Soal-Soal UTS
A.
Coba kemukakan hikmah dan makna
pembagian waris dan perkuat dengan dalil!
B.
Berdasarkan pengalaman anda, banyak
persoalan yang berkaitan dengan pembagian waris. Persoalan-persoalan apa yang
pernah anda alami & bagaimana cara mengatasinya!
C.
Coba jelaskan hubungan antara harta
waris, dengan nasab dan pernikahan!
D.
Apa yang anda ketahui tentang
1.
Nikah
2.
Hukum nikah
3.
Proses nikah
4.
Kedudukan mahar, wali dan saksi
Pembahasan
Soal UTS
A.
Coba kemukakan hikmah dan makna
pembagian waris dan perkuat dengan dalil
Ketentuan pembagian
waris telah diatur sedemikian rupa dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dibandingkan
dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat hukum inilah yang paling tegas dan
rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai oleh Al-Qur’an
dan Al-Hadits tersebut tentang ketegasan hukum dalam hal pembagian waris. Berikut
ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum islam:
1.
Pembagian waris dimaksudkan untuk
memelihara harta (Hifdzul Maal).
Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan
Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara
harta. Ini berarti bahwa diharapkan dengan pembagian waris harta kita tetap
terjaga dan mampu dikelola dengan baik untuk kedepannya bagi generasi
selanjutnya. Selain itu, dengan memelihara harta dapat membuat kita menjauhi
sifat boros, karena dengan boros harta kita akan hilang percuma dan tidak dapat
dipelihara dengan baik. Firman Allah.
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# (
tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Isra: 26-27)
2.
Mengentaskan kemiskinan dalam
kehidupan berkeluarga.
Seseorang yang meninggal dunia dengan
mewariskan hartanya kepa ahli waris itu bertujuan agar ia tidak meninggalkan
sanak keluarga dalam keadaan kesusahan dan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan
potongan Hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli
warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan
miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia.
Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridho Allah
pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu. (HR. Bukhari
Muslim)
3.
Menjalin tali silaturahim antar
anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
Dengan menyambung tali silaturahim maka banyak
sekali manfaat yang didapat, diantaranya dapat memudahkan kita dalam mencari
rizki dan dapat pula memanjangkan umur kita. Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya
dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali tali silaturahim
(Muttafaqun ‘alaihi)
4.
Merupakan suatu bentuk pengalihan
amanah atau tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya
harta adalah amanah Allah subhanahu
wata’ala yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan
kelak.
Sabda
Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi
wasallam
Sesungguhnya bagi tiap-tiap umat itu ada
fitnah, dan sesungguhnya fitnah bagi umatku adalah harta (HR. Tirmidzi)
Hadits
ini mengisyaratkan tentang bahaya nya harta jika tidak dapat dimanfaatkan dan
dipertanggungjawabkan dengan baik sesuai syariat islam. Karena hal ini dapat
menjadi salah satu fitnah dalam hidup. Maka dari itu penting bagi kita agar
bisa amanah dalam menjaga harta dan mengelolanya dengan baik. Karena kelak di
akhirat nanti kita akan dipertanyakan tentang harta yang kita miliki tersebut pada
awal dan akhirnya (darimana kita mendapatkan harta dan bagaimana kita
membelanjakan harta tersebut)
5.
Adanya asas keadilan antara
laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam
menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
...
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan[272]; ... (Q.S. An-Nisa: 11)
[272] Bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan,
seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa
ayat 34).
Dari
ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Allah mengisyaratkan bahwa dalam
pembagian harta waris, laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak daripada
perempuan. Hal ini dimaksudkan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab yang
lebih besar daripada perempuan. Maka dengan ayat ini dapat memberikan asas
keadilan antara laki-laki dan perempuan.
6.
Harta warisan itu bisa juga menjadi
fasilitator untuk seseoranng membersihkan dirinya maupun hartanya dari
terpuruknya harta tersebut.
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ (
¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3
ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (Q.S. At-Taubah: 103)
[658]
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda
[659]
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
Sama halnya dengan zakat, bahwa dalam harta
waris juga bisa dijadikan sarana untuk membersihkan harta dan jiwa bagi pewaris
yang meninggal. Karena daripada harta tersebut terus dipendam dan tidak
dimanfaatkan dengan baik, maka lebih baik dibagikan kepada sanak keluarga yang
pembagiannya telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
7.
Mewujudkan kemashlahatan umat Islam.
Apapun yang kita lakukan ketika hidup didunia,
hendaknya kita bisa memiliki manfa’at bagi orang lain, tak terkecuali dalam
perihal harta waris yang kita tinggalkan ketika kita meninggal dunia.
Sebagaimana Firman Allah:
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡B ÏmÏù (
tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; Öô_r& ×Î7x. ÇÐÈ
berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S.
Al-Hadid: 7)
[1456] Yang
dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak.
hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. manusia menafkahkan hartanya itu
haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. karena itu tidaklah
boleh kikir dan boros.
8.
Dilihat dari berbagai sudut, warisan
atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan bagi umat manusia.
9.
Ketentuan hukum waris menjamin
perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi kemerdekaan serta kemajuan
generasi ke generasi dalam bermasyrakat
Kaitannya dengan makna
pembagian harta waris, maka pembagian harta waris dimaksudkan untuk mencapai
keadilan, keseimbangan dan keteraturan dalam pembagian harta waris tersebut
sesuai apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
B.
Berdasarkan pengalaman anda, banyak
persoalan yang berkaitan dengan pembagian waris. Persoalan-persoalan apa yang
pernah anda alami & bagaimana cara mengatasinya!
1.
Kasus 1
Jika orang tua murtad dan meninggal, kepada siapakah harta warisan dibagikan?
Jawab:
Jika orang tua murtad dan meninggal, kepada siapakah harta warisan dibagikan?
Jawab:
Jika orang tua murtad, harta warisnya masuk ke baitul mal (seperti
Bazas dll). Ahli warisnya yang muslim tidak mendapat bagian sedikit pun
karena berbeda agama.
2.
Kasus
2
Apakah anak angkat berhak mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya?
Jawab:
Apakah anak angkat berhak mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya?
Jawab:
Anak angkat tidak berhak mendapat warisan dari orang tua
angkatnya. Namun, ia bisa diberi wasiat harta maksimal 1/3 jumlah warisan.
3.
Kasus 3
Seseorang diberi warisan dengan syarat tidak boleh dijual. Apakah warisan dengan syarat ini sah? Apakah syarat tersebut termasuk wasiat yang tidak boleh dilanggar?
Jawab :
Seseorang diberi warisan dengan syarat tidak boleh dijual. Apakah warisan dengan syarat ini sah? Apakah syarat tersebut termasuk wasiat yang tidak boleh dilanggar?
Jawab :
Warisan adalah harta peninggalan mayit untuk ahli
warisnya dan dibagi setelah selesai urusan jenazah, utang, dan wasiatnya.
Warisan adalah milik ahliwaris, bukan lagi milik mayit, jadi terserah
penggunaannya oleh ahli waris. Syarat tidak boleh dijual menyalahi konsekuensi
harta waris.
4.
Kasus 4
Seorang laki-laki menikahi wanita yang dihamilinya dengan zina, lalu lahirlah anak. Apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab:
Ada rinciannya:
Seorang laki-laki menikahi wanita yang dihamilinya dengan zina, lalu lahirlah anak. Apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab:
Ada rinciannya:
-
Anak tersebut mendapat warisan dari jalur ibu
yang melahirkannya
-
Anak tersebut tidak mendapat warisan dari jalur
ayah karena dia tidak mempunyai bapak secara syariat. Laki-laki tersebut bukan
ayahnya secara syariat sehingga tidak ada hubungan warisan antara keduanya.
C.
Coba jelaskan hubungan antara harta
waris, dengan nasab dan pernikahan!
Sebelum menjelaskan
bagaimana hubungan antara harta waris, dengan nasab dan pernikahan, maka
terlebih dahulu kita mengetahui arti dari ketika masing-masing bagian tersebut.
Harta waris
Harta waris adalah harta peninggalan orang yang
sudah meninggal untuk dibagikan kepada ahli waris yang telah ditetapkan
pembagiannya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Harta peninggalan orang yang
meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup,
kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati.
Dalam hal ini para ulama telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat
warisan ada tiga:
1.
Nasab (النسب) atau hubungan kekerabatan. Nasab
ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan
lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini
berdasarkan firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur
(#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur
(#rßyg»y_ur
öNä3yètB
y7Í´¯»s9'ré'sùنن óOä3ZÏB 4 (#qä9'ré&ur
ÏQ%tnöF{$#
öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr&
<Ù÷èt7Î/
Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ
“Dan orang-orang yang beriman sesudahmu, kemudian
berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Anfal: 75)
2.
Perkawinan (الزواج). Seorang mendapatkan harta warisan
dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau
perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini
berdasarkan firman Allah:
وَ
لَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ...الآية
Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling
mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:
a.
Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di
sini adalah perkawinan yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah
memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah
dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak
dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid
menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu, bila salah
seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk
dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan
badan antara pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang
dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan
mendapatkan dari ibunya.
b.
Perkawinan itu
dalam posisi:
1)
Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih
utuh –tidak dalam perceraian yang ba’in
shugra’-. Dalam posisi ini
suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya perkwinan semata mata
dengan matinya salah seorang suami-istri.
2)
Perkawinan telah teputus, tetapi antara suami dan
istri masih dalam iddah (masa tunggu yang dibolehkan suami
kembali kepada istri dengan tidak membuat akad baru), yang itu disebut dengan thalaq
raj’iy, yaitu masa dimana suami dapat merujuk kepada istri tampa membuat
akad baru, saksi, wali dan tanpa izin istri tersebut. Dari itu, apabila pada
saat itu salah seorang mati, maka mereka dapat saling mewarisi. Akan tetapi
bila waktu iddah telah habis kemudian salah seroang meninggal maka hak
saling mewaris telah habis dengan sebab iddah tersebut telah habis.
Dari uraian
panjang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harta waris adalah harta yang
peninggalan dari pewaris/pemilik harta yang dibagikan ketika pewaris tersebut
telah meninggal. Pembagian tersebut sesuai apa yang telah terdapat didalam
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ahli waris yang berhak menerima pembagian harta
tersebut digolongkan menjadi 2, yaitu karena faktor Nasab / faktor langsung
karena ahli waris tersebut memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah
dengan pewaris. Dan karena faktor pernikahan/perkawinan/ faktor tidak langsung
karena ahli waris tersebut memiliki hubungan pernikahan/perkawinan dengan
pewaris.
D.
Apa yang anda ketahui tentang
1.
Pengertian Nikah
2.
Hukum nikah
3.
Proses nikah
4.
Kedudukan mahar, wali dan saksi
1.
Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat
al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam
satu tempat. Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah
bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan
untuk menyebut hubungan seksual.
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki
dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan
seksual” .
2.
Hukum Nikah
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan,
kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya
a.
Hukum asal dari pernikahan
Adapun hukum
asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat
Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah
pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa
seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib
baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban,
dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ (Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, hlm
: 179)
Salah satu dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya ia berkata :
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta),
hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam
(syahwat) .” (H.R. Bukhari
Muslim)
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas
memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj”
(segeralah dia menikah), kalimat tersebut mengandung perintah. Di
dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr
lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Pendapat
Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah,
bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini
adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah
menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang
mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari
pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan
riwayat dari Imam Ahmad. Salah satu dalilnya adalah :
Firman Allah
subhanahu wa ta’ala :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa:3)
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama
(bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat.
Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara
menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan
antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat
wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang meninggalkan kewajiban
tidak berdosa. “ (Imam Nawawi,
Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 174.)
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan
menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang
dianjurkan).
b.
Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang
melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama
: Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk
menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi
yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga
dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak
bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau
seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia
hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu
memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang
seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara
materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya
pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua
: Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai
harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam
Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah
sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin
Sedangkan Dia Mempunyai Harta “. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz
: 9, hlm : 172)
Ketiga
: Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat,
tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak
mempunyai syahwat. Contoh ini disebutkan oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh
Bulughul Maram, juz : 4, hlm : 180. Penulis sendiri masih belum bisa
memahami secara utuh contoh yang disebutkan oleh beliau. Tetapi yang jelas
contoh tersebut berbeda dengan apa yang disebutkan oleh imam an-Nawawi di
dalam Syarh Shohih Muslim yang mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai
keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka
baginya, menikah adalah makruh. Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi
tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat
tentang hukumnya. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm :
174)
Keempat
: Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada
keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak
membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk
menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih
baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu.
Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan
mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya
tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,
tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk
menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah
tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat
Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah. (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz: 9, hlm : 174)
Pendapat Kedua :
Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari
ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali
istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti
memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya,
menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti
melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat
sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban,
menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
Kelima
: Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab
dan akan menelantarkan istri dan anak. (Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak
, Jakarta, Dar al-Haq, Cet-1, 2010. )
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram
adalah pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi
Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan
anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat,
maka dibolehkan.( Al-Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, juz
: 4, hlm :179)
3.
Proses Nikah
Berikut ini akan membahas tatacara / proses pernikahan menurut Islam
secara singkat. Hal-hal yang perlu dilakukan sebelum menikah (proses Ta’aruf), ketika melamar (hitbah), dan
lain-lain
a.
Minta
Pertimbangan
Bagi
seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk
menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan dari kerabat dekat
wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar
tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat
memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang
akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat
dekatnya yang baik agamanya.
b.
Shalat
Istikharah
Setelah
mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon istrinya, hendaknya ia
melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi kemantapan oleh Allah Taala
dalam mengambil keputusan.
Shalat
istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah Ta’ala agar diberi petunjuk dalam memilih
mana yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk
keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang
mengalami rasa bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang
penting. Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada
penderitaan hidup. Inshaa Allah ia akan mendapatkan kemudahan dalam menetapkan
suatu pilihan.
c.
Khithbah
(peminangan)
Setelah
seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka
hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang tua/wali
dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta
agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang
adalah bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
Pada
waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki
dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita
tersebut haram dini kahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa
iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
Belum
dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang meminang
pinangan saudaranya. Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Orang mukmin adalah saudara orang
mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual
barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang
sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya." (HR.
Jamaah)
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka
haram bagi seorang laki-laki untuk meminangnya.
d.
Melihat
Wanita yang Dipinang
Islam
adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang
dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang
meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan
tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya
Dari
Jabir radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Apabila salah
seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu
hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya."
Jabir berkata:
"Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa
melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya."
(HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu
Dawud, 1832). Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah
melihat pinangan ini di antaranya adalah:
e.
Dilarang
berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram.
f.
Aqad
Nikah
Dalam aqad nikah ada
beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
-
Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
-
Adanya ijab qabul.
-
Adanya Mahar (mas kawin)
-
Adanya Wali
-
Adanya Saksi-Saksi
- Walimah
Walimatul
Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf:
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya
dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Alabni
dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga
wajib.
"Jika kalian diundang walimah,sambutlah
undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang lainnya). Barangsiapa yang
tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad no.6337 dan
Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).
Akan
tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah Taala dan
Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah
terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka
wajib meninggalkan tempat itu.
Dari
Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
"Saya membuat makanan maka aku
mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliaupun datang.
Beliau masuk dan melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan bersabda: "Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya
ada gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, lihat
Al-Jamius Shahih mimma Laisa fisShahihain 4/318 oleh Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadii).
Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Semoga
Allah Taala memberikan kelapangan bagi orang- orang yang ikhlas untuk mengikuti
petunjuk yang benar dalam memulai hidup berumah tangga dengan mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu alaih wa sallam.
Mudah-mudahan mereka digolongkan ke dalam hamba-hamba yang dimaksudkan dalam
firman-Nya: "Yaitu orang-orang yang
berdoa: Ya Rabb kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami). Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertaqwa." (Al-Furqan: 74).
4.
Kedudukan mahar, wali dan saksi
a.
Kedudukan mahar
1) Pengertian
dan hukum mahar
Mahar secara
etimologi berarti mas kawin. Sedangkan mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah
pemberian yang wajib dari calon suami
kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa
cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suami.
Islam sangat
memperhatikan dan menghargai kedudukan seseorang wanita dengan memberi hak
kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan
calon suami, kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun
walaupun sangat dekat dengannya.
Jika istri telah
menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian
maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut,
maka tidak halal menerimanya.
Karena mahar
merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakan sebagai rukun
nikah, maka hukum memberikannya wajib.
2) Syarat–syarat mahar
Mahar yang diberikan kepada calon
istri, harus memenuhi syarat sebagai berikut.
-
Harta bendanya berhaga
Tidak sah mahar dengan
yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak
atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki
nilai, maka tetap sah.
-
Barangnya suci dan bisa di ambil mamfaat
Tidak sah mahar
dengan khamar, babi, atau darah, karena itu semua haram dan tidak berharga.
-
Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain
tampa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikan kelak.
-
Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar
dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebuan jenisnya.
3) Kadar
(jumlah) mahar
Islam tidak
menetapkan berapa
banyak mahar yang harus diberikan kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan antara sesama manusia. Ada orang kaya, adapula orang miskin, ada yang
lapang dada dan ada juga yang di sempitkan rezekiya. Disamping itu, setiap
masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu masalah mahar diserahkan berdasarkan kemampuan
masing-masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat.
Bahkan, islam membolehkan memberi mahar dengan apa
saja, asalkan bermanfaat, misalnya cincin besi, segantang kurma, atau
mengajarka al-Qur’an,
dan sebagainya atas kesepakatan kedua belah pihak.
Mengenai besarnya
mahar, para fuqaha
sepakat bahwa mahar itu tidak ada batasnya, apakah sedikit atau banyak. Namun mereka hanya berbeda pendapat tentang batasan
paling sedikitnya.
4)
Memberi mahar dengan kontan dan utang
Pelaksanaan memberi
mahar bisa dilakukan sesuai kemampuan atau di sesuaikan dengan keadaan dan adat
masyarakat, atau kebiasaan yang
berlaku. Mahar boleh dilaksanakan
dan diberikan dengan kontan atau utang.
Dalm hal penundaan
pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan di kalangan ahli fiqh.
Segolongan ahli fiqh berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh di berikan dengan
cara dihutang keseluruhan. Segolongan lainya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda
pembayarannya, tetapi menganjurkan membayar sebagian mahar dimuka manakala akan
mengauli istri.
Dan diantara para fuqaha yang membolehkan
penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tegangan waktu
terbatas yang telah di tetapkan.
b.
Kedudukan wali
1)
Pengertian Wali
Wali yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah pengertian wali
sebagai Pengasuh pengantin perempuan pada pernikahan (akad nikah berlangsung),
atau yang berhak mengakadkan perkawinan, istilah ini biasa disebut wali mujbir.
Urutan orang berhak menjadi wali mujbir adalah:
-
Bapak
-
Kakek (bapak dari bapak)
-
Saudara laki-laki kandung
-
Saudara laki-laki sebapak
-
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
(keponakan)
-
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
(keponakan)
-
Saudara laki-laki bapak (paman)
-
Anak laki-laki paman (sepupu)
-
Hakim.
2) Syarat
Wali
Menurut jumhur ulama, orang yang
menjadi wali hendaknya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu agar
perwaliannya itu dipandang sah menurut agama, syaratnya adalah:
-
Islam
-
Baligh (kurang lebih 15 tahun)
-
Berakal
-
Laki-laki
-
Adil.
-
Merdeka, dan
-
Seagama
3) Kedudukan
wali dalam nikah
Pendapat jumhur ulama termasuk Imam
Syafi’i dan Maliki, bahwa nikah tanpa wali hukumnya tidak sah, alasannya adalah
“dari Abi Musa
al-asy’ari berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi”. (H.R. Ibnu Hibban)
c.
Kedudukan
dua saksi dalam nikah
Menurut jumhur ulama, nikah tanpa adanya
saksi dipandang tidak sah,
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
“Tidak
ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam
kitab shahihnya. Ibnu Hibban berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua
orang saksi kecuali dalam hadits ini) (Lihat Tuhfatul Labiib, 2: 747).
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata, “Walaupun hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di
bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun kebanyakan para ulama mengamalkan hadits tersebut. Mereka berkata bahwa
inilah bedanya antara nikah dan sesuatu yang hanya main-main yaitu dengan
adanya saksi.” At Tirmidzi berkata, “Hadits ini diamalkan oleh para ulama dari
sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para tabi’in sesudahnya dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa
tidak ada nikah kecuali dengan adanya saksi. Tidak ada ulama terdahulu yang
berselisih pendapat mengenai hal ini kecuali sebagian ulama belakangan yang
berbeda.” (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 149).
Syaikh Abu Malik berkata bahwa hadits yang membicarakan hal ini saling
menguatkan satu dan lainnya. Jika dikatakan “tidak ada nikah”, maka itu
menunjukkan bahwa adanya saksi merupakan syarat sahnya nikah. (Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 3: 150)
Syarat-syarat menjadi saksi
1)
Dua orang Laki-laki, akan tetapi ada perbedaan
pendapat mengenai hal ini:
-
Menurut Imam syafi’i dan imam Ahmad mengatakan
bahwa saksi disyaratkan haruslah laki-laki semuanya
-
Menurut Imam Hanafi dan madzhab Zaidiah
mengatakan bahwa saksi boleh satu laki-laki ditambah dua orang perempuan.
-
Dan menurut pendapat lain bahwa dua orang
laki-laki tersebut bisa digantikan kedudukannya dengan empat orang wanita.
2)
Adil, menurut Imam Syafi’i adil merupakan syarat
sah saksi, sedangkan menurut imam Hanafi, seorang saksi tidaklah harus adil dan
bukan yang menentukan sah atau tidaknya persaksian.
3)
Harus tidak ada hubungan kekeluargaan atau
permusuhan.
Menurut imam Ahmad tidak sah jika
persaksian dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau
permusuhan, akan tetapi
menurut imam Hanafi dan madzhab Zaidiah, sah jika persaksian dilakukan oleh
orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau permusuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Situs Web:
-
http://andhikhariz.blogspot.co.id/2012/06/filosofi-hukum-islam-tentang-waris.html (Dikutip sebagian pada hari Rabu,
12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-
http://walis-net.blogspot.co.id/2015/07/tanya-jawab-seputar-hukum-waris.html (Dikutip sebagian pada hari Rabu,
12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-
http://surya-muamalah.blogspot.co.id/2012/04/sebab-sebab-hubungan-dan-penghalang.html (Dikutip sebagian pada hari Rabu, 12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-
www.khabib.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=8 (Dikutip sebagian pada hari Rabu,
12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
-
www.naufalskr.blogspot.co.id/2016/05/kedudukan-tentang-mahar.html?m=1 (Dikutip sebagian pada hari Rabu,
12 April 2017. Jam 13.00 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar