BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada pembahasan awal materi Bahasa Arab IV telah dijelaskan
tentang at-tasybih dan macam-macamnya, yaitu penyerupaan hal yang satu dengan
hal yang lainnya baik itu verbal atau non verbal.
Ulama’ Balaghah berpendapat bahwa asal dari uslub majaz adalah uslub tasybih,
perbedaannya adalah jika tasybih itu musyabah
dan musyabah bih-nya harus ada dalam kalimat, sedangkan majaz hanya ada satu
daintara keduanya. Didalam buku Ilmu
Balaghah antara Al-Bayan dan Al-Badi’, majaz dibagi menjadi 3, yaitu majaz
isti’arah, majaz mursal dan majas ‘Aqli. Pada kesempatan kali ini, pemakalah
akan membahas salah satu dari pembagian majaz tersebut yaitu majaz aqli.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian dari Majas Aqli?
2.
Bagaimana
nilai majaz mursal dan majas aqli dalam ilmu Balaghah?
C. Tujuan
penulisan
1.
Mengetahui
pengertian dari Majas Aqli
2.
Mengetahui
nilai dari majas mursal dan majas aqli dalam ilmu Balaghah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Majas Aqli
1.
Contoh-Contoh
a.
Al-Mutannabi
berkata daam menyifati Raja Romawi setelah dipukul mundur oleh Saifud-Daulah:
Tongkat yang bermata lembing itu berjalan-jalan di
rumah pendeta bersamanya untuk bertobat, padahal semula ia tidak rela melihat
larinya kuda blonde yang pendek bulunya.
b.
Amr
bin Ash membangun Kota Fusthath (mesir kuno)
c.
Siangnya
Zahid berpuasa dan malamnya berdiri (shalat)
d.
Jalan-jalan
Kairo berdesak-desakkan
e.
Kesungguhanmu
sungguh-sungguh dan kelelahanmu lelah.
f.
Al-Khuthai’ah
berkata:
Biarkanlah kemurahan-kemurahan itu, janganlah kau
berangkat untuk mencarinya. Duduklah, karena sesungguhnya engkau pemberi sandang
dan pangan.
g.
Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami
adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat
suatu dinding yang tertutup. (Q.S.
Al-Isra’: 45)
h.
Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati. (Q.S. Maryam: 61)
2.
Pembahasan
Perhatikanlah dua contoh pertama! Pada masing-masing
contoh itu terdapat fi’il (kata kerja) yang disandarkan tidak kepada fa’il
(pelaku)-nya, yakni yamsyii
(berjalan) disandarkan kepada al-‘ukkaazu
(tongkat bermata lembing) karena tongkay itu tidak dapat berjalan, dan yabnii (membangun) disandarkan kepada
Amr bin Ash karena ‘Amr bin Ash sebagai gubernur tidak mungkin ikut membangun
secara langsung, yang membangun adalah para pekerjanya. Akan tetapi, karena
tongkat itu akan menjadi sebab berjalan dan ‘Amr bin Ash menjadi sebab
membangun, maka fi’il itu disandarkan kepada keduanya.
Kemudian pada contoh kedua, puasa disandarkan kepada
siang (bukan kepada Zahid sebagai pelakunya), berdiri shalat disandarkan kepada
malam, dan berdesak-desakkan (padat) disandarkan kepada jalan raya, padahal
siang itu tidak berpuasa, yang berpuasa adalah orang yang hidup di siang hari
itu; malam juga tidak berdiri, yang berdiri adalah orang yang shalat pada malam
itu; jalan-jalan di Kairo juga tidak berdesak-desakan, yang berdesak-desakan
adalah orang atau kendaraan yang lewat di jalan itu. Jadi, pada dua contoh
kedua ini fi’il atau yang serupa dengannya disandarkan kepada kata yang bukan
tempat sandaran yang sebenarnya. Faktor yang memperbolehkan penyandaran
demikian adalah karena musnad ilaih (sesuatu
yang menjadi sandaran) pada kedua contoh tersebut merupakan waktu atau tempat
berlangsungnya pekerjaan.
Pada contoh kelima terdapat dua fi’il, yaitu jadda dan kadda, disandarkan kepada mashdar (kata dasar / asal) masing-masing
dan tidak kepada fa’il masing-masing. Pada contoh keenam, Huthai’ah berkata
kepada orang yang diejeknya, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau adalah orang
yang memberi sandang dan pangan”. Apakah Anda mengira bahwa setelah berkata,
“Jangan berangkat untuk mencari kemurahan,” lalu berkata, “sesungguhnya engkau
adalah orang yang memberi sandang dan pangan orang lain?” Tentu tidak demikian.
Yang ia maksud tiada lain adalah: “Duduklah dengan total (menjadi beban bagi)
orang lain dengan mendapat makanan dan pakaian”. Jadi, kata sifat yang mabnii faa’il disandarkan dengan dhamiir maf’uul.
Pada contoh terakhir terdapat kata mastuuran menggantikan kata saatirun, dan kata ma-tiyyan menggantikan kata aatin.
Jadi, isim maf’ul digunakan untuk menggantikan kedudukan isim fa’il. Atau
dengan kata lain, sifat yang mabni maf’ul disandarkan kepada fa’il.
Dari contoh-contoh diatas kita lihat beberapa fi’il
atau yang menyerupainya tidak disandarkan kepada fa’ilnya yang hakiki,
melainkan kepada penyebab fi’il, kepada waktunya, tempatnya, atau kepada mashdar-nya,
dan beberapa kata sifat yang seharusnya disandarkan kepada maf’ul (objek
penderita), namun disandarkan kepada fa’il (subyek), serta kata sifat yang lain
yang seharusnya disandarkan kepada fa’il, namun disandarkan kepada maf’ul.
Mudah untuk diketahui bahwa penyandaran yang demikian adalah bukan penyandaran
yang hakiki karena penyandaran hakiki adalah penyandaran fa’il kepada fa’il-nya
yang hakiki. Kalau demikian, maka penyandaran disini adalah majaz daan disebut
sebagai majaz aqli karena majaz nya tidak
terdapat pada lafaz sebagaimana pada majaz
mursal dan isti’aarah, melainkan
pada penyandaran, dan hal ini dapat diketahui melalui pemikiran yang tajam atau
dengan akal.
3.
Kaidah-Kaidah
(24) Majaz Aqli
adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya kepada tempat penyandaran
yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang
hakiki.
(25) Penyandaran majazi adalah penyandaran kepada
sebab fi’il, waktu fi’il, tempat fi’il, atau mashdar-nya, atau penyandaran isim
mabnii fa’il kepada maf’ul-nya, atau isim mabni maf’ul kepada fa’il-nya.
4.
Latihan-Latihan
a.
Abuth-Thayyib
berkata:
Wahail Abal-Misk (nama julukan Kafur Al-Ikhisyidi), aku mengharap pertolongan darimu unntuk menghadapi musuh-musuhku, dan
aku mengharapkan kemenangan yang melumurkan pedang dengan darah. Dan (saya
mengharapkan) suatu hari yang membuat
kemarahan oraang-orang yang (dengki)
kepadaku, dan suatu keadaan yang menempatkan kesengsaraan ditempat kenikmatan.
b.
Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
(Nuh
berkata), “Tidak ada yang melindungi hari
ini dari azab Allah kecuali Allah (saja)
Yang Maha Penyayang,” (Q.S. Huud: 43)
c.
Kami berangkat ke kebun yang banyak bernyanyi.
d.
Ismail membangun banyak madrasah di Mesir
e.
Abu
Tammam berkata:
Hampir-hampir pemberiannya kegila-gilaan bila tidak
diobati oleh ruqyah peminta-mintanya.
Contoh
Penyelesaian:
a.
Penyandaran melumurkan pedang kedalam darah kepada
kemenangan adalah penyandaran yang tidak hakiki karena kemenangan itu tidak
melumurkan darah ke pedang, melainkan hanya sebab terhimpunnya kekuatan dan
bala tentara yang melumurkan pedang mereka ke dalam darah. Jadi, ungkapan
diatas mengandung majaz aqli yang hubungan maknanya adalah sababiyyah.
Penyandaran membuat kemarahan orang-orang yang dengki
adalah penyandaran yang bukan hakiki karena hari itu merupaakan waktu
berlangsungnya kemarahan. Jadi. Kalimat diatas mengandung majaz aqli yang
hubungan maknanya adalah zamaniyyah
b.
Makna ayat adalah (boleh seperti terjemahan diatas, atau): Tidak
ada yang dilindungi hari ini dari azab Allah kecuali orang yang disayang Allah.
Jadi, isim fa’il disandarkan kepada maf’ul. Yang demikian adalah majaz aqli
yang hubungannya adalah maf’uliyyah.
c.
Kebun itu tidak bernyanyi-nyanyi. Yang bernyanyi itu
tiada lain adalah burung-burung yang ada padanya atau lalat-lalat dan lebahnya.
Jadi, kalimat tersebut mengandung majaz aqli yang hubungan maknanya adalah
makaaniyyah.
d.
Ismail tidaklah membangun sendiri madrasah di Mesir,
melainkan beliau hanya memerintahkan pembangunannya. Jadi, penyandaran tersebut
adalah majaz aqli yang hubungan maknanya adalah sababiyyah.
e.
Penyandaran fi’il kepada mashdar-nya adalah majaz aqli
yang hubungan maknanya adalah mashdariyyah.
B.
Nilai Majaz Mursal dan Majaz Aqli dalam Balaghah
Apabila kalian memperhatikan macam-macam majaz mursal
dan majaz aqli, maka akan kita temukan bahwa kebanyakan majaz itu mengemukakan
makna yang dimaksud dengan singkat. Bila kita katakan: (Komandan itu menyisihkan pasukan musuh) atau (Majelis menetapkan demikian), maka akan
lebih ringkas daripada kita katakan: (Tentaranya komandan itu mengusir pasukan musuh) atau (Ahli majelis itu menetapkan demikian).
Tidak syak lagi bahwa keringkasan ungkapan itu adalah salah satu jenis
balaghah.
Disamping itu, ada celah-celah balaghah yang lain pada
kedua majaz ini, yakni kemahiran memilih titik singgung antar makna asli dan
makna majazi dengan mengusahakan majaz itu dapat menggambarkan makna makna yang
dikehendaki dengan gambaran yang lebih baik, seperti menyebut intelijen dengan
mata, menyebut telinga kepada orang yang mudah tersinggung, dan menyebut khuf dan telapak kaki dengan maksud
keindahan dan kuda. Semua contoh ini adalah dalam majaz mursal,. Atau seperti
menyandarkan sesuatu kepada sebabnya, tempatnya, dan waktunya dalam majaz aqli
karena balaghah itu mengharuskan pemilihan sebab yang kuat dan tempat serta
waktu yang khusus.
Dan apabila kita perhatikan dengan cermat, maka akan
kita dapatkan bahwa kebanyakan majaz mursal dan majaz aqli itu tidak lepas dari
mubalaghah (berlebih-lebihan) yang indah dan berpengaruh, menjadikan majaz itu
begitu menarik dan mencengkeram kuat dalam hati. Penyebutan keseluruhan dengan
maksud sebagian adalah suatu mubalaghah, demikian juga menyebut sebagian dengan
maksud keseluruhan, sebagaimana dikatakan: Fulaanun
famun (Si Pulan adalah mulut)
dengan maksud bahwa si Pulan adalah orang yang rakus yang melahap segala
sesuatu, atau Fulaanun anfun (Si Pulan
adalah hidung) dengan maksud bahwa hidungnya besar sehingga
berlebih-lebihan dengan menjadikan bahwa seluruhnya adalah hidung. Diantara
pernyataan dalam menyifati orang yang besar hidungnya adalah pernyataan
sebagian sastrawan:
(Saya tidak tahu apakah ia yang berada pada hidungnya,
ataukah hidungnya yang ada pada dia)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Majaz Aqli adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya
kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan
disertai karinah yang menghalangi
dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki.
2.
Nilai
dari majaz mursal dan majaz aqli dapat disimpulkan bahwa kebanyakan majaz
mursal dan majaz aqli itu tidak lepas dari mubalaghah (berlebih-lebihan) yang
indah dan berpengaruh, menjadikan majaz itu begitu menarik dan mencengkeram
kuat dalam hati. Penyebutan keseluruhan dengan maksud sebagian adalah suatu
mubalaghah, demikian juga menyebut sebagian dengan maksud keseluruhan
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jarim,
Ali & Musthafa Amin. 1994. Terjemahan
Al-Balaghah Waadhihah. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar