BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang
terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain
bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: “Kami putra
dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” dan pada
Undang-Undang Dasar kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang
menyatakan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di
samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki
tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus Bahasa Nusantara yang
masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa Ibu.
Kalimat adalah bagian terkecil
ujuran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara
ketatabahasaan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titinda, disela
oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang
memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan
berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf Kapital dan diakhiri dengan tanda
titik, tanda tanya, atau tanda seru; dan sementara itu disertakan pula di
dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma, titik
koma, titik dua, dan atau sepasang garis pendek yang mengapit bentuk tertentu.
Tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!) sepadan dengan intonasi
selesai, sedangkan tanda baca lainya sepadan dengan jeda. Adapun kesenyapan
diwujudkan sebagai ruang kosong setelah tanda titik, tanda tanya, dan tanda
perintah dan ruang kosong sebelum huruf
kapital permulaan. Alunan titik nada, pada kebanyakan hal, tidak ada
padamnya dalam bentuk tertulis.
Sekurang-kurangnya kalimat dalam
ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus memiliki subjek (S) dan predikat
(P). Kalau tidak memiliki unsur subjek dan unsur predikat,
pernyataan itu bukanlah kalimat.
Deretan kata yang seperti itu hanya dapat disebut sebagai frasa. Inilah
yang membedakan kalimat dengan frasa.
Kita tidak akan memahami tentang
kalimat tunggal, kalau kita tidak mempelajari pengertian kalimat tunggal,
pola-pola pembentukan kalimat tunggal dan perluasan kalimat tunggal, yaitu
sebagai pengantar untuk memahami kalimat tunggal secara sempurna.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kalimat tunggal?
2.
Bagaimana pola-pola pembentukan kalimat tunggal?
3.
Bagaimana cara memperluas kalimat tunggal?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian kalimat tunggal.
2.
Untuk mengetahui pola-pola pembentukan kalimat tunggal.
3.
Untuk mengetahui cara memperluas kalimat tunggal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah yang terdiri
atas satu klausa[1].
Hal itu berarti bahwa konstituen untuk tiap unsur kalimat seperti subjek dan
predikat hanyalah satu atau merupakan satu kesatuan. Dalam kalimat tunggal
tentu saja terdapat semua unsur inti yang diperlukan. Di samping itu, tidak
mustahil ada unsur yang bukan inti seperti keterangan tempat, waktu, dan alat.
Dengan demikian , maka kalimat tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek,
tetapi dapat pula dalam wujud yang panjang.
Pada hakikatnya, kalau dilihat dari
unsur-unsurnya, kalimat-kalimat yang panjang-panjang dalam bahasa Indonesia
dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat dasar yang sederhana. Kalimat-kalimat
tunggal yang sederhana itu terdiri atas satu subjek dan satu predikat.
Sehubungan dengan itu, kalimat-kalimat yang panjang itu dapat pula ditelusuri
pola-pola pembentukannya. Pola-pola itulah yang dimaksud dengan pola kalimat
dasar.
B.
Pola-pola Pembentukan Kalimat Tunggal
1.
Kalimat Berpredikat Nominal
Dalam bahasa Indonesia, ada jenis kalimat yang predikatnya
terdiri atas nomina[2]
(termasuk Pronomina) atau frasa[3]
nominal. Dengan demikian, kedua nomina atau frasa nominal yang sejajarkan dapat
membentuk kalimat asalkan syarat untuk subjek dan predikat terpenuhi. Syarat
untuk kedua unsur itu penting karena tidak dipenuhi, nomina tadi tidak akan
membentuk kalimat. Perhatikan contoh berikut!
a.
Buku cetakan Bandung itu ....
b.
Buku itu cetakan Bandung....
Urutan kata seperti pada nomor (a) membentuk satu
frasa dan bukan berupa kalimat karena cetakan Bandung itu merupakan
pewatas[4]
bukan predikat. Sebaliknya, urutan pada nomor (b) membentuk kalimat
karena penanda batas frasa itu memisahkan kalimat menjadi dua frasa nominal
dengan cetakan bandung sebagai
predikat. Kalimat yang predikatnya nominal, kerap kali dinamakan kalimat persamaan
atau kalimat ekuatif. Kalimat ekuatif nominal, frasa nominal yang pertama itu
subjek, sedangkan yang kedua predikat. Akan tetapi, jika frasa nominal pertama
dibubuhi partikel-lah, frasa nominal pertama itu predikat, sedangkan
frasa nominal kedua menjadi subjek. Perhatikan contoh berikut!
a.
1) Dia guru saya.
2) Dialah guru saya.
b.
1) Orang itu pencurinya.
2) Orang itulah pencurinya.
Pada contoh (a1) dan (a2) subjek tiap-tiap
contoh tersebut adalah dia dan orang itu. pada contoh (b1) dan
(b2) justru sebaliknya, dialah dan orang itulah tidak lagi
berfungsi sebagai subjek, tetapi sebagai predikat. Hal itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa dalam struktur bahasa Indonesia, secara keseluruhan, partikel-lah
umumnya menandai predikat.
2.
Kalimat Berpredikat Verbal
Seperti kita ketahui, bahwa ada bermacam-macam verba[5]
yang tiap-tiap verba memengaruhi jenis kalimat yang menggunakannya. Kita
mengenal adanya verba taktransitif, semitransitif, dan transitif. Verba
transitif dibagi lagi menjadi ekatransitif (atau monotransitif) dan
dwitransitif. Akan tetapi, kalimat yang berpredikat verba hanya dibagi menjadi
tiga macam, yaitu
a.
Kalimat Taktransitif
Kalimat yang tidak berobjek dan tidak berpelengkap hanya
memiliki dua unsur fungsi wajib, yakni subjek dan predikat. Pada umumnya,
urutan katanya adalah subjek-predikat. sebagai contoh:
1)
Bu Camat sedang berbelanja.
2)
Pak Halim belum datang.
3)
Mereka mendarat (di tanah yang tidak sehat).
4)
Dia berjalan (dengan tongkat).
5)
Kami (biasanya) berenang (hari Minggu pagi).
6)
Padinya menguning.
Berdasarkan contoh tersebut tampak pula bahwa verba yang
berfungsi sebagai predikat dalam tipe kalimat itu ada yang berprefiks[6]
ber- ada pula yang berprefiks meng-. Dari segi sematisnya, verba
tersebut ada yang bermakna inheren[7]
proses (seperti menguning) dan banyak pula yang bermakna inheren
perbuatan (seperti berbelanja, datang, dan mendarat). Karena predikat
dalam kalimat tidak berobjek dan tidak berpelengkap itu adalah verba
taktransitif, kalimat seperti itu dinamakan kalimat taktransitif.
b.
Kalimat Ekatransitif
Kalimat yang berobjek dan tidak berpelengkap mempunyai tiga
unsur wajib, yakni subjek, predikat, dan objek. Predikat dalam kalimat
ekatransitif adalah verba yang digolongkan dalam kelompok verba ekatransitif.
Karena itu, kalimat seperti itu disebut pula kalimat ekatransitif. Dari segi
makna, semua verba ekatransitif memiliki makna inheren perbuatan. Berikut ini adalah beberapa contoh
kalimat ekatransitif.
1)
Pemerintah akan memasok semua kebutuhan lebaran.
2)
Presiden merestui pembentukan panitia pemilihan umum.
Verba predikat pada tiap-tiap kalimat tersebut adalah akan
memasak, merestui. Disebelah kiri tiap-tiap verba itu berdiri subjeknya dan
di sebelah kanan objeknya. Dalam kalimat aktif urutan kata dalam kalimat
ekatransitif adalah subjek, predikat, dan objek.
c.
Kalimat Dwitransitif
Telah kita ketahui, bahwa ada verba transitif dalam bahasa
Indonesia yang secara semantis[8]
mengungkapkan hubungan tiga maujud[9].
Dalam bentuk aktif, tiap-tiap maujud itu merupakan subjek, objek, dan
pelengkap. Verba itu dinamakan verba dwitransitif. Perhatikan kalimat berikut!
1)
Ida sedang mencari pekerjaan.
2)
Ida sedang mencarikan pekerjaan.
3)
Ida sedang mencarikan adiknya pekerjaan.
Dari kalimat (1) kita ketahui bahwa yang memerlukan
pekerjaan adalah Ida. Dengan ditambahkannya sufiks-kan pada verba dalam kalimat
(2), kita rasakan adanya perbedaan makna, yaitu yang melakukan perbuatan “mencari”
memang Ida, tetapi pekerjaan itu bukan untuk dia sendiri, meskipun
tidak disebut siapa orangnya. Pada kalimat (3), orang itu secara
eksplisit[10]
disebutkan , yakni adiknya. Pada kalimat (3), kita lihat ada dua nomina
yang terletak di belakang verba dalam predikat. kedua nomina itu berfungsi
sebagai objek dan pelengkap.
3.
Kalimat Berpredikat Adjektival
Predikat kalimat dalam bahasa Indonesia dapat pula berupa
adjektival[11]
atau frasa adjektival seperti terlihat pada contoh berikut.
a.
Ayahnya sakit.
b.
Pernyataan orang itu benar.
c.
Alasan para pengunjuk rasa agak aneh.
Pada ketiga contoh tersebut, tiap-tiap subjek kalimatnya
adalah ayahnya, pernyataan orang itu, dan para pengunjuk rasa, sedangkan
predikatnya adalah sakit, benar, dan agak aneh. Kalimat yang
predikatnya adjektival sering juga dinamakan kalimat statif. Kalimat
statif kadang-kadang memanfaatkan verba adalah untuk memisahkan subjek
dan predikatnya. Hal itu dilakukan apabila subjek, predikat, atau kedua-duanya
panjang. Perhatikan contoh berikut!
a.
Pernyataan kedua gabungan koperasi itu adalah tidak
benar.
b.
Gerakan badannya pada tarian yang pertama adalah
anggun dan mempesona.
4.
Kalimat Berpredikat Numeral
Selain macam-macam kalimat yang predikatnya berupa frasa
verbal, adjektival, dan nominal yang telah dibicarakan , ada pula kalimat dalam
bahasa Indonesia yang predikatnya berupa frasa numeral, seperti yang tampak
contoh berikut.
a.
1) Anaknya banyak.
2) Uangnya hanya sedikit.
b.
1) Istrinya dua (orang)
2) Lebar sungai itu lebih dari dua
ratus meter.
Pada contoh tersebut tampak bahwa predikat yang berupa
numeralia (kata bilangan) tidak tentu (banyak dan sedikit) tidak dapat diikuti kata
penggolong, sedangkan predikat yang berupa numeralia tentu dapat diikuti
penggolong, seperti orang pada contoh (a2) dan wajib diikuti
ukuran seperti meter contoh (b2).
5.
Kalimat Berpredikat Frasa Preposisional
Predikat kalimat dalam
bahasa Indonesia dapat pula berupa frasa preposisional. perhatikan contoh
berikut!
a.
1) Ibu sedang ke pasar.
2) Mereka ke rumah kemarin.
b.
1) Ayah di dalam kamar.
2) Anak itu sedang di
sekolah.
Perlu dicatat, bahwa tidak semua preposisi dapat menjadi predikat
kalimat. Kalimat-kalimat berikut terasa janggal bila tidak disertai verba.
a.
Ia dengan ibunya. (harusnya ditambah pergi)
b.
Rumah makan sepanjang malam. (harusnya ditambah buka)
c.
Pembicaraan mengenai reformasi. (harusnya ditambah membahas)
d.
Buku itu kepada saya. (harusnya ditambah berikan)
C.
Perluasan Kalimat Tunggal
Kalimat 1, mahasiswa berdiskusi dapat
diperluas menjadi kalimat.
Mahasiswa semester III sedang berdiskusi di
aula.
S P
K
Perluasan kalimat itu adalah hasil
perluasan subjek mahasiswa dengan semester III. Perluasan
predikat berdiskusi dengan sedang, dengan menambah keterangan
tempat di akhir kalimat.
Kalimat 2, yaitu “Rustam peneliti”
dapat di perluas menjadi
Rutam, anak Pak Camat, adalah seorang peneliti.
S P
Dalam kalimat 2 ini, antara subjek
dan predikat dapat disimpulkan disisipkan kata adalah sebagai pengantar
predikat.
Memperluas kalimat tunggal tidak
hanya terbatas seperti contoh di atas. Tidak tertutup kemungkinan kalimat
tunggal seperti itu diperluas menjadi dua puluh kata atau lebih.
Pemerluas kalimat itu, antara lain,
terdiri atas
1. Keterangan tempat, seperti di
sini, dalam ruangan tertutup , lewat Yogyakarta, dalam republik itu, dan sekeliling kota;
2. Keterangan waktu, seperti setiap
hari, pada pukul 19.00, tahun depan, kemarin sore, dan minggu kedua
bulan ini;
3. Keterangan alat, seperti dengan
linggis, dengan undang-undang itu, dengan sendok dan garpu, dengan wesel pos, dan
dengan cek;
4. Keterangan modalitas, seperti harus,
barangkali, seyogyanya, sesungguhnya, dan sepatutya;
5.
Keterangan cara, seperti dengan hati-hati, seenaknya
saja, selekas mungkin, dan dengan tergesa-gesa;
6.
Keterangan aspek, seperti akan, sedang, sudah dan telah;
7.
Keterangan tujuan, seperti agar bahagia, supaya tertib,
untuk anaknya, dan bagi kita;
8.
Keterangan sebab, seperti karena tekun, sebab berkuasa, dan
lantaran panik;
9.
Frasa yang, seperti mahasiswa yang IP-nya 3 ke atas, para
atlet yang sudah menyelesaikan latihan, dan pemimpin yang memperhatikan
rakyatnya;
10. Keterangan aposisi, yaitu keterangan
yang sifatnya saling menggantikan, seperti penerima Kalpataru, Abdul Rozak, atau
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu subjek
dan satu predikat. Hal itu berarti, bahwa konstituen untuk setiap unsur
kalimat, seperti subjek dan predikat, tetap merupakan satu kesatuan.
2.
Pola pembentukan kalimat tunggal dapat dibedakan menjadi
lima bagian, yaitu kalimat (1) kalimat yang predikatnya nominal/benda
(KB+KK), kalimat (2) kalimat yang predikatnya verbal/kerja (KB+KK), kalimat
(3) kalimat yang predikatnya adjektival/sifat (KB+KS), kalimat (4) kalimat
yang predikatnya numeral/bilangan (KB+Kbil), dan kalimat yang predikatnya
preposisi/kata depan (KB+Kdep).
3.
Kalimat yang predikatnya verbal/kerja dapat dibedakan
menjadi tiga bagian, yaitu verba transitif, verba ekatransitif, dan verba
dwitransitif.
4.
Perluasan kalimat tunggal dapat dilakukan dengan
mengembangkan subjek inti dan predikat inti kalimat. Subjek inti kalimat dapat
diperluas dengan atributif (keterangan) dan aposisi (keterangan
pengganti).
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Zainal, Tasai Amran. 2008. Cermat Berbahasa
Indonesia. Jakarta: Akademika Pressido.
Depertemen Pendidikan dan kebudayaan. 1997. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Putrayasa Bagus Ida. 2006. Tata Kalimat Bahasa Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditama.
Ervina, Eka Yani. Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Tiga Dua
(dikutip Kamis, 10 Maret 2016, jam 13.30)
[1] Satuan gramatikal yang berupa kelompok kata sekurang-kurangnya
terdiri atas subyek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat
[2] Golongan kata dalam bahasa Indonesia yang ditandai oleh tidak
dapatnya bergabung dengan kata
[3] Gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif
[4] Pewatas=pembatas
[5] Verba=kata kerja
[6] Berprefiks=berawalan
[7] Inheren=berkaitan erat dengan...
[8] Semantis=makna
[9] Maujud=wujud (kata)
[10] Eksplisit=gamblang
[11] Adjectival=kata sifat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar