Pembahasan Kuis
KUIS 1
Hukum-Hukum Dasar Islam
Dasar Hukum Islam ada 5:
1. Wajib
2. Sunnah
3. Halal dan Haram
4. Makruh
5. Mubah
Penjelasan:
1. Wajib
2. Sunnah
3. Halal dan Haram
4. Makruh
5. Mubah
Penjelasan:
1.
Wajib.
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala
namun jika ditinggalkan akan mendapat dosa seperti Shalat 5 waktu, Zakat
Fitrah, Tidak berpuasa di Bulan Ramadhan, dll.
Terbagi diantaranya :
Terbagi diantaranya :
·
Wajib Mu'ayin
(Mukhaddat) : hukum yang sudah jelas dan tentu aturan dan tata-caranya serta
seberapa besar kadarnya, misal : Shalat, Zakat, dll
·
Wajib Ghoiru Mukhaddat : hukum yang tidak
jelas tata caranya dan seberapa besar jumlah dan kadarnya, misal infaq,
sodaqah, dll
·
Wajib Mukhoyir : hukum yang harus
memilih dari beberapa pilihan dan jika sudah terpilih dan dilaksanakan maka
yang lain dianggap hilang.
·
Wajib Mudloyaq (Muaqqot) : hukum yang sudah
jelas syariatnya (hampir sama dengan Mu'ayin) hanya disini berdasarkan aturan
pelaksanaan, misal : jadwal Shalat, jadwal puasa.
·
Wajib Mutlak : hukum yang aturan
pelaksanaannya tidak ditentukan dengan pasti, tapi wajib dikerjakan seperti :
naik haji
·
Wajib Yunaqqis : hukum yang mengatur
aturan syariat bagi yang berhalangan melaksanakan kewajiban, misal wanita haid
yang wajib melaksanakan Shalat setelah haid berhenti secara langsung, misal Ashar
jam 3 dan Mahgrib jam 5.30, dan wanita haid berhenti jam 5, maka sisa 30 menit
adalah wajib Shalat (wajib Yunaqqis).
·
Wajib Muwasi : hukum yang mengatur
kelebihan waktu, tapi tetap harus dikerjakan dalam kurun waktu tersebut, misal
waktu Shalat Ashar 2,5 jam tepatnya jam 3 hingga 5.30, sedangkan lama Shalat
misalnya 20 menit, maka sisa 2,1 jam adalah wajib muwasi, dimana toleransi
waktu tersebut dikhususkan kepada kita yang sedang berhalangan tanpa disengaja.
·
Wajib Ain: hukum yang mengkhususkan
siapa yang melaksanakannya, sesuai syariat missal: Shalat Jum'at adalah wajib
buat kaum laki-laki, sunnah buat kaum perempuan.
·
Wajib Kifayah: hukum yang tidak mengkhususkan
siapa pelaksananya sesuai syariat dengan kata lain wajib dilaksanakan untuk
umum, misal memandikan jenazah, bila satu muslim mengerjakan maka yang lain
tidak wajib memandikan, namun bila tidak ada satu-pun yang memandikan, maka
semua penduduk menanggung dosa.
2.
Sunnah.
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala namun jika ditinggalkan akan mendapat apa-apa. seperti Shalat sunnah, puasa senin-kamis, infaq, dll.
Terbagi diantaranya :
·
Sunnah Hadyi : yaitu hukum sunnah
sebagai penyempurna Hukum wajib. Orang yang meninggalkannya tidak mendapat
apa-apa. contoh adzan, Shalat berjamah dan lain – lain.
·
Sunnah Zaidah : yaitu hukum sunnah yang
dikerjakan sebagai sifat terpuji bagi muslim, karena mengikuti Nabi sebagai
manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
·
Sunnah Nafal : yaitu hukum sunnah
sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan
yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. seperti Shalat sunnat.
·
Sunnah Muakad : yaitu hukum sunnah
yang dianggap mendekati hukum wajib, misal Shalat Tarawih, Shalat Idul Fitri, Shalat
Idul Adha, dll
3.
Haram.
Suatu hal yang apabila dikerjakan maka akan mendapatkan dosa dan apabila ditinggalkan / dijauhi akan mendapatkan pahala.
Suatu hal yang apabila dikerjakan maka akan mendapatkan dosa dan apabila ditinggalkan / dijauhi akan mendapatkan pahala.
Terbagi diantaranya :
·
Haram Mutlak : hukum yang mengatur apa
saja yang dilarang sesuai Al-Qur'an dan Hadits seperti Zina, Mencuri, Berjudi,
Makan makanan yang dilarang oleh agama.
·
Haram Ghoiru : hukum yang mengatur
apa saja yang dilarang dari asal atau akhir hal tersebut diperoleh. Misal :
amal dimasjid, tapi hasil mencuri, makan makanan halal tapi hasil dari korupsi,
atau amal baik yang dipamerkan (riya).
4.
Makruh.
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat tidak mendapat apa-apa namun jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Contoh : posisi makan minum berdiri, makan bawang, petai, jengkol, dll.
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat tidak mendapat apa-apa namun jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Contoh : posisi makan minum berdiri, makan bawang, petai, jengkol, dll.
5.
Mubah.
Sesuatu hal yang dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mendapat apa-apa, seperti kegiatan yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari misal: mandi, makan, minum, tidur, dll.
KUIS 2
A.
Jelaskan dan cari dari berbagai sumber tentang sekitar
najis!
1.
Macam-macam Najis
Para
ulama membagi najis ke dalam 3 macam, yaitu najis mukhaffafah, najis mughaladzah,
dan najis mutawassitah.
a.
Najis Mukhafafah
Najis
mukhafafah (najis yang hukumnya ringan) adalah najis
berupa air kencing bayi laki-laki yang belum makan atau minum, selain air susu
ibunya. Air kencing bayi perempuan hukumnya seperti air kencing dewasa walaupun
belum makan dan minum selain air susu ibunya. Karena jika perempuan kencing,
air kencing langsung keluar tanpa ada saringan terlebih dahulu. Sementara itu,
air kencing bayi laki-laki tidak langsung keluar semuanya, tetapi tersaring
pada quluf atau kulit ujung kemaluan laki-laki yang belum
dikhitan.
Cara
menyucikan
air kencing bayi laki-laki cukup dengan memercikan air pada bagian badan,
pakaian, atau benda-benda lainnya yang terkena air kencing tersebut tanpa
dibasahi seluruhnya. Jika air kencingnya bayi perempuan, harus dibasuh.
b.
Najis Mughaladzah
Najis
mughaladzah(najis
yang hukumnya berat) adalah najisnya anjing dan babi beserta anak dari
kedua jenis hewan itu dengan jenis hewan lain.Cara menyucikannya
ialah membasuh tujuh kali dan salah satu di antaranya dilakukan dengan
menggunakan tanah. Cara ini disebut ta’abud (ibadah),yaitu tidak boleh
ditukar-tukar dan diubah, misalnya mengganti campuran debu dengan sabun.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda:
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Cara menyucikan bejana salah seorang di antaramu bila dijilat anjing, yaitu membasuh (dengan air) sampai tujuh kali. Salah satu basuhan itu dicampur dengan debu” (H.R. Muslim)
Babi disamakan dengan anjing karena babi termasuk binatang yang keji, artinya binatang yang najis.
Firman Allah swt. :
“Atau (yang diharamkan juga), daging babi itu adalah binatang keji (najis)”. (Surah Al- An’am [6] : 145)
c.
Najis Mutawassitah
Najis mutawassitah (najis
yang hukumnya sedang) adalah najis selain dari najis mukhaffafah dan
mughaladzah. Najis mutawassitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu
najis mutawassitah ainiyyah dan mutawassitah hukmiyyah.
1)
Najis mutawassitah ainiyyah, yaitu najis yang tampak
dilihat oleh mata, seperti baul (air kencing) orang dewasa, gait (kotoran
manusia atau binatang), darah, nanah, dan muntah. Cara menyucikan
najis ainiyyah adalah dengan membasuh bagian yang terkena najis hingga
hilang dzat dan sifat dari najis tersebut. Akan tetapi apabila rasa,
warna, dan baunya susah untuk dihilangkan, boleh dibiarkan.
2)
Najis mutawassitah hukmiyyah, yaitu najis yang tidak
dapat terlihat oleh mata, tetapi yakin adanya najis itu, seperti air kencing
yang sudah kering. Cara mensucikannya cukup dengan menyiramkan
air sekali saja tanpa harus mencuci seluruhnya.
2.
Najis Yang Dimaafkan
Seseorang yang akan shalat hendaklah
terlebih dahulu memastikan dirinya, pakaiannya serta tempatnya dari najis. Jika
terdapat najis pada perkara-perkara yang disebutkan itu, maka baiknya
dibersihkan terlebih dahulu sehingga tempat yang terkena najis itu menjadi
suci. Salah satu dari syarat sah shalat itu ialah suci tubuh badan, pakaian dan
tempat shalat dari najis yang tidak dimaafkan. Firman Allah Subhanahu wa
Ta‘ala:
Tafsirnya: “Dan pakaianmu, maka hendaklah
engkau bersihkan!” (Surah al-Muddatstsir: 4)
Syarat suci dari najis ketika di
dalam shalat adalah juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah
Radhiallahu‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika
datang darah haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah berlalu haid itu
maka bersihkanlah (darah) dari dirimu dan kerjakanlah shalat.” (Hadits riwayat
Bukhari)
Dari ayat dan hadits di atas, jelas
bahwa tidak sah shalat seseorang yang terdapat najis pada badan, pakaian atau
tempat shalat. Namun jika sekiranya najis itu merupakan najis yang dimaafkan,
maka shalatnya adalah sah walaupun dia tidak menghilangkan najis dan menyucikan
tempat yang terkena najis itu terlebih dahulu.
Untuk memudahkan seseorang itu
melaksanakan ibadatnya, adalah perlu dia mengetahui apakah perkara yang
dikategorikan sebagai najis yang dimaafkan.
a.
Apakah Najis Yang Dimaafkan itu?
Menurut para ulama mazhab
asy-Syafi‘i, kaedah umum yang boleh dirujuk untuk mengenal pasti najis-najis
yang dimaafkan itu ialah suatu perkara yang susah dielakkan darinya.
Berikut adalah sebahagian contoh
najis-najis yang dimaafkan:
1.
Najis yang tidak nampak pada pandangan kasat mata, walaupun
iadari najis mughallazhah. Umpamanya darah yang terlalu sedikit atau air
kencing yang terpercik sama ada pada tubuh badan, pakaian atau tempat bershalat
yang tidak nampak oleh pandangan kasat mata
2.
Najis yang sedikit seperti darah nyamuk atau kutu yang tidak
mengalir. Begitu juga darah yang keluar dari kudis, bisul, jerawat kecil, luka
atau nanah pada badan seseorang, pakaian atau tempatnya bershalat yang bukan
disebabkan perbuatannya sendiri.
Jika darah tersebut keluar
disebabkan oleh perbuatannya sendiri, umpamanya membunuh nyamuk yang ada
pada bajunya atau menekan kudis atau jerawat sehingga mengeluarkan
darah, maka darah tersebut tidak sebagai najis yang dimaafkan.
Darah atau nanah luka yang banyak
juga termasuk najis yang dimaafkan dengan syarat, yaitu:-
·
Darah atau nanah tersebut merupakan darah/nanah dari diri
sendiri
·
Darah atau nanah itu keluar bukan disebabkan perbuatannya
·
Darah atau nanah yang keluar itu tidak mengalir dari
tempatnya, seperti darah yang banyak itu tidak mengalir dari lukanya.
3.
Darah ajnabi yaitu darah orang lain yang terkena pada badan,
kain atau tempat shalat dengan kadar yang sedikit dengan syarat najis tersebut
bukan dari najis mughallazhah iaitu dari anjing dan babi. Jika ia berasal dari
keduanya atau salah satu dari keduanya, tidak dimaafkan walaupun hanya sedikit.
4.
Darah yang sedikit yang keluar dari hidung atau darah yang
keluar dari bagian-bagian tubuh seperti mata, telinga dan yang lainnya, selain
dari jalan tempat keluar najis seperti tempat keluar kotoran.
5.
Darah yang masih tinggal di tempat lukanya yang keluar hasil
dari perbuatan mengeluarkan darah dengan tusukan atau berbekam, sekalipun
banyak yang masih tinggal di tempat lukanya.
6.
Darah yang keluar dari gusi bila tercampur dengan air ludah
sendiri. Sah shalat bagi orang yang gusinya berdarah sebelum dicucinya darah
tersebut selagi dia tidak menelan air ludahnya ketika di dalam shalat.
7.
Tempat umum yang memang diyakini kenajisannya, dengan syarat
najis tersebut tidak jelas di tempat itu dan dia telah pun berusaha untuk
mengelak dari terkena tempat laluan tersebut seperti tidak membiarkan ujung
kain terkena tanah tempat umum tersebut.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang
mengutamakan kebersihan. Karena itu umat Islam diperintahkan untuk memelihara
diri dari segala najis sehingga suci dari najis pada tubuh, pakaian dan tempat
dijadikan sebagai salah satu syarat sah shalat. Walau bagaimanapun Islam juga
adalah agama yang tidak membebankan umatnya dengan kesusahan.
B.
Kriteria halalnya bangkai dari
binatang yang ada di laut
1.
Dalil
Tentang Hewan Air
Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud dengan air di sini
bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “al
bahru al maa’“ adalah kumpulan air yang banyak. Asy Syaukani rahimahullah
mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air
yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai
atau kolam.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia mengatakan,
سَأَلَ
رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا
نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ
تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».
“Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya
membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan.
Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya
pun halal.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2.
Apakah Hewan Air yang Ditemukan Mati Mengapung atau Terseret
Hingga ke Pinggiran Halal?
Jika hewan air mati dengan sebab
yang jelas, misalnya: karena ditangkap (dipancing), disembelih atau dimasukkan
dalam kolam lalu mati, maka hukumnya adalah halal berdasarkan ijma’
(kesepakatan para ulama).
Jika hewan air mati tanpa sebab yang
jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya
ada perselisihan pendapat. Pendapat mayoritas ulama yaitu Imam Malik, Imam Asy
Syafi’i dan Imam Ahmad, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Sedangkan
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hewan semacam itu tidak halal.
Dalil dari pendapat jumhur
(mayoritas) ulama adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا
يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَذَا مِلْحٌ
أُجَاجٌ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا
“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar,
sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu
kamu dapat memakan daging yang segar.” (QS. Fathir: 12)
Juga dalil dari pendapat jumhur
adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
غَزَوْنَا
جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ ، فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا
فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا ، لَمْ نَرَ مِثْلَهُ ، يُقَالُ لَهُ
الْعَنْبَرُ ، فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ ، فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ
عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ . فَأَخْبَرَنِى أَبُو
الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ كُلُوا .
فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه
وسلم – فَقَالَ « كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ ، أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ
مَعَكُمْ » . فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ { بِعُضْوٍ } فَأَكَلَهُ .
“Kami pernah berperang bersama pasukan Khabath (pemakan
daun-daunan) yang pada waktu itu Abu Ubaidah diangkat sebagai pemimpin pasukan.
Lalu kami merasa lapar sekali. Tiba-tiba laut melemparkan ikan yang tidak
pernah aku lihat sebelumnya. Ikan itu disebut al Anbar. Kami makan dari ikan
itu selama setengah bulan. Kemudian Abu Ubaidah mengambil salah satu bagian
dari tulangnya dan dia pancangkan. Hingga seorang pengendara bisa lewat dibawah
tulang itu. Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwasanya dia mendengar Jabir
berkata; Abu ‘Ubaidah berkata; ‘Makanlah oleh kalian semua! Tatkala kami sampai
di Madinah, kami hal itu kami beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Maka beliau bersabda, “Makanlah, itu adalah rizki yang telah Allah
berikan. Jika masih tersisa, berilah kami!” Maka sebagiannya di bawakan kepada
beliau dan beliau pun memakannya.” (HR. Bukhari no. 4362)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
menjelaskan, “Dari hadits ini, jelaslah bahwa bangkai dari hewan air itu halal,
baik ia begitu saja (semisal ditemukan mengapung begitu saja di air, pen) atau
mati dengan diburu (ditangkap atau dipancing). Inilah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama. Sedangkan ulama Hanafiyah memakruhkan hal ini.”
Dalil lain tentang halalnya hewan
air yang mati tanpa sebab adalah hadits Ibnu ‘Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا
الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua
bangkai tersebut adalah ikan dan belalang.” (HR. Ibnu Majah no. 3314, shahih)
Intinya, pendapat jumhur ulama
dinilai lebih kuat, yaitu meskipun hewan air tersebut mati begitu saja lalu
mengapung di air atau terseret sehingga menepi ke daratan, tetap dihukumi
halal. Namun jika hewan seperti itu sudah lama mengapung dan dikhawatirkan
dapat memberikan bahaya ketika dikonsumsi, maka sudah seharusnya ditinggalkan.
[Yang menandatangani fatwa ini:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh Bakr Abu Zaid,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh ‘Abdullah Al
Ghodyan selaku anggota]
C.
Kondisi Air dan Permasalahannya
1.
Macam-macam Air
Ada beberapa macam air yang bisa
digunakan untuk bersuci, mayoritas ulama menyebutkan ada 7 macam air yang
boleh dan sah di gunakan untuk bersuci, yaitu:
a.
Air hujan
b.
Air Sungai
c.
Air Mata Air
d.
Air Laut
e.
Air Sumur
f.
Air Embun
g.
Air Salju
Catatan:
Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya Hasiyah Al Bajuri menuturkan urutan beberapa air yang memiliki nilai lebih di bandingkan dengan air-air lain karena memiliki nilai historis :
Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya Hasiyah Al Bajuri menuturkan urutan beberapa air yang memiliki nilai lebih di bandingkan dengan air-air lain karena memiliki nilai historis :
a.
Air terbaik adalah air yang pernah keluar dari sela-sela
jari Rasulullah di saat para sahabat kehausan.
b.
Air zam zam
c.
Air Telaga Al Kautsar
d.
Air Sungai Nil
e.
Air sungai Furat, Dajlah dan seluruh air sungai yang ada di
dunia.
2.
Pembagian Air
Dalam hubungannya dengan bersuci, air di bagi menjadi empat macam :
Dalam hubungannya dengan bersuci, air di bagi menjadi empat macam :
a.
Air suci yang mensucikan dan boleh
di gunakan.
Air
ini di sebut air mutlaq, yaitu air yang tidak bercampur apapun, masih murni dan
tidak ada benda atau zat lain yang merusak kemutlakannya.
- Air suci yang mensucikan dan makruh di gunakan.
Yaitu
air yang sebenarnya suci secara zatnya, juga mensucikan dan sah jika di gunakan
untuk bersuci, tetapi makruh di gunakan untuk bersuci. Air jenis ini di sebut
dengan Air Musyammas, yaitu air yang di panaskan pada sinar matahari. Air ini
makruh di gunakan karena berdasarkan ilmu kedokteran, air yang telah di
panaskan dengan sinar matahari bisa menyebabkan penyakit sopak. Akan tetapi,
tidak semua air yang dipanaskan dengan sinar matahari makruh di gunakan, sebab
ada syarat-syarat tertentu yang menyebabkannya makruh di gunakan, yaitu:
·
Air tersebut ketika dipanaskan berada pada tempat yang
terbuat dari besi, tembaga, timah dan sejenisnya. Jika terbuat dari kayu,
plastic, tanah, kulit, emas dan perak, air tersebut tidak makruh digunakan.
·
Dipanaskan pada kondisi panas yang luar biasa
·
Tidak mudah mendingin kembali
·
Masih tersedia air yang lain selain air musyammas. Jika sama
sekali tidak ada air lain selain air musyammas, maka boleh bahkan wajib
menggunakan air musyammas untuk bersuci.
·
Di gunakan pada badan. Jika digunakan untuk mensucikan
pakaian atau tempat, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat bahwa air
musyammas tidak makruh digunakan, sebab menurut beliau, hadits yang menerangkan
makruhnya air musyammas hukumnya lemah. Akan tetapi mayoritas mengatakan
kemakruhannya.
Selain air musyammas, ada lagi air yang makruh di gunakan, yaitu:
Selain air musyammas, ada lagi air yang makruh di gunakan, yaitu:
1)
Air yang sangat panas, misalnya air yang baru saja di rebus.
Air ini bisa dan boleh digunakan lagi serta tidak makruh lagi jika telah
mendingin.
2)
Air yang sangat dingin, misalnya air yang tersimpan dalam
kulkas dalam waktu lama. Air ini juga boleh di gunakan kembali dan tidak makruh
setelah derajat kedinginannya kembali ke derajat normal.
- Air suci tetapi tidak mensucikan.
Air ini terbagi menjadi dua :
·
Air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk
mensucikan najis atau hadats. Hukumnya suci, tetapi tidak sah digunakan untuk
bersuci lagi.
·
Air yang berubah dari wujud aslinya, yaitu air yang berubah
karena bercampur dengan benda suci lainnya. Contoh mudah untuk air jenis ini
adalah air kopi, air teh, air susu dan lain-lain. Air ini sesungguhnya suci,
buktinya tidak ada yang tidak mau jika di suguhi kopi, pasti mau meminumnya.
Artinya air ini sebenarnya suci, tetapi tidak bisa mensucikan benda lain.
d.
Air Najis, yaitu air yang bernajis
meskipun sedikit.
Bagian ini di bagi dua :
·
Air yang sedikit. Air dikatakan sedikit jika ukurannya
kurang dari dua kullah, jika air kurang dari dua kullah kemasukan najis, maka
hukumnya menjadi najis walaupun tidak ada perubahan apapun karena kemasukan
najis itu tadi. Air ini mutlak tidak boleh digunakan untuk bersuci.
·
Air yang banyak. Air yang banyak adalah air yang mencukupi
bahkan lebih dari dua kullah. Jika air ini kemasukan najis, maka hukumnya suci
jika tidak terjadi perubahan pada warna, rasanya dan baunya. Tetapi jika ada
perubahan walaupun sedikit pada salah satu sifatnya, maka hukumnya menjadi
najis. Air ini tetap boleh digunakan bersuci dengan catatan tidak ada perubahan
apapun jika kemasukan najis. Misalnya si A mengencingi air sungai, jika air
kencing tersebut tidak menyebabkan bau, rasa dan baunya air sungai berubah,
maka hukumnya tetap suci.
Catatan:
1. Ukuran air dua kullah adalah :
1. Ukuran air dua kullah adalah :
·
174,580 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang,
lebar dan dalamnya adalah 55,9 cm ( Menurut Imam Nawawi ).
·
176,245 liter atau berada pada tempat yang ukuran panjang,
lebar dan dalamnya adalah 56,19 cm ( Menurut Imam Rofii i ).
·
270 liter menurut kitab Fiqh Islamiyah.
2. Air yang sedikit tidak menjadi najis
jika kemasukan bangkai hewan yang tidak memiliki darah, seperti lalat, semut,
lebah dan lain-lain.
KUIS 3
1. Tulis Surah Al-Jumu’ah ayat 9, terjemahkan dan komentari
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Jumu’ah : 9)
[1] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Penjelasannya :
Setiap Muslim orang yang membenarkan
dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya juga kepada Islam yang haq,
apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat Jum’at pada harinya yang
telah diketahui, berupa adzan kedua setelah khatib duduk di atas mimbar,
sehingga diharamkan menyibukkan diri dengan aktivitas keduniaan, maka hendakah
kalian bersegera menunaikan kewajiban, yaitu mendengarkan dzikir mengingat
Allah, yakni, khutbah, mendirikan shalat Jum’at di masjid jami: meninggalkan
berbagai bentuk transaksi seperti sewa menyewa, perserikatan dan lain
sebagainya.
Perjalanan untuk mengingat Allah dan
meninggalkan jual beli itu lebih baik daripada jual beli itu sendiri dan tidak
mengadakan perjalanan, sebab pada pelaksanaan ibadah tersebut terdapat pahala
dan balasan yang baik, jika kalian adalah orang-orang yang mengetahui dan
memahami apa yang bermanfaat bagi kalian. Jual beli disebutkan secara khusus,
sebab ia adalah salah satu aktivitas terpenting yang menyibukkan manusia pada
siang hari. Di dalamnya terdapat isyarat untuk meninggalkan semua bentuk
perdagangan, pekerjaan dan aktivitas pada saat pelaksanaan khutbah dan shalat.
Adapun adzan pertama, ia adalah peringatan agar bersiap-siap melaksanakan
shalat dan bergegas mendatangi tempat pelaksanaannya karena khawatir kehilangan
tujuan syar’i dari pensyariatan shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah.
Sa’í (perjalanan, kesegeraan) di dalam
ayat tersebut bukan berarti mempercepat jalan, sebagaimana sa’i antara Shafa
dan Marwah, melainkan maksudnya adalah mendatangi shalat dengan tenang dan
santun. Perjalanan mendatangi shalat ini disertai dengan niat, keinginan dan
amal. Sedangkan dzikir, yaitu nasihat di dalam khutbah.
Jadi, pada intinya ketika akan
mendekati waktu Shalat Jum’at untuk Umat Muslim laki-laki, maka segera
menyiapkan diri supaya tidak terlambat dan tertinggal waktu untuk melaksanakan
Shalat Jum’at secara berjama’ah. Karena Shalat Jum’at bagi kaum laki-laki
hukumnya wajib untuk dikerjakan.
Dan kita pun diperintah untuk
meninggalkan segala bentuk transaksi yang bersifat keduniawian, seperti: Jual
beli, Sewa menyewa dan lain sebagainya, karena semua itu lebih baik di hadapan
Allah. Janganlah kita terlena dengan keuntungan yang tidak seberapa dibanding
dengan menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Tidak dapat
dipungkiri, memang kitapun memerlukan kebutuhan duniawi, tapi diatas semua itu
kita juga harus menyadari bahwa bekal kita di akhirat jauh lebih penting dan
utama dibanding mencari kebutuhan dunia.
Selain itu, dengan menyegerakan
dalam mengikuti pelaksanaan shalat Jum’at, meninggalkan sejenak keperluan
dunia, melaksanakan perintah Allah, berdzikir kepada-Nya, serta tak lupa
memeperbanyak Shalawat kepada Nabi Muhammad merupakan bentuk rasa syukur kita
kepada-Nya. Dan sebagai bentuk penghambaan diri kita selaku makhluk
ciptaan-Nya.
2.
Tulis Hadits tentang Hari Jum’at dan
ketika Khatib naik mimbar, terjemahkan dan komentari
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَزُمْرَةَ الْمُوْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ.
رُوِيَ عَنْ أَبِى هُـرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اِنَّ يَوْمَ الْجُمْعَةِ سَيِّدُ
اْلأَيَّامِ، وَحِجُّ الْفُقَرَاءِ، وَعِيْدُ الْمَسَاكِيْنَ. اَلْخُطْبَتَانِ
فِيْهَا مَقَامُ رَكْعَتِيْنِ مِنَ الْفَرْضِ. فَاِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ عَلَى
الْمِنْبَرِ، فَلاَ يَتَكَلَّمَنِّ اَحَدُكُمْ، وَمَنْ يَتَكَلَّمُ فَقَدْ لَغَا،
وَمَنْ لَغَا فَلاَ جُمْعَةَ لَهُ.
أَنْصِتُوْا وَاَسْمَعُوْا
وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ...
أَنْصِتُوْا وَاَسْمَعُوْا
وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ...
اَنْصِتُوْا وَاَسْمَعُوْا
وَاَطِيْعُوْا جَمِيْعًا رَحِمَكُمُ اللهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ...
Wahai
sekalian orang-orang Muslim dan segolongan orang-orang Mukmin, semoga Allah
memberi rahmat kepada kalian.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu
bahwa beliau berkata:
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Sesungguhnya Hari Jum’at itu adalah rajanya hari, dan hajinya orang-orang fakir
dan orang-orang miskin, Khutbah (jum’at) merupakan pengganti 2 rakaat dari
Shalat Fardhu (Dhuhur)
Maka
disaat Khotib naik Mimbar, maka janganlah kalian berbicara seorangpun, dan
barangsiapa yang berbicara maka terhapuslah (Ibadah Jum’atnya) dan barangsiapa
yang terhapus (Ibadah Jum’atnya) maka tidak ada Jum’at baginya (sia-sia)
Perhatikanlah,
dengarkanlah dan thaatlah kamu, semoga Allah memberi rahmat kepada kamu.
Perhatikanlah,
dengarkanlah dan thaatlah kamu, semoga Allah memberi rahmat kepada kamu.
Perhatikanlah,
dengarkanlah dan thaatlah kamu, semoga kamu sekalian diberi rahmat.
Penjelasannya:
Hari Jum'at di sebut juga Sayyidul
Ayyam, maksudnya adalah hari Jum'at merupakan hari yang lebih utama di
bandingkan dengan hari-hari yang lain. Sayyidul Ayyam bisa bermakna Tuan-nya
hari, Ada 5 hal yang perlu di ketahui oleh umat Mu'min di antaranya adalah:
1.
Diciptakannya Nabi Adam ‘alaihi
salam oleh Allah subhanahu wata’ala
2.
Diturunkannya Nabi Adam ‘alaihi
salam ke Dunia karena melanggar memakan buat khuldi di Surga
3.
Wafatnya Nabi Adam ‘alaihi salam
4.
Awal kehancuran alam semesta(Kiamat)
5.
Terdapat waktu mustajabah untuk
berdoa.
Dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama
adalah hari Jum’at. Di hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam meninggal;
di hari itu, tiupan sangkakala pertama dilaksanakan; di hari itu pula, tiupan
kedua dilakukan”
(HR. Abu Daud no. 1047, An Nasai no. 1374, Ibnu Majah
no. 1085 dan Ahmad 4: 8. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari
Jum’at. Pada hari Jum’at Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke dalam
surga dan pada hari Jum’at itu juga dia dikeluarkan dari Surga. Hari Kiamat
tidaklah terjadi kecuali pada hari Jum’at” (HR. Muslim no. 854)
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1.
Hadits di atas menyebutkan
keistimewaan hari Jum’at dibanding hari-hari lainnya. Hari Jum’at adalah hari
terbaik dalam sepekan. Sedangkan hari Arofah adalah hari terbaik dalam setahun.
2.
Dalam hadits di atas tidak semuanya
menyebutkan keutamaan hari Jum’at. Mengenai keluarnya Adam dari surga dan
terjadinya kiamat tidaklah teranggap sebagai keutamaan hari Jum’at namun
menceritakan mengenai perkara besar yang nanti akan terjadi. Demikian
penjelasan Al Qodhi ‘Iyadh.
3.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa
seorang hamba di hari Jum’at hendaklah mempersiapkan diri dengan berbagai
amalan sholih supaya mendapatkan rahmat Allah dan tercegah dari murka Allah.
Demikian juga penjelasan dari Al Qodhi ‘Iyadh.
4.
Hari kiamat disegerakan sebagai
balasan bagi para nabi, shiddiqin, para wali Allah dan selainnya, juga untuk
menampakkan karomah dan kemuliaan mereka.
Penjelasan
lain:
Hadits yang
menyebutkan bahwa jika melakukan shalat Jum’at, bagaikan ibadah haji bagi yang
tidak mampu memang ada, akan tetapi hadits tersebut tidak shahih, bahkan maudhu
(palsu). Lafadznya ialah: “Shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang fakir”.
Pada lafadz yang lain disebutkan: “Shalat Jum’at adalah hajinya orang-orang
miskin”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Qudha’i dan Ibnu ‘Asakir
dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz yang pertama, dan oleh al-Qudha’i juga dan Ibnu
Zanjawaih dengan lafadz yang kedua. Hadits ini dimuat di dalam al-Jami’ush
Shaghir no 2659.
Al-Munawi
mengatakan di dalam Faidhul Qadir Syarh al-Jamiush Shaghir: “Hadits ini (juga)
diriwayatkan oleh al-Harits bin Abi Usamah. Mereka semua meriwayatkannya
melalui Isa bin Ibrahim al-Hasyimi, dari Muqatil, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu
Abbas. Al-Iraqi mengatakan: “Sanad hadits ini dhaif”.
Syaikh
al-Albani menjelaskan bahwa Muqatil ini (yakni bin Sulaiman) adalah seorang
pendusta, dan perawi sebelumnya, yaitu Isa bin Ibrahim al-Hasyimi, seorang yang
sangat dhaif. Imam al-Bukhari dan an-Nasa’i mengatakan tentangnya: “Haditsnya
munkar”.
Hadits ini
dimasukkan ke dalam hadits-hadits palsu oleh ash-Shaghani di dalam kitab
al-Ahadits al-Maudhu’ah hal 7, juga dimasukkan ke dalam hadits-hadits palsu
oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab al-Maudhu’at (3/8) dengan lafadz: “Ayam
merupakan kambing bagi orang-orang fakir ummatku, dan shalat Jum’at adalah
hajinya orang-orang fakir ummatku”. (Lihat Silsilah ad-Dha’ifah 5/344-346 dan
sebelumnya 5/313).
Hadits ini
memang tersebar disebagian kalangan, tetapi berdasarkan keterangan para ulama
ahli diatas, maka hadits diatas tidak dapat dijadikan sandaran. Wallahu a’lam. (Dikutip dari: majalah
as-Sunnah, edisi 04 tahun XI 1428H/2007M, hal 8).
DAFTAR PUSTAKA
Kuis 1
·
http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-hukum-islam-syara-wajib-sunnah-makruh-mubah-haram.html
(Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 18 Febuari 2016, Pukul 16.00)
Kuis
2
·
http://walpaperhd99.blogspot.co.id/2016/01/macam-macam-najis-benda-yang-tergolong.html
(Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul 10.00)
·
http://www.islamituindah.my/najis-yang-dimaafkan-tidak-menjejaskan-shalat
(Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul
10.00)
·
https://rumaysho.com/1045-meninjau-halalnya-hewan-air.html
(Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul 10.00)
·
http://mellamela3.blog.com/macam-macam-air-yang-dipakai-bersuci/
(Dikutip sebagian pada Hari Kamis, 10 Maret 2016, Pukul
10.00)
Kuis
3
·
https://sepdhani.wordpress.com/2014/09/05/shalat-jumat-dan-aktivitas-kerja-sesudahnya-tafsir-surah-al-jumuah-ayat-9-11/
(Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul
9.00)
·
http://paxdhe-mboxdhe.blogspot.co.id/2014/03/teks-bacaan-bilal-jumat-saat-khatib.html
(Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul 9.00)
·
http://masjidakmaliah.blogspot.co.id/2014/09/yaumul-jumah-di-sebut-sayyidul-ayyam.html
(Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul 9.00)
·
https://alamanah1429.wordpress.com/2008/10/22/shalat-jumat-hajinya-orang-miskin/
(Dikutip sebagian pada Hari Jum’at, 8 April 2016, Pukul
9.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar