BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berakhirnya
kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika
memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk
pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan turun temurun,
hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk musyawarah dalam menentukan
pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah Khulafaur Rasyidin. Dinasti Umayyah
merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan.
Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap
khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan
perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan
baginya.[1]
Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok
yang membangkang dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk
kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan
kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai
beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun
dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan
kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H.
Meskipun
begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan
peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam
perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana berdirinya Dinasti Bani Umayyah?
2.
Bagaimana pola pemerintahan Dinasti Bani Umayyah?
3.
Bagaimana masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz?
4.
Bagaimana ekspansi wilayah Dinasti Bani Umayyah?
5.
Bagaimana Peradaban Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui penyebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah
2.
Mengetahui pola pemerintahan pada masa Bani Umayyah
3.
Mengetahui masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz
4.
Mengetahui ekspansi wilayah Dinasti Bani Umayyah
5.
Mengetahui sejauh mana Peradaban Islam pada masa Bani
Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.
Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan
di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk
para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat
Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan
masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan
kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18
Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan
sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[2] ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi
Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa
Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam
suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam
untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah
Utsman yang berlumur darah.
Penolakan
Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan
konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada
pertempuran di Shiffin dan dikenal
dengan perang Shiffin, Pertempuran
ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari
Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Eufrat yang kini
terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M [3].
Muawiyah
mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali
berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra[4] dan
Mesir.
Permohonan
atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga
datang dari istri Nabi Muhammad Shallallahi ‘Alaihi Wasallam, yaitu Aisyah
binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan
politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap
sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan
situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali
bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat
dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa
khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan
politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut.
Tuduhan
ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina
Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan
dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah
mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan
pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada
peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat
khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah
yang dihadapi khalifah.
Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para
gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah.
Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap
masyarakat Mesir. Ketidakpuasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di
ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya
seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi
perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu
Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga
sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya
utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin
Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir
melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin
Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat
dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan
segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks,
sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat
itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah
khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada
beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin
Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta
masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan
pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
2.
Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya
khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena
terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah,
oleh kelompok khawarij[5]
yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses
penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah
setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk
ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah
Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi
Thalib.
Pengangkatan
Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak
mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya.
Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri
sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam.
Namun
Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius
untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat.
Hal ini dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak
melakukan bai’at terhadap Hasan Bin Ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan
politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah
bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok
Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal
tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam
Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu
Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi
situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan
pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah
Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam
perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan
kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antara lain:
a.
Muawiyah menyerahkan harat Baitul Mal kepadanya untuk
melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
b.
Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap
khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
c.
Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari
Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
d.
Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan
(kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan
kembali pemimpin umat Islam.
e.
Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk
Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali
bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk
memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang sahabatnya bernama
Abdullah bin Al-Harits bin Naufal untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada
Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua
syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti
Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah
kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang
dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah
salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonik dan bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan
kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama,
Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses
penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu
tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan
demikian, ia menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan
bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun
Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah,
usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya jabatan
tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan
demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang
mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja
Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun
temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah
yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang
menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah ibukota Negara
dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa sebagai
gubernur sebelumnya.[6]
Namun
perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh
Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak
melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika Yazid naik
tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan
syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka
Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala,
sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati
terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur
di Karbala.[7]
B.
Pola Pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan
cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada
ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan
membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya,
dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[8]
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban
besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di
tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh Muslim
lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi
kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41
H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada
masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah
bermaksud mencontoh Monarchi di
Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut[9]. Dia
menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh
Allah.[10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan
perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan
menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra
mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazid bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk
Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak.
Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar
terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang
pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk
mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian
memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan
sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitul Mal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitul Mal
berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki
hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah
bin Abi Sufyan, Baitul Mal beralih
kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani
Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14
khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1.
Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.
Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.
Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.
Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.
Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.
Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.
Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.
Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.
Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.
Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.
Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.
Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[11]
C.
Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul
Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra
saudara Sulaiman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima
khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemuliaannya. Ia diangkat menjadi
khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia merupakan seorang yang kaya raya dan
hidup dalam kemegahan namun tetap menjadi seorang raja yang sangat sederhana,
adil dan jujur.[12]
Karena kesholihannya, ia disebut sebagai pembaharu Islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif
singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan.
Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk
kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja
dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif,
membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga
melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada
lagi kemiskinan.[13]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada
perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi Islam tidak harus dilakukan
dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya.
Umar mangkat dari jabatannya pada
tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan
bijaksana terhadap semua golongan dan agama.
D.
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan
dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.[14]
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko
dapat ditaklukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat
yang memisahkan antara Maroko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat
yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian
Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibukota Spanyol, Kordova, dengan
cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang
dijadikan ibukota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[15].
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui
pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
E.
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
1.
Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan.
2.
Menertibkan angkatan bersenjata.
3.
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang
Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
4.
Jabatan khusus bagi seorang Hakim (Qodli) menjadi profesi sendiri .
5.
Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
6.
Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil
yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
7.
Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah
dengan daerah lainnya.
8.
Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan
masjid-masjid yang megah.
9.
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, dan sebagainya.
Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam)
dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
10.
Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi
penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara
sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang
berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan
Sirah/Tarikh.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa
kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan
pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap
terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya
Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at )
terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti
umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini
sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan
namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan
kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali
yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam
satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah)
tahun 41 H (661 M).
Sistem
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia
dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada
kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau
kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk
meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada
masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan.
Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India,
dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi,
kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan,
organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari
angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan
budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam
bidang pendidikan.
Kemunduran
dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya
adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan
dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara
dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin
pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani
Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
DAFTAR PUSTAKA
Mashurimas, “Makalah Kekuasaan Dinasti Umayyah” , di akses dari http://mashurimas.blogspot.com/2011/01/makalah-kekuasaan-dinasti-umayyah.html
Badri yatim, “Sejarah
Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII,
2001
Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The
History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep
Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008),
Cet. Ke-1
Abu A’la al-maududi, Khalifah
dan Kerajaan, op.cit,
Istian Aby Bakar, Sejarah
Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008,
Cet-1
Al-Usairy, Sejarah Islam
http://akbarbarka.blogspot.co.id/
(dikutip Jum’at, 12 Februari 2016)
[1] Mashurimas, “Makalah
Kekuasaan Dinasti Umayyah” , di akses dari http://mashurimas.blogspot.com/2011/01/makalah-kekuasaan-dinasti-umayyah.html,
[3] Wikipedia, “Perang Saudara Islam Pertama”, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_saudara_Islam_pertama,
[5] Khawārij (baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang
Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah, (sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia),
[6] Badri yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo
Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 43
[7]
Badri yatim, op.cit., hlm.45
[8] Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest
Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet
Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
[9] Badri yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah
II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 42
[11] Istian
Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk
perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008, Cet-1, hlm.49
[13] ibid
[14]
Badri Yatim, op.cit.,hlm. 43
[16] Asy-Syakhsiyyah
al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah
wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar