan, maka kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu Negara dengan maksud agar tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan

 





























DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada University Press
Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Imron , Ali. 1995. Kebijakan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Koesoemahatmadja. 1979. Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan di Daerah di Indonesia. Bandung : Binacipta
Muhdi, Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Pustaka Fahima.
Purwanto Ngalim. 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya Offset:Bandung
Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta. FIP UNY
Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta
Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Penerbit Djambatan

Situs Web:
(Dikutip sebagian pada Rabu, 8 Maret 2017. Jam 10.00 WIB)
(Dikutip sebagian pada Rabu, 8 Maret 2017. Jam 10.00 WIB)

(Dikutip sebagian pada Rabu, 8 Maret 2017. Jam 10.00 WIB)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...