Kamis, 27 April 2017

Pembahasan Soal Fiqih jilid 2



Pembahasan Kuis
KUIS 1
Hukum-Hukum Dasar Islam
Dasar Hukum Islam ada 5:

1. Wajib
2. Sunnah
3. Halal dan Haram
4. Makruh
5. Mubah

Penjelasan:
1.             Wajib.
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan akan mendapat dosa seperti Shalat 5 waktu, Zakat Fitrah, Tidak berpuasa di Bulan Ramadhan, dll.
Terbagi diantaranya :
·              Wajib Mu'ayin (Mukhaddat) : hukum yang sudah jelas dan tentu aturan dan tata-caranya serta seberapa besar kadarnya, misal : Shalat, Zakat, dll
·              Wajib Ghoiru Mukhaddat : hukum yang tidak jelas tata caranya dan seberapa besar jumlah dan kadarnya, misal infaq, sodaqah, dll
·              Wajib Mukhoyir : hukum yang harus memilih dari beberapa pilihan dan jika sudah terpilih dan dilaksanakan maka yang lain dianggap hilang.
·              Wajib Mudloyaq (Muaqqot) : hukum yang sudah jelas syariatnya (hampir sama dengan Mu'ayin) hanya disini berdasarkan aturan pelaksanaan, misal : jadwal Shalat, jadwal puasa.
·              Wajib Mutlak : hukum yang aturan pelaksanaannya tidak ditentukan dengan pasti, tapi wajib dikerjakan seperti : naik haji
·              Wajib Yunaqqis : hukum yang mengatur aturan syariat bagi yang berhalangan melaksanakan kewajiban, misal wanita haid yang wajib melaksanakan Shalat setelah haid berhenti secara langsung, misal Ashar jam 3 dan Mahgrib jam 5.30, dan wanita haid berhenti jam 5, maka sisa 30 menit adalah wajib Shalat (wajib Yunaqqis).
·              Wajib Muwasi : hukum yang mengatur kelebihan waktu, tapi tetap harus dikerjakan dalam kurun waktu tersebut, misal waktu Shalat Ashar 2,5 jam tepatnya jam 3 hingga 5.30, sedangkan lama Shalat misalnya 20 menit, maka sisa 2,1 jam adalah wajib muwasi, dimana toleransi waktu tersebut dikhususkan kepada kita yang sedang berhalangan tanpa disengaja.
·              Wajib Ain: hukum yang mengkhususkan siapa yang melaksanakannya, sesuai syariat missal: Shalat Jum'at adalah wajib buat kaum laki-laki, sunnah buat kaum perempuan.
·              Wajib Kifayah: hukum yang tidak mengkhususkan siapa pelaksananya sesuai syariat dengan kata lain wajib dilaksanakan untuk umum, misal memandikan jenazah, bila satu muslim mengerjakan maka yang lain tidak wajib memandikan, namun bila tidak ada satu-pun yang memandikan, maka semua penduduk menanggung dosa.


2.             Sunnah.

Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan akan mendapat apa-apa. seperti Shalat sunnah, puasa senin-kamis, infaq, dll.
Terbagi diantaranya :
·           Sunnah Hadyi : yaitu hukum sunnah sebagai penyempurna Hukum wajib. Orang yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. contoh adzan, Shalat berjamah dan lain – lain.
·           Sunnah Zaidah : yaitu hukum sunnah yang dikerjakan sebagai sifat terpuji bagi muslim, karena mengikuti Nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
·           Sunnah Nafal : yaitu hukum sunnah sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. seperti Shalat sunnat.
·           Sunnah Muakad : yaitu hukum sunnah yang dianggap mendekati hukum wajib, misal Shalat Tarawih, Shalat Idul Fitri, Shalat Idul Adha, dll

3.             Haram.

Suatu hal yang apabila dikerjakan maka akan mendapatkan dosa dan apabila ditinggalkan / dijauhi akan mendapatkan pahala.
Terbagi diantaranya :
·         Haram Mutlak : hukum yang mengatur apa saja yang dilarang sesuai Al-Qur'an dan Hadits seperti Zina, Mencuri, Berjudi, Makan makanan yang dilarang oleh agama.
·         Haram Ghoiru : hukum yang mengatur apa saja yang dilarang dari asal atau akhir hal tersebut diperoleh. Misal : amal dimasjid, tapi hasil mencuri, makan makanan halal tapi hasil dari korupsi, atau amal baik yang dipamerkan (riya).

4.             Makruh.
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat tidak mendapat apa-apa namun jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Contoh : posisi makan minum berdiri, makan bawang, petai, jengkol, dll.

5.             Mubah.

Sesuatu hal yang dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mendapat apa-apa, seperti kegiatan yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari misal: mandi, makan, minum, tidur, dll.
                                                   
KUIS 2
A.          Jelaskan dan cari dari berbagai sumber tentang sekitar najis!
1.        Macam-macam Najis
Para ulama membagi najis ke dalam 3 macam, yaitu najis mukhaffafah, najis mughaladzah, dan najis mutawassitah.
a.         Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah (najis yang hukumnya ringan) adalah najis berupa air kencing bayi laki-laki yang belum makan atau minum, selain air susu ibunya. Air kencing bayi perempuan hukumnya seperti air kencing dewasa walaupun belum makan dan minum selain air susu ibunya. Karena jika perempuan kencing, air kencing langsung keluar tanpa ada saringan terlebih dahulu. Sementara itu, air kencing bayi laki-laki tidak langsung keluar semuanya, tetapi tersaring pada quluf atau kulit ujung kemaluan laki-laki yang belum dikhitan. 
Cara menyucikan air kencing bayi laki-laki cukup dengan memercikan air pada bagian badan, pakaian, atau benda-benda lainnya yang terkena air kencing tersebut tanpa dibasahi seluruhnya. Jika air kencingnya bayi perempuan, harus dibasuh.
b.        Najis Mughaladzah
Najis mughaladzah(najis yang hukumnya berat) adalah najisnya anjing dan babi beserta anak dari kedua jenis hewan itu dengan jenis hewan lain.Cara menyucikannya ialah membasuh tujuh kali dan salah satu di antaranya dilakukan dengan menggunakan tanah. Cara ini disebut ta’abud (ibadah),yaitu tidak boleh ditukar-tukar dan diubah, misalnya mengganti campuran debu dengan sabun.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0WamgIkV7O1uM3DVzsMbrEJ3xfEL1oDc_V2bCzF2FMhfSBsyZURgin9TD7bI4aG3GGFt98xqSvkw9Tva_F_-z8tbbi1HNw-Ih861_KmtuipNV3F3z8JcUmbYTg3EKHTI7HOXfexXE3-0/s1600/Hadist+Najis.bmp

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Cara menyucikan bejana salah seorang di antaramu bila dijilat anjing, yaitu membasuh (dengan air) sampai tujuh kali. Salah satu basuhan itu dicampur dengan debu” (H.R. Muslim)

Babi disamakan dengan anjing karena babi termasuk binatang yang keji, artinya binatang yang najis.

Firman Allah swt. :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTbvHvzwJHy7tEaM5sHSyxukIp_LqkUuwvVX18c9rMr8z2Pt5fHv8H618llM7xyRGYjaGTH07ZyRPpEvldXvF5KI_N-C1XzJh2kgeLLe2T5zDrh9ZcDoikXnPjCTm789gqT16ipKc2u0Q/s1600/Firman+Allah+tentang+Babi.bmp

“Atau (yang diharamkan juga), daging babi itu adalah binatang keji (najis)”. (Surah Al- An’am [6] : 145)
c.         Najis Mutawassitah
Najis mutawassitah (najis yang hukumnya sedang) adalah najis selain dari najis mukhaffafah dan mughaladzah. Najis mutawassitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu najis mutawassitah ainiyyah dan mutawassitah hukmiyyah.
1)        Najis mutawassitah ainiyyah, yaitu najis yang tampak dilihat oleh mata, seperti baul (air kencing) orang dewasa, gait (kotoran manusia atau binatang), darah, nanah, dan muntah. Cara menyucikan najis ainiyyah adalah dengan membasuh bagian yang terkena najis hingga hilang dzat dan sifat dari najis tersebut. Akan tetapi apabila rasa, warna, dan baunya susah untuk dihilangkan, boleh dibiarkan.
2)      Najis mutawassitah hukmiyyah, yaitu najis yang tidak dapat terlihat oleh mata, tetapi yakin adanya najis itu, seperti air kencing yang sudah kering. Cara mensucikannya cukup dengan menyiramkan air sekali saja tanpa harus mencuci seluruhnya.

2.        Najis Yang Dimaafkan
Seseorang yang akan shalat hendaklah terlebih dahulu memastikan dirinya, pakaiannya serta tempatnya dari najis. Jika terdapat najis pada perkara-perkara yang disebutkan itu, maka baiknya dibersihkan terlebih dahulu sehingga tempat yang terkena najis itu menjadi suci. Salah satu dari syarat sah shalat itu ialah suci tubuh badan, pakaian dan tempat shalat dari najis yang tidak dimaafkan. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Tafsirnya: “Dan pakaianmu, maka hendaklah engkau bersihkan!” (Surah al-Muddatstsir: 4)
Syarat suci dari najis ketika di dalam shalat adalah juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika datang darah haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah berlalu haid itu maka bersihkanlah (darah) dari dirimu dan kerjakanlah shalat.” (Hadits riwayat Bukhari)
Dari ayat dan hadits di atas, jelas bahwa tidak sah shalat seseorang yang terdapat najis pada badan, pakaian atau tempat shalat. Namun jika sekiranya najis itu merupakan najis yang dimaafkan, maka shalatnya adalah sah walaupun dia tidak menghilangkan najis dan menyucikan tempat yang terkena najis itu terlebih dahulu.
Untuk memudahkan seseorang itu melaksanakan ibadatnya, adalah perlu dia mengetahui apakah perkara yang dikategorikan sebagai najis yang dimaafkan.
a.        Apakah Najis Yang Dimaafkan itu?
Menurut para ulama mazhab asy-Syafi‘i, kaedah umum yang boleh dirujuk untuk mengenal pasti najis-najis yang dimaafkan itu ialah suatu perkara yang susah dielakkan darinya.
Berikut adalah sebahagian contoh najis-najis yang dimaafkan:
1.             Najis yang tidak nampak pada pandangan kasat mata, walaupun iadari najis mughallazhah. Umpamanya darah yang terlalu sedikit atau air kencing yang terpercik sama ada pada tubuh badan, pakaian atau tempat bershalat yang tidak nampak oleh pandangan kasat mata
2.             Najis yang sedikit seperti darah nyamuk atau kutu yang tidak mengalir. Begitu juga darah yang keluar dari kudis, bisul, jerawat kecil, luka atau nanah pada badan seseorang, pakaian atau tempatnya bershalat yang bukan disebabkan perbuatannya sendiri.
Jika darah tersebut keluar disebabkan oleh perbuatannya sendiri, umpamanya membunuh nyamuk yang ada pada bajunya atau menekan kudis atau jerawat sehingga mengeluarkan darah, maka darah tersebut tidak sebagai najis yang dimaafkan.
Darah atau nanah luka yang banyak juga termasuk najis yang dimaafkan dengan syarat, yaitu:-
·         Darah atau nanah tersebut merupakan darah/nanah dari diri sendiri
·         Darah atau nanah itu keluar bukan disebabkan perbuatannya
·         Darah atau nanah yang keluar itu tidak mengalir dari tempatnya, seperti darah yang banyak itu tidak mengalir dari lukanya.
3.             Darah ajnabi yaitu darah orang lain yang terkena pada badan, kain atau tempat shalat dengan kadar yang sedikit dengan syarat najis tersebut bukan dari najis mughallazhah iaitu dari anjing dan babi. Jika ia berasal dari keduanya atau salah satu dari keduanya, tidak dimaafkan walaupun hanya sedikit.
4.             Darah yang sedikit yang keluar dari hidung atau darah yang keluar dari bagian-bagian tubuh seperti mata, telinga dan yang lainnya, selain dari jalan tempat keluar najis seperti tempat keluar kotoran.
5.             Darah yang masih tinggal di tempat lukanya yang keluar hasil dari perbuatan mengeluarkan darah dengan tusukan atau berbekam, sekalipun banyak yang masih tinggal di tempat lukanya.
6.             Darah yang keluar dari gusi bila tercampur dengan air ludah sendiri. Sah shalat bagi orang yang gusinya berdarah sebelum dicucinya darah tersebut selagi dia tidak menelan air ludahnya ketika di dalam shalat.
7.             Tempat umum yang memang diyakini kenajisannya, dengan syarat najis tersebut tidak jelas di tempat itu dan dia telah pun berusaha untuk mengelak dari terkena tempat laluan tersebut seperti tidak membiarkan ujung kain terkena tanah tempat umum tersebut.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang mengutamakan kebersihan. Karena itu umat Islam diperintahkan untuk memelihara diri dari segala najis sehingga suci dari najis pada tubuh, pakaian dan tempat dijadikan sebagai salah satu syarat sah shalat. Walau bagaimanapun Islam juga adalah agama yang tidak membebankan umatnya dengan kesusahan.

B.          Kriteria halalnya bangkai dari binatang yang ada di laut
1.        Dalil Tentang Hewan Air
Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “al bahru al maa’“ adalah kumpulan air yang banyak. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai atau kolam.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».
“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2.        Apakah Hewan Air yang Ditemukan Mati Mengapung atau Terseret Hingga ke Pinggiran Halal?
Jika hewan air mati dengan sebab yang jelas, misalnya: karena ditangkap (dipancing), disembelih atau dimasukkan dalam kolam lalu mati, maka hukumnya adalah halal berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Jika hewan air mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan pendapat. Pendapat mayoritas ulama yaitu Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hewan semacam itu tidak halal.
Dalil dari pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا
Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12)
Juga dalil dari pendapat jumhur adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا . فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ { بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .
Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada beliau dan beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan air itu halal, baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di air, pen) atau mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sedangkan ulama Hanafiyah memakruhkan hal ini.”
Dalil lain tentang halalnya hewan air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR. Ibnu Majah no. 3314, shahih)
Intinya, pendapat jumhur ulama dinilai lebih kuat, yaitu meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu mengapung di air atau terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi halal. Namun jika hewan seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan dapat memberikan bahaya ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.
[Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh ‘Abdullah Al Ghodyan selaku anggota]
C.               Kondisi Air dan Permasalahannya
1.        Macam-macam Air
Ada beberapa macam air yang bisa digunakan untuk bersuci, mayoritas ulama menyebutkan ada 7 macam air yang boleh dan sah di gunakan untuk bersuci, yaitu:
a.              Air hujan
b.             Air Sungai
c.              Air Mata Air
d.              Air Laut
e.              Air Sumur
f.                     Air Embun
g.             Air Salju
Catatan:
Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya Hasiyah Al Bajuri menuturkan urutan beberapa air yang memiliki nilai lebih di bandingkan dengan air-air lain karena memiliki nilai historis :
a.              Air terbaik adalah air yang pernah keluar dari sela-sela jari Rasulullah di saat para sahabat kehausan.
b.             Air zam zam
c.              Air Telaga Al Kautsar
d.             Air Sungai Nil
e.              Air sungai Furat, Dajlah dan seluruh air sungai yang ada di dunia.

2.        Pembagian Air
Dalam hubungannya dengan bersuci, air di bagi menjadi empat macam :
a.    Air suci yang mensucikan dan boleh di gunakan.
Air ini di sebut air mutlaq, yaitu air yang tidak bercampur apapun, masih murni dan tidak ada benda atau zat lain yang merusak kemutlakannya.

  1. Air suci yang mensucikan dan makruh di gunakan.
Yaitu air yang sebenarnya suci secara zatnya, juga mensucikan dan sah jika di gunakan untuk bersuci, tetapi makruh di gunakan untuk bersuci. Air jenis ini di sebut dengan Air Musyammas, yaitu air yang di panaskan pada sinar matahari. Air ini makruh di gunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran, air yang telah di panaskan dengan sinar matahari bisa menyebabkan penyakit sopak. Akan tetapi, tidak semua air yang dipanaskan dengan sinar matahari makruh di gunakan, sebab ada syarat-syarat tertentu yang menyebabkannya makruh di gunakan, yaitu:
·                Air tersebut ketika dipanaskan berada pada tempat yang terbuat dari besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Jika terbuat dari kayu, plastic, tanah, kulit, emas dan perak, air tersebut tidak makruh digunakan.
·                Dipanaskan pada kondisi panas yang luar biasa
·                Tidak mudah mendingin kembali
·                Masih tersedia air yang lain selain air musyammas. Jika sama sekali tidak ada air lain selain air musyammas, maka boleh bahkan wajib menggunakan air musyammas untuk bersuci.
·                Di gunakan pada badan. Jika digunakan untuk mensucikan pakaian atau tempat, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat bahwa air musyammas tidak makruh digunakan, sebab menurut beliau, hadits yang menerangkan makruhnya air musyammas hukumnya lemah. Akan tetapi mayoritas mengatakan kemakruhannya.
Selain air musyammas, ada lagi air yang makruh di gunakan, yaitu:
1)        Air yang sangat panas, misalnya air yang baru saja di rebus. Air ini bisa dan boleh digunakan lagi serta tidak makruh lagi jika telah mendingin.
2)        Air yang sangat dingin, misalnya air yang tersimpan dalam kulkas dalam waktu lama. Air ini juga boleh di gunakan kembali dan tidak makruh setelah derajat kedinginannya kembali ke derajat normal.
                 
  1. Air suci tetapi tidak mensucikan.
Air ini terbagi menjadi dua :
·           Air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk mensucikan najis atau hadats. Hukumnya suci, tetapi tidak sah digunakan untuk bersuci lagi.
·           Air yang berubah dari wujud aslinya, yaitu air yang berubah karena bercampur dengan benda suci lainnya. Contoh mudah untuk air jenis ini adalah air kopi, air teh, air susu dan lain-lain. Air ini sesungguhnya suci, buktinya tidak ada yang tidak mau jika di suguhi kopi, pasti mau meminumnya. Artinya air ini sebenarnya suci, tetapi tidak bisa mensucikan benda lain.
d.      Air Najis, yaitu air yang bernajis meskipun sedikit.
Bagian ini di bagi dua :
·                Air yang sedikit. Air dikatakan sedikit jika ukurannya kurang dari dua kullah, jika air kurang dari dua kullah kemasukan najis, maka hukumnya menjadi najis walaupun tidak ada perubahan apapun karena kemasukan najis itu tadi. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
·                Air yang banyak. Air yang banyak adalah air yang mencukupi bahkan lebih dari dua kullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya suci jika tidak terjadi perubahan pada warna, rasanya dan baunya. Tetapi jika ada perubahan walaupun sedikit pada salah satu sifatnya, maka hukumnya menjadi najis. Air ini tetap boleh digunakan bersuci dengan catatan tidak ada perubahan apapun jika kemasukan najis. Misalnya si A mengencingi air sungai, jika air kencing tersebut tidak menyebabkan bau, rasa dan baunya air sungai berubah, maka hukumnya tetap suci.
Catatan:
1. Ukuran air dua kullah adalah :
·           174,580 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 55,9 cm ( Menurut Imam Nawawi ).
·           176,245 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang, lebar dan dalamnya adalah 56,19 cm ( Menurut Imam Rofii i ).
·           270 liter menurut kitab Fiqh Islamiyah.
2.   Air yang sedikit tidak menjadi najis jika kemasukan bangkai hewan yang tidak memiliki darah, seperti lalat, semut, lebah dan lain-lain.




KUIS 3

1.       Tulis Surah Al-Jumu’ah ayat 9, terjemahkan dan komentari

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Jumu’ah : 9)

[1] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.

Penjelasannya :

Setiap Muslim orang yang membenarkan dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya juga  kepada Islam yang haq, apabila telah diseru  untuk melaksanakan shalat Jum’at pada harinya yang telah diketahui, berupa adzan kedua setelah khatib duduk di atas mimbar, sehingga diharamkan menyibukkan diri dengan aktivitas keduniaan, maka hendakah kalian bersegera menunaikan kewajiban, yaitu mendengarkan dzikir mengingat Allah, yakni, khutbah, mendirikan shalat Jum’at di masjid jami: meninggalkan berbagai bentuk transaksi seperti sewa menyewa, perserikatan dan lain sebagainya.
Perjalanan untuk mengingat Allah dan meninggalkan jual beli itu lebih baik daripada jual beli itu sendiri dan tidak mengadakan perjalanan, sebab pada pelaksanaan ibadah tersebut terdapat pahala dan balasan yang baik, jika kalian adalah orang-orang yang mengetahui dan memahami apa yang bermanfaat bagi kalian. Jual beli disebutkan secara khusus, sebab ia adalah salah satu aktivitas terpenting yang menyibukkan manusia pada siang hari. Di dalamnya terdapat isyarat untuk meninggalkan semua bentuk perdagangan, pekerjaan dan aktivitas pada saat pelaksanaan khutbah dan shalat. Adapun adzan pertama, ia adalah peringatan agar bersiap-siap melaksanakan shalat dan bergegas mendatangi tempat pelaksanaannya karena khawatir kehilangan tujuan syar’i dari pensyariatan shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah.  
Sa’í (perjalanan, kesegeraan) di dalam ayat tersebut bukan berarti mempercepat jalan, sebagaimana sa’i antara Shafa dan Marwah, melainkan maksudnya adalah mendatangi shalat dengan tenang dan santun. Perjalanan mendatangi shalat ini disertai dengan niat, keinginan dan amal. Sedangkan dzikir, yaitu nasihat di dalam khutbah.
Jadi, pada intinya ketika akan mendekati waktu Shalat Jum’at untuk Umat Muslim laki-laki, maka segera menyiapkan diri supaya tidak terlambat dan tertinggal waktu untuk melaksanakan Shalat Jum’at secara berjama’ah. Karena Shalat Jum’at bagi kaum laki-laki hukumnya wajib untuk dikerjakan.
Dan kita pun diperintah untuk meninggalkan segala bentuk transaksi yang bersifat keduniawian, seperti: Jual beli, Sewa menyewa dan lain sebagainya, karena semua itu lebih baik di hadapan Allah. Janganlah kita terlena dengan keuntungan yang tidak seberapa dibanding dengan menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Tidak dapat dipungkiri, memang kitapun memerlukan kebutuhan duniawi, tapi diatas semua itu kita juga harus menyadari bahwa bekal kita di akhirat jauh lebih penting dan utama dibanding mencari kebutuhan dunia.
Selain itu, dengan menyegerakan dalam mengikuti pelaksanaan shalat Jum’at, meninggalkan sejenak keperluan dunia, melaksanakan perintah Allah, berdzikir kepada-Nya, serta tak lupa memeperbanyak Shalawat kepada Nabi Muhammad merupakan bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Dan sebagai bentuk penghambaan diri kita selaku makhluk ciptaan-Nya.


2.       Tulis Hadits tentang Hari Jum’at dan ketika Khatib naik mimbar, terjemahkan dan komentari
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُوْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ.
رُوِيَ عَنْ أَبِى هُـرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اِنَّ يَوْمَ الْجُمْعَةِ سَيِّدُ اْلأَيَّامِ، وَحِجُّ الْفُقَرَاءِ، وَعِيْدُ الْمَسَاكِيْنَ. اَلْخُطْبَتَانِ فِيْهَا مَقَامُ رَكْعَتِيْنِ مِنَ الْفَرْضِ. فَاِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَلاَ يَتَكَلَّمَنِّ اَحَدُكُمْ، وَمَنْ يَتَكَلَّمُ فَقَدْ لَغَا، وَمَنْ لَغَا فَلاَ جُمْعَةَ لَهُ.
أَنْصِتُوْا وَاَسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ...
أَنْصِتُوْا وَاَسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ...
اَنْصِتُوْا وَاَسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا جَمِيْعًا رَحِمَكُمُ اللهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ...

Wahai sekalian orang-orang Muslim dan segolongan orang-orang Mukmin, semoga Allah memberi rahmat kepada kalian.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Sesungguhnya Hari Jum’at itu adalah rajanya hari, dan hajinya orang-orang fakir dan orang-orang miskin, Khutbah (jum’at) merupakan pengganti 2 rakaat dari Shalat Fardhu (Dhuhur)
Maka disaat Khotib naik Mimbar, maka janganlah kalian berbicara seorangpun, dan barangsiapa yang berbicara maka terhapuslah (Ibadah Jum’atnya) dan barangsiapa yang terhapus (Ibadah Jum’atnya) maka tidak ada Jum’at baginya (sia-sia)
Perhatikanlah, dengarkanlah dan thaatlah kamu, semoga Allah memberi rahmat kepada kamu.
Perhatikanlah, dengarkanlah dan thaatlah kamu, semoga Allah memberi rahmat kepada kamu.
Perhatikanlah, dengarkanlah dan thaatlah kamu, semoga kamu sekalian diberi rahmat.
Penjelasannya:
Hari Jum'at di sebut juga Sayyidul Ayyam, maksudnya adalah hari Jum'at merupakan hari yang lebih utama di bandingkan dengan hari-hari yang lain. Sayyidul Ayyam bisa bermakna Tuan-nya hari, Ada 5 hal yang perlu di ketahui oleh umat Mu'min di antaranya adalah:
1.        Diciptakannya Nabi Adam ‘alaihi salam oleh Allah subhanahu wata’ala
2.        Diturunkannya Nabi Adam ‘alaihi salam ke Dunia karena melanggar memakan buat khuldi di Surga
3.        Wafatnya Nabi Adam ‘alaihi salam
4.        Awal kehancuran alam semesta(Kiamat)
5.        Terdapat waktu mustajabah untuk berdoa.

Dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Di hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam meninggal; di hari itu, tiupan sangkakala pertama dilaksanakan; di hari itu pula, tiupan kedua dilakukan”
(HR. Abu Daud no. 1047, An Nasai no. 1374, Ibnu Majah no. 1085 dan Ahmad 4: 8. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari Jum’at. Pada hari Jum’at Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke dalam surga dan pada hari Jum’at itu juga dia dikeluarkan dari Surga. Hari Kiamat tidaklah terjadi kecuali pada hari Jum’at” (HR. Muslim no. 854)

Beberapa faedah dari hadits di atas:
1.        Hadits di atas menyebutkan keistimewaan hari Jum’at dibanding hari-hari lainnya. Hari Jum’at adalah hari terbaik dalam sepekan. Sedangkan hari Arofah adalah hari terbaik dalam setahun.
2.        Dalam hadits di atas tidak semuanya menyebutkan keutamaan hari Jum’at. Mengenai keluarnya Adam dari surga dan terjadinya kiamat tidaklah teranggap sebagai keutamaan hari Jum’at namun menceritakan mengenai perkara besar yang nanti akan terjadi. Demikian penjelasan Al Qodhi ‘Iyadh.
3.        Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang hamba di hari Jum’at hendaklah mempersiapkan diri dengan berbagai amalan sholih supaya mendapatkan rahmat Allah dan tercegah dari murka Allah. Demikian juga penjelasan dari Al Qodhi ‘Iyadh.
4.        Hari kiamat disegerakan sebagai balasan bagi para nabi, shiddiqin, para wali Allah dan selainnya, juga untuk menampakkan karomah dan kemuliaan mereka.
Penjelasan lain:
Hadits yang menyebutkan bahwa jika melakukan shalat Jum’at, bagaikan ibadah haji bagi yang tidak mampu memang ada, akan tetapi hadits tersebut tidak shahih, bahkan maudhu (palsu). Lafadznya ialah: “Shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang fakir”. Pada lafadz yang lain disebutkan: “Shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang miskin”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Qudha’i dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz yang pertama, dan oleh al-Qudha’i juga dan Ibnu Zanjawaih dengan lafadz yang kedua. Hadits ini dimuat di dalam al-Jami’ush Shaghir no 2659.
Al-Munawi mengatakan di dalam Faidhul Qadir Syarh al-Jamiush Shaghir: “Hadits ini (juga) diriwayatkan oleh al-Harits bin Abi Usamah. Mereka semua meriwayatkannya melalui Isa bin Ibrahim al-Hasyimi, dari Muqatil, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas. Al-Iraqi mengatakan: “Sanad hadits ini dhaif”.
Syaikh al-Albani menjelaskan bahwa Muqatil ini (yakni bin Sulaiman) adalah seorang pendusta, dan perawi sebelumnya, yaitu Isa bin Ibrahim al-Hasyimi, seorang yang sangat dhaif. Imam al-Bukhari dan an-Nasa’i mengatakan tentangnya: “Haditsnya munkar”.
Hadits ini dimasukkan ke dalam hadits-hadits palsu oleh ash-Shaghani di dalam kitab al-Ahadits al-Maudhu’ah hal 7, juga dimasukkan ke dalam hadits-hadits palsu oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab al-Maudhu’at (3/8) dengan lafadz: “Ayam merupakan kambing bagi orang-orang fakir ummatku, dan shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang fakir ummatku”. (Lihat Silsilah ad-Dha’ifah 5/344-346 dan sebelumnya 5/313).
Hadits ini memang tersebar disebagian kalangan, tetapi berdasarkan keterangan para ulama ahli diatas, maka hadits diatas tidak dapat dijadikan sandaran. Wallahu a’lam. (Dikutip dari: majalah as-Sunnah, edisi 04 tahun XI 1428H/2007M, hal 8).





 

 

 





DAFTAR PUSTAKA
Kuis 1
·         http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-hukum-islam-syara-wajib-sunnah-makruh-mubah-haram.html (Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 18 Febuari 2016, Pukul 16.00)
Kuis 2
·         http://walpaperhd99.blogspot.co.id/2016/01/macam-macam-najis-benda-yang-tergolong.html (Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul 10.00)
·         http://www.islamituindah.my/najis-yang-dimaafkan-tidak-menjejaskan-shalat (Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul 10.00)
·         https://rumaysho.com/1045-meninjau-halalnya-hewan-air.html (Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul 10.00)
·         http://mellamela3.blog.com/macam-macam-air-yang-dipakai-bersuci/ (Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul 10.00)
Kuis 3
·          https://sepdhani.wordpress.com/2014/09/05/shalat-jumat-dan-aktivitas-kerja-sesudahnya-tafsir-surah-al-jumuah-ayat-9-11/ (Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul 9.00)
·         http://paxdhe-mboxdhe.blogspot.co.id/2014/03/teks-bacaan-bilal-jumat-saat-khatib.html (Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul 9.00)
·         http://masjidakmaliah.blogspot.co.id/2014/09/yaumul-jumah-di-sebut-sayyidul-ayyam.html (Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul 9.00)
·         https://alamanah1429.wordpress.com/2008/10/22/shalat-jumat-hajinya-orang-miskin/ (Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul 9.00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah tentang Ekonomi Islam

BAB    I PENDAHULUAN A.           Latar Belakang Islam merupakan agama yang kaffah , yang mengatur segala perilaku kehidupan ma...