Kamis, 27 April 2017

Maklah Hadits tentang Realisasi Iman dalam kehidupan



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang

Sudah menjadi keyakinan bahwa sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist. Selain yang telah di tegaskan Al-Qur’an sendiri, juga dalam berbagai hadits Rasulullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam menuntun agar umat Islam berpegang teguh kepada ke dua sumber tersebut.
Sejalan dengan perkembangan waktu, umat manusia juga menghadapi berbagai permasalahan yang harus di sikapi dan di jalankan dengan baik. Maka bagi umat Islam, permasalahan yang timbul kapan dan dimanapun maka harus dikembalikan kepada pegangan hidup mereka yang telah di tetapkan, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Dan oleh sebab itu, kami sebagai pemakalah ingin memaparkan apa-apa saja sikap yang harus kita terapkan dalam kehidupan kita. begitupun dalam kehidupan sehari-hari karena sesungguhnya begitu banyak penerapan - penerapan hadits yang di ajarkan Rasullullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. Kita sebagai umat muslim patut untuk mencontoh jejak-jejak Rasullullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam, dan dengan begitu maka kita pantas di katakan sebagai umat Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam.
Untuk itu, dalam pemaparan makalah ini akan dibahas tentang cinta sesama Muslim dan cara-cara berperilaku / bersosialisasi dengan Muslim yang lain berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits..

B.            Rumusan Masalah 

1.             Apa yang dimaksud  dengan cinta sesama Muslim ?
2.             Apa ciri seorang Muslim tidak mengganggu orang lain ?
3.             Bagaimana realisasi iman dalam menghadapi tamu, bertetangga dan dalam bertutur kata?

C.           Tujuan Masalah

1.             Mengetahui tentang cinta sesama Muslim
2.             Mengetahui ciri seorang Muslim yang tidak mengganggu orang lain
3.             Mengetahui realisasi iman dalam menghadapi tamu, bertetangga dan dalam bertutur kata





BAB II
PEMBAHASAN

A.           Cinta Sesama Muslim Sebagian Dari Iman

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه ِ(رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائى)
 
“Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. telah bersabda : “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)[1]

Di antara sifat iman yang wajib ialah seseorang mencintai untuk saudaranya yang mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, imannya berkurang.
            Namun dengan demikian, hadits tersebut bukan berarti dapat di artikan bahwa seorang mukmin yang tidak mencintai mukmin lainnya dapat di katakan juga tidak beriman. Karena maksud pernyataanلاَ يُؤْ مِنُ أَ حَدُ كُمْ  pada hadits di atas “ tidak sempurna keimanan seseorang,” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, huruf nafi لاَ  pada hadis tersebut berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
            Dalam hadits lain juga ada menyebutkan betapa pentingnya memiliki sifat tersebut, bahkan Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam menomerkan masuk surga bagi orang yang memilikinya. Sebagaimana dalam hadits berikut ini:


عَنْ اَنَس رَضيَ ا اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  قَا لَ : ثَلاَ ث مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَ وَ ةَ ا لإِ يمَا:
أَنْ يَكُوْ نَ اللهُ وَرَسُول لهُ أَ حَبَّ إلَيهِ مِمَّا سِوَا هُمَا , وَ اَنْ يُحِبُّهُ إلأَ  للهِ, وَاَنْ يَكْرَ هَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْر كَمَا يَكْرهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.
Diriwayatkan dari Anas r.a.: Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. Pernah bersabda,siapapun yang memiliki tiga kualitas berikut akan memperoleh kelezatan iman: Orang yang mencintai Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya (Muhammad Shallallahi ‘Alaihi Wasallam) melebihi apapun. Orang yang mencintai orang lain semata-mata karena Allah. Orang yang membenci kekafiran sebagaimana ia membenci dimasukkan kedalam api neraka. (H.R. Bukhari)[2]

Salah satu tanda kesempurnaan iman seorang mukmin adalah mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal itu direalisasikan dalam kehidupannya sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan merasakan kesusahan maupun kebahagiaan saudaranya seiman yang di dasarkan atas keimanan yang teguh kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dia tidak berpikir panjang untuk menolong saudaranya sekalipun sesuatu yang diperlukan saudaranya benda yang paling ia cintai.

B.            Ciri Seorang Muslim Tidak Mengganggu Orang Lain

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (رواهالبخاريوأبوداودوالنسائى)[3]
Telah mengkhabarkan kepada kami 'Amr bin Ali, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma'il dari 'Amir dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata; "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang muslim adalah orang yang seluruh kaum muslimin merasa selamat dari lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang." ( H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i )

Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. menggambarkannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati. Inilah ciri-ciri muslim yang tidak mengganggu orang lain
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Pesan Kedua, secara tekstual hadits di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam., yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
Dengan tidak mengganggu orang lain juga merupakan bentuk berakhlak mulia dan merupakan perbuatan iman yang paling utama, yaitu dalam kehidupan sehari-hari kita.
Di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah tidak mau menyakiti saudaranya seiman. Selain itu, ia juga berusaha untuk berhijrah (pindah) dari melakukan perbuatan-perbuatan yang di larang Allah kepada perbuatan-perbuatan yang di Ridhai-Nya.
Bahkan Allah Subhanahu Wata’ala mengancam dengan siksa neraka bagi siapa saja yang berani mengganggu dan mengusik orang lain. Firman-Nya :
žcÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtGsù tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur §NèO óOs9 (#qç/qçGtƒ óOßgn=sù Ü>#xtã tL©èygy_ öNçlm;ur Ü>#xtã È,ƒÍptø:$# ÇÊÉÈ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, Maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (Q. S. Al-Buruuj : 10)

                Peringatan yang disampaikan tentang mengganggu orang lain, khususnya orang mukmin merupakan peringatan yang berkali-kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Mengganggu orang lain terkadang dilakukan dengan lisan dan dalam kondisi yang lain dilakukan dengan perbuatan. Surat Al-Buruuj berbicara mengenai orang-orang Mukmin yang diganggu agar mereka melepaskan agama dan imannya. Untuk itu, Allah Subhanahu Wata’ala menyampaikan sebuah prinsip umum dalam ayat kesepuluh dan memperingatkan siapa saja dan dalam kondisi apapun untuk tidak mengganggu orang-orang mukmin. Karena mereka yang melakukan perbuatan ini nasibnya akan berujung pada azab yang pedih.

C.           Realisasi Iman dalam Menghadapi Tamu, Bertetangga dan Cara Bertutur Kata
                             
عَن أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى اللهُ عنه اَنْهُ قَا ل : قَال رَسُولُ اللهِ صلي الله عَلَيه وَسَلَمْ : مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِا اللهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ فَلْيُكْرمْ ضَيْفَهُ , وَ مَنْ كَا نَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَاْليَوْ مِ اْلأ خِرِفَليُحْسِنْ اِلَى إِلَى جَارِهِ , وَ مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِا اللهِ وَ اْليَوْمِ الأَ خِرِ فَلْيَقُلْ خَيْر. ( اَخْرَجَهُ الشَّيْخَان وابن مَاجَه )

“Dari abu Huraira r.a. Ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. Bersabda,“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia harus memuliakan tamunya, Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia harus berbuat baik kepada tetangganya, Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia harus berkata baik atau diam. (H.R, Bukhari dan Muslim dan Ibnu Majah).[4]

Hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari banyak jalur dari Abu Hurairah. Di sebagian redaksinya disebutkan, “maka ia jangan menyakiti tetangganya. ”Di sebagian redaksi lainnya disebutkan[5], “hendaklah ia baik dalam memuliakan tamunya.” Di sebagian redaksinya yang lain disebutkan, “hendaklah ia menyambung kerabatnya,” menggantikan penyebutan tetangga.               
Dari hadits yang pertama di atas, itu dapat kita simpulkan ada tiga perkara yang dapat kita simpulkan yang di dasarkan keimanan kepada Allah dan hari akhir, yakni memuliakan tamu, memuliakan tetangga dan berbicara baik atau diam.

1.    Memuliakan Tamu
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam..:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْه ( متفق عـليه)
“Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abi Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” (Mutafaq Alaih)

Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.


2.    Memuliakan Tetangga
Maksud tetangga di sini itu umum, baik yang dekat maupun jauh, muslim, kafir, ahli ibadah, musuh dan lain-lain. Namun demikian dalam memuliakan mereka, terdapat tingkatan antara antara satu tetangga dengan yang lainnya. Selain itu di haruskan pula menjaga mereka dari ancaman gangguan dan bahaya.
Sebagaimana dalam hadits:

عَنْ أَ بِي شُرَيْحِ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ : إِنَّ النَّبِيِّ ِ صلى الله عليه وسلم  قَا لَ : (وَاللهِ لاَ يُؤْ مِنُ , وَ اللهِ لاَ يُؤْ مِنُ , وَاللهِ لاَ يُؤْ مِنُ ). قِيْلَ : وَ مَنْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَا لَ : ( الَّذِ ي لاَ يَأ مَنُ جَا رُهُ بَوَا ئقَهُ ).

Diriwayatkan dari Abu syuraih r.a,: Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam . pernah bersabda, “Demi Allah! Dia tidak beriman! Demi Allah! Dia tidak beriman! Demi Allah! Dia tidak beriman!” seseorang bertanya, “ siapa ya Rasulullah?” Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam. Bersabda “ Orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatan-nya.” [6]

Dalam hadits lainnya yang di riwayatkan oleh Aisyah.
عَنْ عَا ئَشَةَ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهَا , عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  قَا لَ : (مَا زَالَ جِبْر يْلُ يُو صِينِي بِالجَا رِ  حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَ رِّث
Diriwayatkan dari Aisyah r.a.: Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “ jibril menganjurkan aku bersikap baik terhadap tetangga sedemikian rupa sehingga aku berpikir dia menyuruhku menjadikan mereka sebagai ahli warisku”.


Di antara akhlak terpenting terpentng terhadap tetangga adalah:
·         Menyampaikan ucapan selamat ketika tetangga sedang bahagia
·         Menjenguknya tatkala sakit
·         Bertakziah ketika ada keluarganya yang meninggal
·         Menolongnya ketika ia memohon pertolongan
·         Memberikan nasehat dalam beberapa urusan dengan yang cara yang ma’ruf.[7]

3.    Berbicara Baik atau Diam
Perbuatan-perbuatan iman terkadang terkait dengan hak-hak Allah, seperti mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang di haramkan. Termasuk dalam cakupan perbuatan-perbuatan iman ialah mengatakan yang baik dan diam dari yang jelek.[8]
Dalam sabda Nabi Shallallahi ‘Alaihi Wasallam, “hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” adalah perintah untuk berkata baik dan diam dari keburukan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perkataan yang sama kalau di ucapkan dan tidak di ucapkan. Namun bisa jadi perkataan itu baik, karenanya, diperintahkan di ucapkan. Dan bisa jadi, perkataan itu tidak baik, karenanya, di perintahkan tidak di ucapkan.
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata baik atau diam.

















BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Diantara sifat-sifat iman yang wajib ialah mencintai sesama Muslim merupakan bagian dari keimanan, tidak mengganggu orang lain baik dalam lisan maupun perbuatan dan bagaimana cara merealisasikan keimanan seorang Muslim dalam menerima tamu, bertetangga dan cara bertutur kata yang baik.
Cabang dari Iman itu sangat banyak, salah satunya ialah mencintai sesame Muslim yang kadar cinta sama dengan mencintai diri kita sendiri. Didalamnya kita tidak memilah dan memilih kepada siapa saja orang yang kita cintai. Karena siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya, hendaknya ia mencintai sesame Muslim dengan sepenuh hati sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Seorang  Muslim juga mempunyai ciri tidak mengganggu orang lain. Hal ini bisa diterapkan dengan cara tidak berkata yang membuat hati orang lain tidak tersakiti dengan ucapan kita dan tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu dan membahayakan bagi orang lain. Karena jika kita dengan sengaja melakukan hal itu, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan menimpakan azab yang pedih bagi para pelakunya.
Keimanan seseorang dapat direalisasikan dengan berbagai hal. Misalnya, kita harus menerima dan memuliakan tamu dengan baik, ramah dan penuh kesopanan, kita juga harus menjaga kerukunan dan keakraban dalam hidup bertetangga, selain itu kita juga senantiasa harus bertutur kata yang baik dan sopan kepada siapapun tanpa pilih-pilih dan lain sebagainya.
  










DAFTAR PUSTAKA

Az-Zabidi, Imam. Mukhtasar Shahih Bukhari, Selangor Malaysia: PERCETAKAN             ZAFAR, 2004.
Nashiruddin Al-Albani, Muhammad. Shahih Sunan Tirmidzi, Jakarta: Puataka Azzam, 2007.
Rajab,Ibnu. PANDUAN ILMU &  HIKMAH, Syarah Lengkap Al-Arbain- An-  Nawawi.  Jakarta: Darul Falah, 2002.
Syafe’i,Rachmat. AL-HADIS, , Aqidah Akhlak, sosial dan Hukum,(Bandung: Pustaka Setia, 2000.






[1] Rajab,Ibnu. PANDUAN ILMU &  HIKMAH, Syarah Lengkap Al-Arbain- An-  Nawawi hadits no.4 
[2]Imam Az-Zabidi. Mukhtasar Shahih Bukhari, (Selangor Malaysia: PERCETAKAN ZAFAR, 2004). Hlm. 12-13.
[3]Rajab,Ibnu. PANDUAN ILMU &  HIKMAH, Syarah Lengkap Al-Arbain- An-  Nawawi. hadits no.4 
[4].ibid. no.4
[5]Rachmat Syafe’i. AL-HADIS, , Aqidah Akhlak, Sosial dan Hukum. hlm.45.
[6]Imam Az-Zabidi. Mukhtasar Shahih Bukhari .Hlm. 849-850.
[7]Rachmat Syafe’i. AL-HADIS, , Aqidah Akhlak, Sosial dan Hukum. Hlm.48-49
[8]Ibnu Rajab. PANDUAN ILMU &  HIKMAH, Syarah Lengkap Al-Arbain- An-Nawawi., hlm. 289-290.a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...