BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu ciri kemukjizatan Al-Qur’an
adalah bagaimana Allah Subhanahu wata’ala
mengawali surat-surat di dalamnya dengan huruf-huruf hijaiyah yang
terpisah-pisah atau terpotong-potong (al-ahruf al-muqatha’ah). Huruf-huruf ini dalam
studi ilmu-ilmu Al-Qur’an biasa disebut dengan fawatih al-suwar
(pembuka-pembuka surat). Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk menggali
hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Mayoritas ulama sepakat bahwa fawatih
al-suwar termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih, sebab yang
dapat mengetahui makna huruf-huruf ini hanyalah Allah Subhanahu wata’ala. Namun di lain pihak masih ada kelompok
mufassir yang berpendirian di samping hanya diketahui ta’wilnya oleh
Allah Subhanahu wata’ala, juga dapat
diketahui oleh manusia, tentunya dengan pemahaman yang memadai untuk mengajukan
solusi yang sangat variatif.
Hampir menjadi kesepakatan umum bahwa
Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
Al-Qur’an dengan aspek-aspek kemukjizatannya yang antara lain adalah aspek
kehalalan berbanding keharaman, aspek keorisinalitasannya, aspek yang dapat
dipahami bangsa Arab secara khusus, dan aspek ta’wil yang hanya
diketahui oleh Allah Subhanahu wata’ala
semata. Adapun pembahasan tentang fawatih al-suwar ini termasuk ke dalam
aspek yang disebutkan terakhir, yaitu bagian yang ta’wilnya hanya diketahui
oleh Allah Subhanahu wata’ala semata,
dan manusia tidak memiliki otoritas untuk menta’wilkannya.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah penjelasan dari Fawatih
Al-Suwar?
2.
Bagimana bentuk-bentuk dari Fawatih Al-Suwar?
3.
Bagaimana pendapat para Ulama mengenai Fawatih Al-Suwar?
4.
Apakah hikmah yang terkandung dalam Fawatih Al-Suwar?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui penjelasan dari Fawatih Al-Suwar
2.
Mengetahui apa saja bentuk dari Fawatih Al-Suwar
3.
Mengetahui pendapat para Ulama mengenai Fawatih Al-Suwar
4.
Mengetahui hikmah yang terkandung dalam Fawatih Al-Suwar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fawatih al-Suwar
Dari segi bahasa, fawatih al-suwar
terdiri dari dua kata, yaitu kata فـواتـح jamak dari فـاتـح yang berarti permulaan,
pembukaan, dan atau pendahuluan.[2] Dan kata السـوار jamak dari سـورةyang berarti المنـزلة جمع
سـور (surat atau
kumpulan surat),[3] maksudnya adalah kumpulan dari sejumlah ayat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dan sudah ditentukan jumlahnya.
Jadi yang dimaksud dengan fawatih al-suwar adalah pembuka-pembuka
surat, dikarenakan posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks suatu surat.
Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah yang terputus, huruf
tersebut sering disebut dengan huruf muqaththa’ah (huruf yang
terpisah-terpisah), karena posisi dari huruf-huruf tersebut yang cenderung
‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk kalimat secara kebahasaan. Dari segi
pembacaannya pun tidaklah berbeda dari lafal yang diucapkan pada huruf hijaiyah.[4]
Menurut Ibn Abi al-Isba’ dalam
kitab Al-Khawathir al-Shawanih fi Asrar al-Fawatih yang ditulisnya,
dia menggunakan istilah ‘al-Fawatih’ dengan arti jenis-jenis
perkataan yang membuka surat-surat dalam Al-Qur’an. Jenis-jenis perkataan itu
dibagi menjadi sepuluh kelompok; salah satunya adalah huruf-huruf tahajji
(dibaca dengan cara dieja), atau yang biasa kita sebut dengan al-fawatih.
Sementara Sembilan jenis lainnya adalah pujian: pujian kepada Allah, baik tahmid
maupun tasbih; nida’ (seruan); jumlah khabariyah
(kalimat berita); qasam (sumpah); syarat, perintah, doa, dan ta’lil
(alasan).[5] Begitu pula dengan Ibn Akhdhar yang
berpendapat bahwa fawatihu al-suwar berarti pembukaan surat karena posisinya
yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan
huruf-huruf hijaiyah dinamakan dengan al-ahruf al-muqaththa’ah
(huruf-huruf terpisah), karena posisi huruf tersebut menyendiri dan tidak
bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan.[6]
Mengenai hal ini Al-Zarkasyi
berpendapat :
“aspek tersebut merupakan bagian dari sesuatu yang ghaib, seperti ayat-ayat
yang membicarakan tentang terjadinya hari kiamat, turunnya hujan, apa yang ada
dalam rahim, interpretasi tentang roh, dan huruf-huruf penggalan (al-huruf
al-muqaththa’ah). Semua ayat-ayat mutasyabih yang terdapat dalam
Al-Qur’an menurut ahlu al-haq tidak ada tempat bagi ijtihad untuk
menafsirkannya dan memang tidak ada jalan untuk menuju kesana kecuali dengan
cara mengikuti salah satu dari ketiga hal berikut, yaitu berdasarkan dari nash
Al-Qur’an, penjelasan dari Nabi Saw., atau berdasarkan kesepakatan (ijma’)
ummat atas ta’wilnya. Jika tidak terdapat penjelasan secara tauqifi
dari ketiganya, maka dapat kita ketahui bahwa yang mengetahui ta’wilnya
hanyalah Allah Subhanahu wata’ala semata”.[7]
Sebagaimana teks-teks mengenai hari
kiamat, kebangkitan, apa yang ada dalam rahim dan tentang roh, kutipan di atas
mengenai teks yang terkait dengan fawatih al-suwar yang bebentuk huruf-huruf
muqaththa’ah merupakan teks-teks yang menunjukkan
pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wata’ala sukar
dita’wilkan oleh manusia. Sehingga, atas dasar inilah kemudian para
sarjana Muslim awal menjadikan ayat-ayat yang semacam ini (fawatih al-suwar)
sebagai bagian dari ayat-ayat mutasyabihat, yang hanya dapat diketahui ta’wilnya
oleh Allah saja, sebagaimana halnya pengetahuan tentang hari kiamat, turunnya
hujan, apa yang ada rahim, dan pengetahuan tentang roh.
B.
Bentuk-bentuk Fawatih al-Suwar
Dalam Al-Qur’an terdeteksi sepuluh
macam bentuk fawatih al-suwar atau pembuka surat yaitu:[8]
1.
Pembukaan surat dengan lafalالثنـــاء atau pujian. Ada
empat belas surat yang dimulai dengan puji-pujian kepada Allah. Lima surat di
antaranya dengan tahmid ( الحمـــدلله
) yaitu pada
surat al-Fatihah, al-An’am, al-Kahfi, Saba’, dan Fathir. Tujuh dengan tasbih
dalam bentuk masdar, fi’il madhi, dan fi’il mudhari’ yakni
al-Isra, al-Hadid, al-Hasyr, al-Shaff, al-Jumu’ah, al-Tagahabun, dan al-A’la.
Dua surat, al-Furqan dan al-Mulk dengan ungkapan تبـــرك .
2.
Pembukaan surat dengan lafal النــداء atau seruan.
Ada sepuluh surat yang dimulai dengan seruan seperti Ya ayyuhal Mudatstsir
(al-Mudatstsir), Ya ayyuhal Muzammil (al-Muzammil), Ya ayyuhan Nabiyu
(al-Ahzab, al-Tahrim, dan al-Thariq), dan Ya ayyuhal Ladzina Amanu
(al-Nisa, al-Hajj, al-Ma’idah, al-Hujarat, dan al-Mumtahanah).
3.
Pembukaan surat dengan kalimat الخبــري
(khabar
atau berita). Dua puluh tiga surat dimulai dengan kalimat berita, yaitu surat
al-Anfal, al-Taubah, al-Nahl, al-Anbiya’, al-Mukminun, al-Nur, al-Zumar,
Muhammad, al-Fath, al-Qamar, al-Rahman, al-Mujadilah, al-Haqqah, al-Ma’arij,
Nuh, al-Qiyamah, ‘Abasa, al-Balad, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Qari’ah,
al-Takatsur, dan al-Kautsar.
4.
Pembukaan surat dengan kalimat القســـم atau sumpah.
Ada lima belas di antaranya surat al-Shaffat, al-Dzariyat, al-Thur, al-Najmu,
al-Mursalat, al-Nazi’at, al-Buruj, al-Thariq, al-Fajr, al-Syams, al-Lail,
al-Dhuha, al-Tin, al-Adiyat, dan al-Ashr.
5.
Pembukaan surat dengan hurufالشــرط (syarat). Surat al-Waqi’ah, al-Munafiqun,
al-Takwir, al-Infithar, al-Insyiqaq, al-Zalzalah, dan al-Nashr adalah tujuh
surat yang dimulai dengan huruf syarat.
6.
Pembukaan surat dengan kalimat الأمـــر
atau perintah.
Enam surat yaitu al-Jin, al-‘Alaq, al-Kafirun, al-Ikhlash, al-Falaq, dan
al-Nas.
7.
Pembukaan surat dengan kalimat الاسثفهـــامatau
pertanyaan. Juga enam surat yaitu al-Jatsiyah, al-Naba’, al-Ghasiyah, Alam
Nasyrah, al-Fil, serta al-Ma’un.
8.
Pembukaan surat dengan lafal الدعــاء (doa atau
kutukan). Dengan lafal
ini terdapat di tiga tempat yaitu al-Muthaffifin, al-Humazah, juga surat
al-Lahab.
9.
Pembukaan surat dengan kata التعليــل yang berarti
karena. Kata ini hanya terdapat setempat yaitu surat al-Quraisy.
10. Pembukaan surat
dengan huruf المقطعــة (terpotong) atau التهجـــي
(hijaiyah).
Secara redaksional, bentuk-bentuk fawatih al-suwar yang terdapat dalam
Al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, di antaranya:[9]
a.
Fawatih
al-suwar yang terdiri dari satu huruf. Untuk jenis yang pertama
ini dapat dijumpai di tiga tempat, yaitu surat Shad yang diawali dengan huruf ص ; Qaf yang
diawali dengan huruf ق ; dan al-Qalam
yang diawali dengan huruf ن.
b.
Fawatih al-suwar yang terdiri dari dua huruf. Jenis
yang kedua ini dapat dijumpai pada sepuluh tempat. Tujuh di antaranya diawali
dengan dua huruf حـــم , sehingga
biasa disebut juga dengan nama حَـــوَمٍ yang merupakan
bentuk jamak dari حـــم . Ketujuh surat
dimaksud adalah al-Mukmin, Fushshiiat, al-Syuara’,[10] Al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah,
serta al-Ahqaf. Sementara itu, tiga tempat lain adalah surat Thaha yang diawali
dengan huruf طـــه ; al-Naml yang diawali dengan طـــس ; dan Yasin
yang diawali dengan يـــس .
c.
Fawatih al-suwar yang terdiri dari tiga huruf, hal ini
dapat ditemukan pada 13 tempat, enam di antaranya diawali dengan huruf الـــم
, yaitu pada
surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah. Lima
surat lainnya diawali dengan huruf-huruf الـــر , yaitu pada
surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr. Sedangkan dua surat lainnya lagi
diawali dengan huruf-huruf طـســم , seperti yang terdapat pada surat al-Syu'ara dan al-Qashash.
d.
Fawatih al-suwar yang terdiri dari empat huruf, di
antaranya terdapat pada dua tempat, surat al-A’raf yang diawali dengan المـــص dan al-Ra’d
yang diawali dengan المـــر .
e.
Fawatih al-suwar yang terdiri dari lima huruf. Untuk
jenis yang terakhir ini dapat ditemui hanya pada satu tempat, yaitu surat
Maryam yang diawali dengan كــهــيــســص .
Dari kelima kategori fawatih al-suwar yang
berbentuk huruf-huruf muqaththa’ah pada 29 tempat atau surat dalam
Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas, jika dihitung secara tidak berulang,
maka terdiri dari empat belas bentuk, yaitu:
الم =
pada permulaan surat
al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum,
Luqman, dan al-Sajadah
الر = pada permulaan
surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr
الص = pada permulaan surat
al-A’raf
المر = pada permulaan surat
al-Ra’d
كهيعص = pada permulaan surat Maryam
طه = pada permulaan surat Thaha
طسم = pada permulaan surat al-Syu’ara’
طس = pada permulaan surat al-Naml
يس = pada permulaan surat Yasin
ص = pada permulaan surat Shad
حم =
pada permulaan surat al-Mu’min, Fushilat, al-Zukhruf, al-Dukhan,
al- Jatsiyah, dan al-Ahqaf
حمعسق = pada permulaan surat al-Syura
ق = pada permulaan surat Qaf
ن = pada permulaan
surat al-Qalam
Adapun huruf-huruf hijaiyah yang paling banyak digunakan secara
berurutan adalah huruf ,ك ,ق ,ع ,ي ,ص ,ط ,س ,ر ,ه ,م ,ل ,ا dan ن
. Dari sini
dapat diketahui bahwa Al-Qur’an menggunakan huruf-huruf itu, hampir separoh
dari jumlah keseluruhan huruf-huruf hijaiyyah yang dikenal. Jika
dilakukan penelitian lebih lanjut maka akan ditemukan bahwa ayat-ayat setelah
huruf-huruf muqaththa’ah berbicara tentang tema Al-Qur’an, misalnya :
üÈÿèg!2 ÇÊÈ ãø.Ï ÏMuH÷qu y7În/u ¼çnyö7tã !$Ì2y ÇËÈ
Kaaf Haa Yaa
‘Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu
kepada hambanya, Zakaria.[11]
$Oû¡Û ÇÊÈ y7ù=Ï? àM»t#uä É=»tGÅ3ø9$# ÈûüÎ7ßJø9$# ÇËÈ
û§ ÇÊÈ Éb#uäöà)ø9$#ur ÉOÅ3ptø:$# ÇËÈ
Perbedaan karaktristik lain adalah dari segi penempatannya yang
berulang-ulang pada surat yang berlainan, misalnya ,الر ,الم dan حم. Ada juga yang hanya ditempatkan dalam satu surat,
semisal huruf ن . Juga akan ditemukan bahwa surat-surat yang dimulai dengan
huruf yang sama, isi dan ciri-cirinya juga hampir sama dan hal itu tidak
dijumpai pada surat-surat yang lain.
C.
Sikap Para Ulama terhadap Fawatih al-Suwar
Dari kesepuluh bentuk fawatih al-suwar, yang sering menimbulkan
kontroversi di antara para ulama adalah pembuka surat yang berbentuk
huruf-huruf muqaththa’ah, ini terbukti dari berbagai pembahasan yang
dilakukan oleh para ulama. Sepanjang sejarah, para ulama telah berusaha untuk
memahami dan menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam huruf-huruf
penggalan (huruf muqaththa’ah) tersebut. Dari usaha-usaha yang telah
dilakukan itu, setidaknya terdapat dua kubu ulama dengan sudut pandang yang
berbeda, yaitu:
1.
Penafsiran yang
memandang huruf-huruf tersebut termasuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat
yang maknanya hanya diketahui oleh Allah Subhanahu
wata’ala semata.
Kelompok yang
disebutkan pertama ini, lebih banyak dianut oleh ulama salafi,
menghadapi permasalahan demikian, mereka lebih bersikap hati-hati. Kelompok ini
dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki solusi yang jelas dan bahkan
tidak mengajukan solusi apapun mengenai makna fawatih al-suwar ini. Hal
ini disebabkan karena mereka berpendapat bahwa huruf-huruf yang mengawali surat
Al-Qur’an itu sudah dikehendaki Allah Subhanahu wata’ala sejak zaman azaly,
dan berfungsi sebagai argumen untuk mematahkan kesanggupan manusia dalam
membuat yang semisal dengan Al-Qur’an.[14] Menurut mereka
bahwa fawatih al-suwar itu merupakan kelompok ayat-ayat mutasyabih
yang tidak dapat diketahui ta'wilnya kecuali hanya Allah Subhanahu
wata’ala semata.
Di antara para ulama yang berpendapat
demikian adalah Ali bin Abi Thalib, yang mengatakan:
“Sesungguhnya setiap Kitab Suci mempunyai keistimewaan (shafwah), dan keistimewaan Kitab Suci
ini (Al-Qur’an) adalah huruf-huruf tahajji
(hijaiyah)”.
Juga ucapan Abu Bakar al-Shiddiq:
“Setiap Kitab Suci mempunyai rahasia, dan rahasia Kitab
Al-Qur’an adalah huruf-huruf yang mengawali surat-surat (awailu al-suwar)”.
Demikian juga para ahli hadis yang
mengetengahkan sebuah riwayat yang datangnya dari Ibn Mas’ud bahwa Khulafa
al-Rasyidin berkata:
‘Sesungguhnya huruf-huruf ini (fawatih al-suwar)
merupakan ilmu yang tertutup dan mengandung rahasia yang hanya diketahui oleh
Allah Subhanahu wata’ala semata”.[15]
Pendapat lain dikemukakan oleh Imam Al-Syafi bahwa huruf-huruf awal surat
merupakan rahasia Al-Qur’an. Sehingga banyak para mufassir yang hanya
memperkirakan maknanya. Hal ini disebabkan keterbatasan pemahaman dan latar
belakang pengetahuan mereka, untuk makna hakiki ayat-ayat itu dikembalikan
kepada Allah Subhanahu wata’ala
Menurut Al-Suyuthi, pembukaan-pembukaan surat (awailu al-suwar) atau
huruf-huruf potongan (al-huruf al-muqatta’ah) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat.
Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam
memahami dan menafsirkannya. Pendapat ulama yang memahaminya sebagai rahasia
yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu
wata’ala, menurut Al-Suyuti, adalah pendapat yang mukhtar
(terpilih).[16]
2.
Penafsiran yang
memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai singkatan-singkatan kata atau kalimat
tertentu yang mempunyai kemungkinan untuk dita’wilkan maknanya.
Kelompok yang
disebutkan terakhir ini berpendapat bahwa “huruf-huruf misterius” atau fawatih
al-suwar atau huruf-huruf muqaththa’ah yang terdapat dalam Al-Qur’an
disamping hanya diketahui ta’wilnya oleh Allah Subhanahu wata’ala, juga dapat diketahui oleh manusia. Mereka
memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai singkatan-singkatan untuk kata atau
kalimat tertentu. Mereka mengajukan solusi yang sangat bervariasi tentang
pemaknaan huruf-huruf tersebut.
Penafsiran yang
berkembang mengenai huruf-huruf ini dapat dilihat pada kitab Al-Burhan fi
‘Ulum al-Qur’an karya Al-Zarkasyi dan Al-Itqan fi ‘Ulum al- Qur’an
karya Al-Suyuthi. sebagai berikut:[17]
الم = al-rahman, ana Allah a’lam, atau Allah lathif majid
الر = al-rahman, atau ana Allah ara
الص = Allah al-rahman al-shamad, al-mushawwir, ana Allah
afdhal, ana Allah al-shadiq, dan alam nashrah laka shadrak’
المر = ana Allah a’lam wa ara
كهيعص = kafin hadin amin aziz shadiq, karim hadin hakim ‘alim shadiq,
al-malik Allah al-aziz al-mushawwir, al-kafi al-hadi al-alim al-shadiq,
kafin hadin amin ‘alim shadiq,
atau ana al-kabir al-hadi aliyyun amin shadiq
طه = dzu al-thawl
طسم = dzu
al-thawl al-quddus al-rahman
طس = dzu al-thawl al-quddus
يس = Ya sayyid al-mursalin
ص = shadaqallah, uqsimu bi al-shamad al-shani’ al-shadiq, shadi
ya Muhammad ‘amalaka bi al-qur'an, atau shadi muhammad qulub al-ibad
حم = al-rahman al-rahim
حمعسق = al-rahman
al-‘alim al-quddus al-qahir
ق = qadir,
qahir, qudli al-amr, atau uqsimu bi quwatin qalb muhammad
ن = al-rahman, nur, nashir, atau
al-hut
Pandangan
tentang huruf-huruf misterius sebagai singkatan kata atau kalimat tertentu,
seperti terlihat di atas, sebagian besarnya bersumber dari Ibn Abbas, salah
seorang sepupu Nabi, yang dianggap kaum Muslimin sebagai otoritas terbesar dalam
tafsir Al-Quran. Sekalipun demikian, pemaknaan huruf-huruf misterius tersebut
telah bergerak ke dalam wilayah kemungkinan yang tidak terbatas. Seseorang bisa
saja mengartikan huruf-huruf itu selaras dengan gagasan yang dikehendakinya,
baik dengan pijakan artifisial ataupun tanpa pijakan yang masuk akal.
Satu-satunya pemaknaan yang agak logik adalah pemaknaan huruf ن di awal surat
al-Qalam sebagai al-hut (ikan). Huruf
ن yang dialihkan ke dalam bahasa Arab
dari bahasa Semit-Utara memang bermakna “ikan”, dan dalam ayat 48 surat yang
sama, Nabi Yunus yang dirujuk sebagai shahib al-hut juga bernama dzu
al-nun.[18]
Pendapat
kelompok kedua ini juga diperkuat dengan pendapat Imam Mujahid berkenaan dengan
firman Allah Subhanahu wata’alatentang ayat-ayat mutasyabihat:
... وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ
اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ
رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ
... padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal.[19]
Seandainya
orang-orang yang mendalami ilmunya tidak dapat mengetahui ayat-ayat mutasyabihat,
dan hanya mengatakan “kami beriman kepadanya”, ini artinya bahwa mereka tidak
ada bedanya dengan orang-orang yang bodoh (al-jahil), sebab kesemuanya
-baik yang pandai maupun yang bodoh- akan mengatakan hal yang sama. Sampai saat
ini, kami belum melihat para mufassir yang berusaha menahan diri dalam
menghadapi Al-Qur’an. Mereka mengatakan: “Ini termasuk ayat-ayat mutasyabih
yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah semata”, tetapi mereka tetap
menafsirkannya, bahkan mereka menafsirkan huruf-huruf penggalan (muqaththa’ah)”.[20] Sama halnya dengan pendapat Ibnu
Qatadah, menurut beliau bahwa tidak mungkin Allah Subhanahu wata’ala menurunkan sesuatu yang ada di dalam Al-Qur’an
kecuali akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi hamba-Nya, dan tentu ada
sesuatu yang bisa menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki-Nya.[21]
Senada dengan
pendapat ulama-ulama di atas, untuk melegitimasi doktrin-doktrinnya kelompok
Theologi biasanya juga menafsirkan Al-Qur’an pada tema fawatih al-suwar,
kelompok golongan Syi’ah misalnya, yang mengatakan bahwa jika
pengulangan dalam kelompok huruf itu dibuang, akan terbentuklah sebuah
pernyataan صراط علي علي حق (jalan yang ditempuh Ali adalah kebenaran). Sebagaimana Syi’ah,
ulama golongan Sunni juga tidak ketinggalan membuat pernyataan sebagai
bantahan terhadap Syi’ah bahwa yang benar menurut mereka adalah مع السنة طريقك صح
(telah benar
jalanmu dengan mengikuti sunnah).[22]
Tidak hanya
dari kalangan Islam, orang-orang Yahudi juga tertarik mencoba menta’wilkan
makna huruf-huruf tersebut. Bagi mereka bahwa huruf-huruf penggalan (huruf al-muqatha’ah)
tersebut penafsirannya berhubungan dengan angka-angka, sehingga dapat diketahui
berapa lama dominasi Islam secara politis. Hal ini bisa ditunjukkan oleh
riwayat Ibn Ishaq dari Ibn Abbas tentang seorang Yahudi Abu Yasar bin Akhthab
dan saudaranya Hayy bin Akhthab serta beberapa orang lainnya pernah menjumpai
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian
berdialog tentang ramalan keberlangsungan agama yang dibawa oleh nabi-nabi
sebelumnya mengacu pada isi kitabnya masing-masing. Mereka meramalkan lama
waktu atau masa keberlangsungan agama Islam dengan berpedoman kepada jumlah
huruf-huruf muqaththa’ah, namun pada akhirnya mereka menemui kesulitan.[23]
Model penta’wilan
seperti di atas, dijadikan landasan bagi kebanyakan orang-orang salaf
untuk menyingkap masa dan keberlangsungan dunia dan alam semesta. Al-Suhailiy
merupakan salah seorang yang berpendapat demikian. Mengenai hal ini Ibn Khaldun
mengatakan, bahwa Al-Suhailiy mengumpulkan huruf-huruf penggalan (al-huruf
al-muqatha’ah) pada awal surat setelah membuang huruf-huruf yang
diulang-ulang. Ia mengatakan jumlahnya ada 14 huruf yang dikumpulkan dalam
suatu perkataan Alam Yasti’ Nashshu Haqqi Karihin. Kemudian ia
menghitungnya dengan perhitungan jumal (bi hisab al-jumali),
sehingga jumlahnya ada 703 yang dihubungkan dengan jumlah tahun sebelum
diutusnya Nabi. Ini merupakan masa kelangsungan agama Islam. Lebih lanjut ia
mengatakan: Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa yang demikian itulah yang
dimaksudkan oleh huruf-huruf tersebut.[24]
Menurut Ibn
Khaldun bahwa penta’wilan sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi
terhadap huruf-huruf yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk
memperkirakan usia suatu agama. Menurutnya, ada dua alasan kenapa penta’wilan
yang demikian harus ditolak, yaitu pertama, bahwa dalalah
(petunjuk) huruf-huruf tersebut pada angka (al-arqam) bukanlah makna
yang bersifat alamiyah (thabi’iyah) atau rasional (‘aqliyah),
tetapi merupakan dalalah urfiyah (makna konvensional); kedua,
bahwa orang-orang Yahudi menjadikan makna yang demikian lebih dekat kepada ke-baduwi-annya
dan ke-ummy-annya dalam pengertian kultural (al-tsaqafiy wa
al-hadhariy). Oleh karenanya pendapat dan ijtihad mereka tidak dapat
dijadikan kesimpulan dalam persoalan seperti ini.[25]
Kaum Orientalis
juga tidak ketinggalan berusaha memaknai lafal-lafal tersebut. W. Montgomery
Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Quran memaparkan bahwa Noldeke
-orientalis asal Jerman- adalah orang yang pertama kali mengemukkan dugaan
bahwa huruf-huruf itu menunjukkan nama-nama para pengumpul ayat pada surat
tersebut. Seperti huruf س sebagai kependekan nama dari Sa’id bin
Waqash, م nama Mughirah, ن
kependekan dari Utsman bin Affan, dan ه
untuk Abu
Hurairah. Cara ini diikuti oleh Hircfeld dengan hasil pemikirannya yang sedikit
berbeda. Beda halnya dengan Alan Jones berdasarkan beberapa hadits, ia
berpendapat bahwa pada beberapa kesempatan, kaum muslimin meneriakkan semboyan
perang Hamim (artinya mereka akan dibantu). Selanjutnya Ia menekankan
bahwa huruf-huruf itu merupakan simbol mistik yang memberikan kesan bahwa kaum
muslimin mendapat bantuan dari Allah. Namun akhirnya Watt mengakui bahwa dalam
kasus-kasus ini, pemecahan masalah oleh Noldeke, Hircfeld dan Jones tidak masuk
akal.[26]
Gagasan-gagasan
tentang makna huruf-huruf misterius yang diajukan kelompok terakhir ini juga
telah terjerat ke dalam wilayah spekulasi yang tidak terbatas. Sekalipun demikian,
kedua pandangan telah meletakkan preseden yang cukup solid untuk spekulasi
tafsir sarjana-sarjana Muslim belakangan tentang makna fawatih al-suwar.
Meskipun penafsiran-penafsiran yang muncul belakangan mengenai masalah ini
dapat dikatakan masih belum dapat keluar dari gagasan-gagasan klasik tersebut,
sekalipun beberapa di antaranya telah dilengkapi dengan improvisasi atau varian
lainnya.
D.
Hikmah Fawatih al-Suwar
Al-Qur’an yang diturunkan di tengah
masyarakat Quraisy notabene
ahli dalam kebahasaan, tentunya mempunyai keistimewaan dalam aspek
kebahasaan mengingat eksistensinya sebagai mukjizat. Dengan pembahasan fawatih
al-suwar ini akan terungkaplah mukjizat yang terkandung di dalamnya
serta menyadari keterbatasan akal manusia dalam memahami sesuatu yang
sifatnya ghaib. Selanjutnya
niscaya akan memberikan pemahaman ilahiah
kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa digunakan.[27]
Berkaitan dengan hal di atas, Al-Sya’by
pernah berkata:
إن لكل كتاب
سر او سر هذا القرأن فواتح السور
Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab
memilki rahasia, dan sesungguhnya rahasia Al-Qur’an ini adalah
pembukaan-pembukaan surat.[28]
Menurut sebagian mufassir, bentuk fawatih
al-suwar ini berfungsi untuk menunjukkan kepada bangsa Arab akan kelemahan
akal mereka. Meskipun Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf ejaan yang mereka
kenal, datang dalam bentuk tersusun dari beberapa huruf, bahkan ada yang hanya
satu huruf tunggal, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang setanding
dengan Al-Qur’an. Pendapat lain, mengenai fawatih al-suwar dapat
digunakan sebagai tanbih (peringatan) sebelum melontarkan uraian
Al-Qur’an, dalam arti menyadarkan perhatian pendengar, dikarenakan setelah
adanya huruf-huruf tersebut pada umumnya Allah Subhanahu wata’ala menerankan perihal al-Kitab dan kenabian. Ini
berbanding terbalik dengan kata-kata peringatan yang biasa digunakan dalam
bahasa Arab.[29]
Tentang siapa yang diperingatkan oleh
Allah Subhanahu wata’ala sebagian ulama sepert Al-Khuwaibi, berpendapat bahwa
Nabi Muhammad-lah yang diperingatkan agar di tengah-tengah kesibukan dunianya,
beliau berpaling kepada Jibril untuk mendengarkan ayat-ayat yang disampaikan
kepadanya. Klarifikasi dilakukan oleh Rasyid Ridha, menurutnya tanbih
tersebut ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekah, di saat mereka mengajurkan
untuk tidak mendengarkan Al-Qur’an di waktu Nabi membacanya, ketika mendengar
huruf-huruf muqaththa’ah ini mereka heran dan merasa penasaran untuk
mendengarkan bacaan Nabi, hal ini juga dapat ditujukan pada Ahli Kitab Madinah.[30]
Fungsi lain fawatih al-suwar
adalah untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk-bentuk penyampaiannya,
dengan sarana pujian melalui huruf-huruf. Selain itu, ia dipandang merangkum
segala materi yang akan disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini, surat
al-Fatihah dapat digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum
keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an.[31]
Pernyataan bahwa Al-Qur’an yang menjadi
sumber hukum bagi umat Islam memiliki keistimewaan baik dari segi makna maupun
dari bahasa tidaklah merupakan sebuah pernyataan yang tidak berdalil. Allah Subhanahu wata’ala telah beberapa kali
menyampaikan perihal keistimewaan Al-Qur’an. Satu lagi keistimewaan Al-Qur’an
yang terungkap dengan adanya pembahasan fawatih al-suwar yang dalam Al-Qur’an biasa disebut juga dengan awa’ilu
al-suwar, al-ahruf al-muqaththa’ah atau yang dalam terminologi
sarjana Barat dijustifikasi sebagai huruf-huruf misterius (the mystical
letters of the Qur’an).
Tanpa menafikan bentuk yang lainnya,
pembahasan yang dilakukan para ulama terhadap bentuk huruf muqatta’ah
sebagai pembuka surat-surat Al-Qur’an mendapatkan perhatian lebih dan tidak
jarang menimbulkan kontroversi. Sehingga tidak mengherankan jika huruf-huruf
tersebut sering dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabihat, hanya
Allah Subhanahu wata’ala yang dapat
mengetahui maknanya, meskipun masih ada pihak yang berpendapat boleh mencoba
menta’wilkannya dengan kedalaman ilmu.[32]
Penting untuk diketahui bahwa dengan
membahas fawatih al-suwar yang berbentuk huruf-huruf mistis dalam
Al-Qur’an, setiap orang akan selalu berusaha untuk menafsirkan makna apa yang
terkandung di dalamnya. Hal yang demikian memberikan udara pemikiran yang
berbeda dan bersifat kontinuitas karena penggalian makna yang tidak
bersifat dogmatis, pemahaman yang berbeda ini disebabkan perbedaan
setiap orang dalam menanggapi sebuah gambaran inderawi.
Inilah kemungkinan salah satu rahasia
mengenai kebenaran hakiki yang terdapat dalam Al-Qur’an serta hanya berada pada
sisi Allah Subhanahu wata’ala secara
mutlak. Allah A’lam bi al-Shawab.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fawatih
al-suwar adalah pembuka-pembuka surat, dikarenakan
posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks suatu surat. Apabila dimulai
dengan huruf-huruf hijaiyah yang terputus, huruf tersebut sering disebut
dengan huruf muqaththa’ah (huruf yang terpisah-terpisah), karena
posisi dari huruf-huruf tersebut yang cenderung ‘menyendiri’ dan tidak
bergabung membentuk kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun
tidaklah berbeda dari lafal yang diucapkan pada huruf hijaiyah
Dalam Al-Qur’an terdeteksi sepuluh
macam bentuk fawatih al-suwar atau pembuka surat yaitu : Pembukaan surat dengan lafalالثنـــاء atau pujian, Pembukaan surat dengan lafal النــداء atau seruan,
Pembukaan surat dengan kalimat الخبــري
(khabar
atau berita), Pembukaan surat dengan kalimat القســـم atau sumpah,
Pembukaan surat dengan hurufالشــرط (syarat), Pembukaan surat dengan kalimat الأمـــر
atau perintah,
Pembukaan surat dengan kalimat الاسثفهـــامatau
pertanyaan, Pembukaan surat dengan lafal الدعــاء (doa atau
kutukan), Pembukaan surat
dengan kata التعليــل yang berarti karena dan Pembukaan surat dengan huruf المقطعــة (terpotong)
atau التهجـــي (hijaiyah).
Terdapat
dua kubu ulama dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu: Penafsiran yang
memandang huruf-huruf tersebut termasuk ke dalam kategori ayat-ayat
mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wata’ala semata
dan Penafsiran yang memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai singkatan-singkatan
kata atau kalimat tertentu yang mempunyai kemungkinan untuk dita’wilkan
maknanya.
Hikmah yang bisa kita ambil dengan
membahas fawatih al-suwar salah
satunya ialah bahwa fawatih al-suwar
yang berbentuk huruf-huruf mistis dalam Al-Qur’an, membuat setiap orang akan
selalu berusaha untuk menafsirkan makna apa yang terkandung di dalamnya. Hal
yang demikian memberikan udara pemikiran yang berbeda dan bersifat kontinuitas
karena penggalian makna yang tidak bersifat
dogmatis, pemahaman yang berbeda ini
disebabkan perbedaan setiap orang dalam
menanggapi sebuah gambaran inderawi. Inilah kemungkinan salah satu
rahasia mengenai kebenaran hakiki yang terdapat dalam Al-Qur’an serta hanya
berada pada sisi Allah Subhanahu wata’ala
secara mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dinamika
Berkah Utama, t.th.)
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th)
Al-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972)
Amal, Taufiq Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta;
FkBA, 2001)
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Boullata, Issa J., Al-Qur’an yang Menakjubkan, (Tangerang:
Lentera Hati, 2008)
Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1999)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Hidayat, Rahmad Taufiq, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1989)
Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Rasail
Media Group, 2008)
Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-haya’at Turas
al-Arabi, 1992), juz VI
Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1978)
Wahid, H. Ramli Abdul, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada)
Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburg
University Cress)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1990), cet. VIII
Zaid, Nashr Hamid Abu, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Arabi, 1998)
Zaini, Hasan & Hasnah, Radhiatul ‘Ulum Al-Qur’an, (Batusangkar:
Stain Batusangkar Press, 2010)
·
http://echie-d.blogspot.co.id/2014/04/fawatih-al-suwar_10.html (Dikutip Kamis, 24 Maret
2016, Pukul : 10.30 WIB)
[1] Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Rasail Media Group, 2008),
h. 167
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), cet. VIII, h. 307
[3] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab,
(Beirut: Dar al-haya’at Turas al-Arabi, 1992), juz VI, h. 427
[4] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999) h. 62. Lihat
juga Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum Al-Qur’an, (Batusangkar:
Stain Batusangkar Press, 2010), h. 165
[7] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur'an,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972), h. 166
[8] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi
‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 206-207. Lihat juga Rahmad
Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), h.
176-178. Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum..., h. 166
[9] Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.), h. 234-235. Lihat juga Rosihon Anwar, Ulumul
Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 135-136. Mohammad
Nor Ichwan, Studi..., h. 171-173. Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum...,
h. 169-169.
[10] Surat al-Syuara’ ini secara khusus termasuk dalam
kategori surat-surat yang diawali dengan dua huruf, sekalipun setelah huruf حــم dilanjutkan dengan tiga
huruf عســق
[17] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan..., h.
166. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h. 206-207. Subhi
al-Shalih, Mabahits..., h. 174
[18] Surat al-Qalam ayat 1 dengan arti “Nun, demi
kalam dan apa yang mereka tulis”. Salah satu tafsiran terhadap
huruf ن, -dikalangan ulama yang memaksakan untuk mencari ta’wil
fawatih al-suwar- adalah al-Hut atau ikan. Hal ini dapat dimunasabahkan
pada ayat 48 “Maka Bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan
Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika
ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)”. Lihat Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
(Yogyakarta; FkBA, 2001), h. 218
[22] Term sunnah yang terdapat pada pernyataan
tersebut merujuk kepada aliran theologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Lihat Subhi al-Shalih, Mabahits..., h.237
[23] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum
Al-Qur’an, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Arabi, 1998), h. 189-190
[30] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h.207.
lihat juga Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1978), h. 330
Tidak ada komentar:
Posting Komentar