BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
Muslim menyadari bahwa Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an. Setiap orang yang
akan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan benar, tiada lain harus menggali
dari sumber asalnya, yakni Al-Qur’an. Sedangkan untuk mempelajari Al-Qur’an
yang dituliskan dalam bahasa arab tentu membutuhkan cara atau metode untuk
memahami kajian bahara arab. Salah satu caranya adalah melalui pendalaman Ilmu
nahwu. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa menurut kaidah hukum Islam,
mempelajari ilmu wahyu hukumnya wajib bagi siapapun yang ingin mendalami Al-Qur’an.
Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab juga mempunyai kaidah-kaidah tersendiri
dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau penulisan. Pada
jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau
berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat
masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul terbentuk dari peraturan yang
telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, anak- anak
belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya.
Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan
kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa
dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu
Nahwu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Ilmu Nahwu?
2.
Apa manfaat dari mempelajari Ilmu Nahwu?
3.
Bagaimana sejarah lahirnya Ilmu Nahwu?
4.
Apa saja cangkupan Ilmu Nahwu?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian dari Ilmu Nahwu.
2.
Mengetahui apa manfa’at dari mempelajari Ilmu Nahwu
3.
Mengetahui sejarah lahirnya Ilmu Nahwu
4.
Mengetahui apa saja cangkupan Ilmu Nahwu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nahwu
·
Secara Bahasa
1. Bermakna ألقَصْدُ (menyengaja)
2. Bermakna الْجِهَةُ (arah)
Contoh : نَحَوْةُ
نَحْوَالْبَىْتِ Saya
menyengaja ke arah rumah.
3. Bermakna اَلْمِثْلُ (seperti)
Contoh : زَىْدٌ نَحْوُ
عَمْرٍ Zaid seperti umar.
4. Bermakna اَلْمِقْدَارُ (kira-kira)
Contoh : عِنْدِى نَحْوُ
الْفٍ Saya memiliki kira-kira seribu.
5. Bermakna اَلْقِسْمُ (bagian)
Contoh : هَذَا عَلَى
خَمْسَةِ انْحَاءِ Perkara ini
adalah lima bagian.
6. Bermakna اَلْبَغْضُ (sebagian)
Contoh : اكَلْتُ نَحْوَ
السَّمَكَةِ Saya telah memakan sebagian
ikan.
Yang paling
banyak pendapat
tentang arti Nahwu dari enam makna di atas adalah makna yang pertama.
·
Secara Istilah
Nahwu menurut
istilah diucapkan pada dua hal :
1.
Diucapkan untuk istilah fan ilmu nahwu yang mencakup ilmu nahwu shorof atau juga disebut
ilmu bahasa arab, yang definisinya adalah :
عِلْمٌ بِاُصُوْلِ مُسْتَمْبَطَةٍ مِن كَلاَمِ الْعَرَبِ
يُعْرَفُ بِهَا اَحْكَامُ الْكَلِمَاتِ الْعَرَبِيَةِ حَالَ اِفْرَدِهَا وَحَالَ
تَرْكِبِهَا
Ilmu tentang
Qoidah-qoidah (pokok-pokok) yang diambil dari kalam arab, untuk mengetahui
hukum (Hukumnya Kalimat) kalimat arab yang
tidak disusun
(seperti I’lal, idghom, membuang dan mengganti huruf)
dan keadaan kalimat ketika ditarkib (seperti I’rob dan mabni).[2]
2.
Istilah nahwu untuk fan
ilmu yang menjadi perbandingan dari ilmu shorof, yang definisinya adalah :
عِلْمٌ بِاُصُوْلٍ مُسْتَنْطَةِ مِنْ قَوَاعِدِ الْعَرَبِ
يُعْرَفُ بِهَا اَحْوَالُ آَوَاخِرِ الْكَلِمِ إعْرَابًا وَبِنَاءٌ
Ilmu tentang
pokok-pokok yang diambil dari qoidah-qoidah arab, untuk mengetahui keadaan
akhirnya kalimat dari segi I’rob dan mabni.[3]
Dari dua definisi diatas, yang
dikehendaki adalah definisi yang pertama, karena nahwu tidak hanya menjelaskan
keadaan akhirnya kalimah dari segi I’rob dan mabninya tetapi menjelaskan
keadaan kalimat ketika tidak ditarkib, yang berupa I’lal, idhom, pembuangan dan
pergantian huruf, dan lain-lain.
Nahwu
merupakan salah satu dari dua belas cabang ilmu Lughot Al-arobiyyah[4]
menduduki posisi penting. Oleh karena itu, nahwu lebih layak untuk dipelajari
mendahului pengkayaan kosakata dan ilmu-ilmu lughot yang lain. Sebab, nahwu
merupakan instrument yang amat fital dalam memahami Kalam Allah, Kalam Rasul
serta menjaga dari kesalahan terucap.[5]
Oleh
karena itu, sebagai disiplin ilmu yang dianggap penting, nahwu bukan sekedar
untuk pemanis kata, akan tetapi sebagai timbangan dan ukuran kalimat yang benar
serta bias menghindar kan pemahaman yang salah atas suatu wicara.[6]
Oleh karena itu,menurut kaidah hukum islam, mengerti akan ilmu Nahwu bagi
mereka yang ingin memahami Al-Qur’an, hukumnya fardu ‘ain.
B.
Manfaat Mempelajari Ilmu Nahwu
Pernyataan
Syaikh Ahmad bin Umar Al Hazimi berkata :
Buah dan faedah mempelajari ilmu nahwu :
Ilmu nahwu itu merupakan kunci untuk mempelajari ilmu syariat. Sedangkan
terjaganya lisan dari kesalahan ketika berbicara merupakan faedah tambahan. Maka
tidak sepatutnya bagi seorang penuntut ilmu menjadikan tujuan utama dalam
mempelajari ilmu nahwu hanya supaya terjaga lisannya dari kesalahan saat
berbicara. Hal ini hanya tambahan saja (bukan tujuan agama). Sedangkan yang
menjadi tujuan utama mempelajari nahwu adalah supaya ilmu tersebut bisa sebagai
kunci dalam mempelajari ilmu syariat. Oleh karena itu, hendaknya seorang
penuntut ilmu meniatkan hal ini supaya ia mendapatkan pahala. Karena ilmu nahwu
ini bukan tujuan akhir, ia merupakan ilmu alat dan sarana, dan yang namanya
sarana itu hukumnya mengikuti tujuannya.
Dari
keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa manfaat menguasai Ilmu Nahwu yaitu :
1.
Dapat berbicara Bahasa
Arab
2.
Dapat membaca
kitab-kitab berbahasa Arab. Seperti: Kitab Kuning
3.
Dapat mengoreksi
kesalahan orang yang membaca atau berbicara Bahasa Arab
4.
Dapat memahami Syari’at
Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
C.
Sejarah Lahirnya Ilmu Nahwu
1.
Sebab-sebab yang mendorong disusunnya Ilmu Nahwu
Bangsa
Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua
bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai
dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada
saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup
melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam
bahasa Arab yang fasih.
Setelah
penyebaran Islam berhasil menyebar ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa
Arab mau tidak mau harus berinteraksi dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa
Arab tersebut. Akibat interaksi yang berlangsung secara intens dan dalam waktu
lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non
Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak
kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan
berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab
yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh
orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan.
Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat
melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat
Al-Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun
kaidah-kaidah bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi Ilmu Nahwu.
2.
Tujuan disusunnya Ilmu Nahwu
Tujuan
utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga
sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain,
ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa
Al-Qur’an (اعجاز
القرآن).
3.
Siapakah yang mula-mula menyusun Ilmu Nahwu?
Melalui
pengkajian yang teliti, para ahli menetapkan bahwa yang meletakkan gagasan awal
dan dasar-dasar serta metodologi ilmu nahwu ialah Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya, pekerjaan tersebut dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang
bernama Abul Aswad.
Mengenai
pendapat yang mengatakan bahwa metodologi ilmu nahwu diadopsi dari tata bahasa
lain – terutama Yunani – melalui perantaraan orang-orang Suryani, para ahli
menyanggahnya dengan mengatakan bahwa metodologi itu orisinil dari Arab,
terutama dengan adanya Al-Qur’an. Para ahli mengatakan bahwa tata bahasa Yunani
memang sempat bergumul dan mempengaruhi ilmu nahwu, namun itu terjadi setelah
ilmu nahwu sendiri sudah berada di tengah-tengah formasinya.
4.
Perkembangan Ilmu Nahwu dari masa ke masa
Perkembangan ilmu nahwu dapat
diruntut menjadi tiga periode:
a.
Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan
pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya
Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih
bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa
pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah.
Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya
perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi.
Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin
banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya
perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum
bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
b.
Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode
ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini
tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun
daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi
perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai
menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya
Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada
masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang
saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
c.
Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di
akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan
dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf
dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa
ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini.
Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru
Baghdad.
Meskipun
telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya
masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara
Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran
Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan.
Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini
berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang
hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah
tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di
Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.
D.
Objek Pembahasan Ilmu Nahwu
Dalam Ilmu Nahwu objek bahasannya
tertuju pada kosa kata Arab baik dalam bentuk kata tunggal (mufrod) atau tersusun (murokkab), mengenai vokal
akhir (I’rob) yang menentukan suatu kata, mengenai pergantian,
pembuangan dan masih
banyak yang
lainnya.
Dalam tata bahasa sintaksis Arab, dikenal
istilah Fi’il
(kata kerja), Isim (kata benda) dan Harf (kata tugas), jumlah Ismiyah (Kalimat yang diawali dengan Isim) dan Fi’liyah (Kalimat yang diawali dengan Fi’il) serta Syibhu
jumlah. Dalam ilmu Nahwu banyak lagi istilah dan persoalan yang dihadapi dapat
diteliti dari buku-buku yang banyak tersebar.
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah
kalimat (الجملة). Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap bagian kalimat dan secara umum berbicara
tentang aturan mengenai hubungan antarbagian tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk
menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar
bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai
hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicar tentang harakat di
akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang
baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu nahwu adalah salah satu dari
kaidah-kaidah Bahasa Arab uuntuk mengetahui bentuk kata dan keadaan-keadaannya
ketika masih satu kata (Mufrod) atau ketika sudah tersusun (Murokkab)
Ada beberapa manfa’at dari
mempelajari dan menguasai Ilmu Nahwu, diantaranya : Bisa berbahasa Arab, bisa
memahami kitab-kitab bahasa Arab, Bisa mengoreksi bacaan atau pembicaraan
bahasa Arab, dan yang terpenting ialah bisa memahami Syari’at Islam yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Perkembangan Ilmu Nahwu dari masa ke
masa dibagi menjadi 3 periode penting yaitu : Periode Perintisan dan Penumbuhan
(Periode Bashrah), Periode
Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah), serta Periode Penyempurnaan dan Tarjih
(Periode Baghdad)
Secara garis besar, dalam Ilmu
Nahwu objek bahasannya tertuju pada kosa kata Arab baik dalam bentuk kata tunggal (mufrod) atau tersusun (murokkab), kalimah-kalimah Bahasa
Arabpun dibagi menjadi 3 kategori yaitu : Isim, Fi’il dan Harf serta masih
banyak lagi pembagian istilah-istilah lainnya dalam cakupan Ilmu Nahwu.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hudlori Hasyiyah 1
·
Ibnu Wahid Alfat, Reaktualisasi Fan Nahwu, genesa
product
·
Muhammad bin ‘Ali As Shobban, Hasyi’ah As-Shobban
(Haromain)
·
Taqrirot Al Fiyyah
·
http://islammakalah.blogspot.co.id/p/blog-page.html
(diakses Kamis, 25-2-2016. Jam 10.00 WIB)
·
http://hamizanabqari.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-perkembangan-ilmu-nahwu.html
(diakses Kamis, 25-2-2016. Jam 10.00 WIB)
·
http://rumahbahsaarabrubah.blogspot.co.id/2013/02/manfaat-fungsi-ilmu-nahu.html
(diakses Jum’at, 26-2-2016. Jam 14.00 WIB)
·
http://hendraislami.blogspot.co.id/2009/04/mengenal-ilmu-nahwu_07.html
(diakses Jum’at, 26-2-2016. Jam 14.00 WIB)
Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
BalasHapusMasmuka Artinya Aina Artinya Ufa Bunga SMartphone