BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih Muamalah merupakan segenap
peraturan hukum Islam mengenai perilaku manusia di dunia yang berkaitan dengan
harta. Fiqih muamalah mencakup masalah transaksi komersial seperti pinjam
meminjam, sewa menyewa dan lain sebagainya. Jadi fiqih muamalah berarti
serangakaian aturan hukum Islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar
manusia yang berkaitan dengan harta. Aturan yang mengikat dan mengatur para
pihak yang melaksanakan muamalah tertentu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada
saat ini aktivitas ekonomi sebagai salah satu aspek terpenting dalam kehidupan
manusia berkembang cukup dinamis dan begitu cepat.[1]
Namun, realitas sekarang konsep
muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari
luar Islam. Tidak bisa dipungkiri ada pihak yang dalam menjalankan tujuannya
mencari keuntungan semata.
Di sinilah bertapa pentingnya
pembahasan tentang Pinjam-meminjam, Sewa-menyewa, dan yang lainnya seperti
Upah, Hiwalah, Luqotoh, Riba, Mokhobaroh dan Muzaro’ah untuk diketahui umat Islam.
Agar nantinya pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan syariat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hakekat pinjam-meminjam, sewa-menyewa, upah,
hiwalah, luqotoh, mukhobaroh dan muzaro’ah dalam Islam?
C.
Tujuan penulisan
1.
Mengetahui hakekat pinjam-meminjam, sewa-menyewa, upah,
hiwalah, luqotoh, mukhobaroh dan muzaro’ah dalam Islam, termasuk pengertian,
dasar hukum, adab, syarat, rukun dan yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pinjam Meminjam (‘Ariyah)
1.
Pengertian Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain
mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak
merusak zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap
tidak rusak zatnya. Pinjam meminjam itu boleh, baik dengan secara mutlak
artinya tidak dibatasi dengan waktu, atau dibatasi oleh waktu.[2]
Pinjam meminjam adalah akad berupa suatu benda halal dari
seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau
merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya.[3]
2.
Dasar Hukum Pinjam Meminjam
Islam sangat menganjurkan untuk saling membantu dalam
kebaikan. Diantaranya dengan saling meminjam sesuatu yang bermanfaat dan sangat
diperlukan. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
#qçRur$yès?ur.... ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur ....4
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...[4]
Pinjam meminjam wajib dikembalikan kepada yang meminjamkan
sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
“Dari Abi Umama Ra. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ia berkata pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang yang menjamin
dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar.” (HR. Turmudzi dan Abu
Dawud)[5]
3.
Hukum Pinjam Meminjam
a. Meminjamkan sesuatu hukumnya sunnah
malah tekadang menjadi wajib dan kadang-kadang haram meminjamkannya
b. Orang yang meminjamkan sewaktu-waktu
boleh meminta kembali barang yang dipinjamkanya
c. Sesudah yang meminjam mengetahui,
bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akadnya, dia tidak boleh memakai barang
yang dipinjamnya
d. Pinjam-meminjam sudah tidak berlaku
(batal) dengan matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam atau yang
meminjamkannya.[6]
4.
Syarat Pinjam Meminjam
a. Syarat orang yang meminjam dan yang
meminjamkan ialah baligh, berakal dan melakukannya dengan kemauannya.
b. Manfaat barang yang dipinjamkan
harus merupakan milik orang yang meminjamkan. Oleh karena itu orang yang meminjam
sesuatu barang tidak boleh meminjamkan barang itu kepada orang lain.
c. Orang yang meminjam suatu barang
hanya dibolehkan mengambil manfaatnya menurut apa yang diijinkan oleh orang
yang memnjamkan.
d. Mengembalikan barang pinjaman jika
dibutuhkan biaya maka biayanya atas tanggungan peminjam.
e. Pinjaman yang dibatasi waktunya
setelah habis waktunya, si peminjam wajib segera mengembalikannya. Pengambilan
manfaat setelah lewat batas waktu yang ditentukan adalah diluar ikatan pinjam
meminjam. Hilang atau rusaknya barang dipinjamkan penuh atas tanggungan yang
meminjamkan.
5.
Hikmah Pinjam Meminjam
Hikmahnya dapat mencukupi keperluan seseorang terhadap
manfaat sesuatu barang yang tidak ia miliki.[7]
B.
Sewa Menyewa (Al-Ijarah)
1.
Pengertian Sewa Menyewa
Menurut bahasa, ijarah berarti “upah” atau “ganti”
atau “imbalan”. Dalam arti luas, ijarah bermakan suatu akad yang berisi
penukaran manfaat dengan suatu jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentuu.
Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu dengan jalan memberikan
imbalan dalam jumlah tertentu. Dengan istilah lain dapat pula disebutkan bahwa ijarah
adalah salah satu akad yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan
penggantian.[8]
Menurut pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah)
adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.[9]
2.
Dasar Hukum Sewa Menyewa
Ulama bersepakat bahwa ijarah diperbolehkan. Ulama
memperbolehkan ijarah berdasarkan legitimasi dari al-Qur’an, As-Sunnah, dan
ijma’. Legitimasi dari Al-Qur’an tercantum dalam Q.S Al-Baqarah: 233
÷bÎ)ur öN›?Šu‘r& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ öä.y‰»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ öä3ø‹n=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y™ !$¨B Läêø‹s?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt ÇËÌÌÈ
“Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Sementara legalitas dari As-Sunnah, salah satunya berasal
dari hadits riwayat dari Abdullah bin Umar, yang artinya:
“Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: berikanlah upah orang yang bekerja sebelum keringatnya
kering.”
Selain legalitas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijarah
diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama atau ijma’. Ijarah juga
dilaksanakan berdasarkan Qiyas. Ijarah diqiyasakan dengan jual beli, dimana
keduanya sama-sama ada unsur jual beli, hanya saja yang menjadi obyek jual beli
adalah manfaat barang.[10]
3.
Rukun dan Syarat Sewa Menyewa
Menurut golongan Syafi’iyah, Malikiah, dan Hanabilah bahwa
rukun ijarah terdiri atas muajjir (pihak yang memberikan ijarah), musta’jir
(orang yang membayar ijarah), al-ma’qud ‘alaih (kedua belah pihak mengetahui
apa yang disewakan), dan sighot
Adapun syarat pelaksanaan ijarah menurut Golongan
Syafi’iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad mestilah
orang yang sudah dewasa dan tidak cukup hanya mumayiz saja.[11] Akad ijarah dapat terlaksana bila
ada kepemilikan dan penguasaan, karena tidak sah akad ijarah terhadap barang
milik atau sedang dalam penguasaan orang lain.[12]
C.
Upah
1.
Pengertian Upah
Upah
adalah memberikan sesuatu baik berupa uang atau barang kepada seseorang sebagai
ganti atas jasa mengerjakan pekerjaan tertentu dengan batas waktu tertentu
sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2.
Hukum Memberi Upah
Firman
Allah subhanahu wata’ala :
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
...kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,...
(Q.S. Ath-Thalaaq : 6)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mewajibkan setiap umat Islam untuk memberikan upah kepada siapa saja telah
memberikan jasa atau manfaatkan kepada kita. Sebaliknya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam
orang-orang yang telah memanfaatkan tenaga dan jasa seseorang, tapi tidak mau
memberi upahnya dengan memasukkan mereka kedalam salah satu golongan yang akan
menjadi musuh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
Dari
ayat di atas Allah memerintahkan kepada kita untuk memberika upah kepada
orang-orang yang telah selesai melakukan tugas yang kita bebankan kepada
mereka. Kecuali jika pemilik jasa atau pekerja tersebut mengerjakan
pekerjaannya dengan suka rela tanpa minta imbalan apapun.
3.
Syarat-Syarat Upah
Syarat-syarat
tersebut antara lain sebagai berikut:
a.
Jelasnya pekerjaan yang harus dikerjakan.
b.
Pekerjaannya tidak melanggar ajaran Islam.
c.
Jelasnya upah atau imbalan yang akan diterima oleh pihak
kedua.
4.
Rukun Upah
Akad
atau transaksi upah adalah alat yang terjadi antara dua belah pihak dengan
didukung faktor-faktor yang lain, jika salah satunya tidak ada maka transaksi
tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai transaksi upah. Dalam Islam, semua
komponen tersebut disebut dengan rukun.
Rukun-rukun
dalam transaksi upah adalah sebagai berikut:
a.
Adanya orang yang membutuhkan jasa.
b.
Adanya pekerja.
c.
Adanya jenis pekerjaan yang harus dikerjakan.
d.
Adanya upah.
5.
Tata Cara / Adab Dalam Upah
Tata
cara transaksi upah menurut Islam:
a.
Bagi pengguna jasa/majikan
Bagi
pengguna jasa harus berperilaku yang baik dan santun kepada pekerja yang telah
berjasa kepadanya karena tanpa bantuan mereka barang kali pekerjaan tidak akan
selesai untuk itulah kita harus menaati perintah Allah dan Rasul-Nya seperti
sebagai berikut:
1)
Tidak boleh mengurangi upah yang telah disepakati
2)
Ketika memberi upah hendaknya dengan sikap yang santun dan
mengucapkan terima kasih
3)
Tidak boleh memperlambat dalam pemberian upah tapi harus
sesegera mungkin
4)
Tidak boleh menipu upah dengan mencari-cari kesalahan
pekerja
b.
Bagi buruh atau pegawai
Seorang
pegawai atau buruh pada hakekatnya adalah seseorang yang sedang mendapatkan
kepercayaan atau amanat oleh sebab itu ia berkewajiban untuk mengerjakan
tugas-tugasnya dengan baik dan benar.[13]
D.
Hiwalah
1.
Pengertian Hiwalah
Hiwalah
adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang
lain.
2.
Hukum hiwalah
Dasar
dibolehkannya transaksi hiwalah adalah hadis di bawah ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang
yang mampu membayar utang apabila salah seorang dari kamu memindahkan utangnya
kepada orang lain hendaklah diterima pemindahan-pemindahan itu. “ (H.R. Ahmad Baihaki).
3.
Rukun Hiwalah
a.
Adanya muhil (orang yang memiliki hutang)
b.
Adanya muhal (orang memberi hutang)
c.
Adanya muhal alaih (orang yang diseragi hutang)
d.
Adanya utang muhil kepada muhal
e.
Adanya utang muhal alaih kepada muhil
f.
Adanya sighot (lafal yang diucapkan dalam transaksi).
4.
Syarat Hiwalah
Syarat hiwalah antar lain sebagai
berikut:
a. Kerelaan antara muhil dan muhal
b. Persamaan besar utang antara muhil
kepada muhal dan utang muhal alaih kepada muhil
c. Kesamaan jenis pembayaran utang.
E.
Luqathah
1.
Pengertian Luqathah
Luqathah
menurut bahasa artinya barang temuan. Sedangkan menurut istilah syar’i luqathah
ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui pemilik barang
tersebut
2.
Hukum Laqathah
a.
Wajib (mengambil barang itu)
Jika
seseorang menemukan barang yang tidak diketahui pemiliknya ia berkewajiban
mengambil barang tersebut jika ia mempunyai keyakinan, seandainya tidak
diambil, maka barang itu akan hilang dan sia-sia. Maksudnya hilang atau sia-sia
adalah, jika barang itu ditemukan oleh orang lain ia yakin barang itu akan
hilang dengan percuma dan orang yang menemukannya tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Dalam kondisi seperti itu, jika ia yakin bahwa dirinya
yakin bisa amanah dan menjalankan kewajiban yang berkenaan dengan barang
tersebut maka hukumnya adalah wajib mengambil barang tersebut.
b. Sunah
Jika
seseorang menemukan barang dan ia merasa sanggup memeliharanya dan sanggup
mengumumkannya kepada masyarakat selama satu tahun maka disunahkan baginya
untuk mengambil barang tersebut.
c. Makruh
Jika
seseorang menemukan barang dan ia tidak yakin bahwa dirinya mampu menjalankan
amanah barang temuan dan khawatir ia akan khianat terhadap barang itu di
kemudian hari maka baginya makruh untuk mengambil
3.
Rukun Laqathah
Rukun laqathah diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Orang yang mengambil barang tersebut
b. Adanya barang yang didapat atau
ditemukan
4.
Macam-Macam Luqathah
Terdapat
macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan
itu adalah sebagai berikut:
a. Benda-benda tahan lama yaitu
benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu
yang lama contoh: emas, perak, pisau, gergaji, dan lain-lain
b. Benda-benda yang tidak tahan lama
contoh: makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya
d. Benda-benda yang memerlukan
perawatan seperti padi
e. Benda-benda yang memerlukan
perawatan seperti binatang ternak.
F.
Riba
1.
Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa
pengertian, yaitu:
a.
Bertambah, karena salah satu
perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b.
Berkembang, berbunga, karena
salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain.
Riba menurut
istilah adalah pertambahan atau kelebihan dalam tukar menukar satu jenis barang
yang dapat memberatkan satu pihak.
2.
Macam-Macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan
menjadi tiga: Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba An-nasi’ah, riba
Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya:
a.
Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan
yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis
dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram
emas, maupun perak dengan perak.[15]
Hal ini sesuai dengan hadist Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai berikut:
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan
emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang
siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
b. Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad
jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang
membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan
berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak.
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan
kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
c. Riba An-Nasi’ah
Riba
Nasi’ah, adalah
tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang
sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A
meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu
mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan
utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau
menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk
membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan.
Mengenai hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menegaskan
bahwa:
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
d. Riba Qardhi
Riba
Qardhi adalah riba
yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan
syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang.
Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta)
kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu
rupiah).
Terhadap bentuk
transaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (H. R. Baihaqi).
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (H. R. Baihaqi).
3.
Dasar-Dasar Hukum Riba
Al-Qur’an menyinggung keharaman riba secara kronologis diberbagai tempat.
Pada periode Mekkah turun firman Allah subhanahu
wata’ala. Dalam surat Ar-Ruum
ayat 39:[16]
!!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9
þÎû
ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt
yYÏã «!$# (
!$tBur
OçF÷s?#uä `ÏiB
;o4qx.y
crßÌè? tmô_ur
«!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Pada periode
Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas tentang keharaman riba,
terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130.[17]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä
w
(#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr&
Zpxÿyè»ÒB (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dua ayat
terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang
mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak
memperbolehkan pengembalian utang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada
tambahan.
Dalam hadist
lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang
membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim:
لَعَنَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang memakan riba, yang memberi makan
riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua
sama”. (HR Muslim).
G.
Muzara’ah
1.
Pengertian Muzara’ah
Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara
pemilik tanah dengan petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.[18] Menurut
Muhammad Syafi’i Antonio, muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
bagian tertentu ( presentasi ) dari hasil panen. Dalam kebiasaan di Indonesia
disebut sebagai “paron sawah“
2.
Dasar Hukum
Muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah
terjadi perbedaan pendapat para ulama, Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui
keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Menurut Asy-Syafi’iyah, haram
hukumnya melakukan muzara’ah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Muslimah dari Tsabit Ibn al-Dhahak :[19]
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
bermuzara’ah dan memerintahkan sewa-menyewa saja dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘itu tidak
mengapa’
“ (HR. Muslim)
Menurut mereka, objek akad dalam
al-muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan
untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas
(al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula
belum jelas.
Dalam sebuah hadits lain ada yang
membolehkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, tidak
mengharamkan bermuzara’ah bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, ‘barang siapa
yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya
kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.’ ”
Jumhur ulama membolehkan akad al-muzara’ah, tetapi harus mengemukakan rukun dan syarat harus dipenuhi
sehingga akad dianggap sah.
3.
Rukun dan Syarat Muzara’ah
1)
Pemilik tanah
2)
Petani penggarap
3)
Objek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan
hasil kerja petani
4)
Ijab
5)
Qabul
1)
Menyangkut orang yang berakad
Untuk menyangkut
orang yang berakad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh dan
berakal.
2)
Menyangkut benih yang akan ditanam
Untuk
menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan tanah
itu dan akan menghasilkan.
3)
Untuk menyangkut tanah pertanian
Menurut adat
dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tanah
itu adalah tanah tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah
pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah. Batas-batas tanah itu jelas, tanah
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap, dan apabila pemillik tanah
ikut mengelola pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.
4)
Untuk menyangkut hasil panen
Pembagian hasil
panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar milik bersama
orang yang berakad,
tanpa boleh ada
pengkhususan. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau
seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak menimbulkan perselisihan
dikemudian hari dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara
mutlak, seperti : satu kuintal untuk pekerja atau satu karung, karena
kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh
melampaui jumlah itu
5)
Untuk menyangkut jangka waktu
Syarat untuk
menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula
6)
Untuk menyangkut objek akad
Untuk objek
akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah mensyaratkan juga harus jelas,
baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari
pemilik tanah.
4.
Hikmah Muzara’ah
a.
Saling tolong menolong (ta’awun), dimana antara pemilik
tanah dengan petani penggarap saling menguntungkan
b. Tidak terjadi
adanya kemubaziran, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang
membutuhkan, begitupun pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya
tergarap.
c. Menimbulkan
rasa keadilan dan keseimbangan.
H.
Mukhabaroh
1.
Pengertian Mukhabaroh
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan.
Mukhabaroh seringkali diidentikkan dangan Muzara’ah. Persamaan antara keduanya yaitu dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah
dan mukhabarah adalah sama-sama pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap
pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Adapun perbedaan nya adalah:
Muzara’ah : Benih dari pemilik lahan
Mukhabarah : Benih dari penggarap[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pinjam meminjam adalah akad berupa suatu benda halal dari
seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau
merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya
2.
Menurut pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah)
adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
3.
Upah adalah memberikan sesuatu baik berupa uang atau barang
kepada seseorang sebagai ganti atas jasa mengerjakan pekerjaan tertentu dengan
batas waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
4.
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang
kepada tanggungan orang lain.
5.
Luqathah ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan
tidak diketahui pemilik barang tersebut
6.
Riba menurut istilah adalah pertambahan atau kelebihan dalam
tukar menukar satu jenis barang yang dapat memberatkan satu pihak.
7.
Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara
pemilik tanah dengan petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah
8.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Falah. 2009 Materi Fiqih MTs-MA STAIN Kudus, Kudus,
Al Qalami, Abu Fajar dan Al Banjary, Abdul Wahid, Tuntunan jalan lurus
dan benar, (tanpa kota dan tahun terbit: Gita media Press)
Azim, Abdul Aziz Muhammad, 2010. Prof. Dr, Fiqh Muamalat,
Jakarta: Amzah
Chairuman
Pasaribu, 1994. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta
Ghazaly, Abdul Rahman,Prof. Dr.,
H.,MA.,dkk., 2010.
Fiqh Muamalat. Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
Rasjid, Sulaiman, 2012. H. Fiqih
Islam (Hukum Fiqih Islam), Bandung: PT. Penerbit Sinar Baru Algensindo,
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah.
Jakarta. Gaya Media Pratama.
Hasan, M.
Ali, 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grapindo,
Helmi
Karim, 1997. Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Imam Musthofa,
2014. Fiqih Muamalah Kotemporer, KAUKABA, Yogjakarta
Khabib
Bashori, 2007. Muamalat, Pustaka Insan Madani, Yogjakarta
Moh
Rifa’i, 1978. Ilmu Islam Fiqih Lengkap, PT Karya Toha Putra , Semarang
Musthofa
Diib Al-Bugha, 2010. Fiqih Islam Lengkap, Media Zikir, Solo
Rasyid, H.
Sulaiman, 2005. Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo
Sahrani Sohari, Abdullah Ru’fah. 2011. Fikih
Muamalah. Bogor. Ghalia Indonesia.
Sudarko, 2007.
Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas IX, Semarang: CV. Aneka Ilmu
Sudarsono,
1993. Pokok-Pokok Hukum Islam, PT Rineka Cipta, Jakarta,
Suhendi,
H. Hendi, 2002. Fiqh Muamalah,
Jakarta: PT Raja Grapindo
Suhendi, Hendi, M.si., Dr., H.. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Situs Web:
·
http://aufamaudy0408.blogspot.co.id/2011/12/gadai-upah-hiwalah-luqathah-dan-utang.html
(Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)
·
http://fitrianahadi.blogspot.co.id/2015/12/makalah-pinjam-meminjam-sewa-dan-gadai.html
(Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016. Pukul 9.00 WIB)
·
http://islahilwathon.blogspot.co.id/2014/06/makalah-fiqih-muamalah-tentang-riba_7.html
(Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016.
Pukul 9.00 WIB)
·
http://inimakalahku.blogspot.co.id/2014/12/muzaraah_2.html
(Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016.
Pukul 9.00 WIB)
·
http://suciindahpratiwi26.blogspot.co.id/2014/03/tugas.html
(Dikutip sebagian pada Jum’at, 23 September 2016.
Pukul 9.00 WIB)
[1] Imam Musthofa, Fiqih
Muamalah Kotemporer, KAUKABA, Yogjakarta, 2014, hlm 5-6
[15] Prof.Dr.H.Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana
Prenada Media Group,2010).hlm. 220
[16] Ibid, hlm. 220
[17] Ibid, hlm. 221
[20] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 )
278
[21] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 )
279
[23] Muhamad syafi’i antonio, bank syari’ah,(jakarta, gema insani
2001).hlm.99.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar