BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akhir-akhir ini
pendidikan menjadi masalah yang ramai dibicarakan. Berbicara mengenai
pendidikan berarti berbicara tentang profesi guru. Pada saat ini profesi guru
merupakan salah satu profesi yang banyak diminati oleh kebanyakan siswa dan
siswi, hal tersebut karena guru merupakan profesi yang dapat menentukan masa
depan bangsa ini, guru yang baik dan berkualitas dapat menjadikan bangsa ini
menjadi bangsa yang berkualitas juga, begitu pun sebaliknya, seorang guru yang
tidak berkualitas akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tertinggal dan
bahkan bisa menjadi bangsa yang terjajah lagi. Selain itu, saat ini profesi
guru dijamin kesejahteraan hidupnya. Hal ini didukung oleh berbagai upaya
pemerintah dalam mensejahterakan posisi guru melalui berbagai kebijakannya.
Oleh karena itu,
orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi seorang guru. Namun, menjadi seorang
guru bukanlah hal yang mudah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara
lain adalah syarat admistrasi, teknis, psikis, dan fisik, selain itu seorang
guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan
professional.
Namun, kebanyakan
orang-orang yang telah menjadi seorang guru dalam menjalankan profesinya
tersebut tidak jarang melakukan penyimpangan atau pun pelanggaran terhadap
norma-norma menjadi seorang guru, sehingga pemerintah menetapkan suatu aturan
atau norma-norma yang harus dipatuhi oleh para guru di Indonesia yang dikenal
dengan “Kode Etik Guru”. Dengan adanya Kode Etik Guru ini, diharapkan para guru
dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagaimana telah ditetapkan dalam Kode
Etik Guru tersebut.
Untuk itu, dalam ini
akan dipaparkan tentang kode etik keguruan dan apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan
pemerintah dalam hal pendidikan salah satunya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian Kode
Etik Guru?
2.
Apakah yang dimaksud
dengan Kebijakan Pendidikan?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Dapat menjelaskan
tentang Kode Etik Guru
2.
Dapat menjelaskan
tentang Kebijakan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kode
Etik Guru
1.
Pengertian Kode Etik Guru
Kode
Etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau
tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam
kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang
menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan
nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standar
perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk
memberikan pengabdian kepada masyarakat. Berikut beberapa pengertian kode etik:
a. Undang-undang
Nomor 8 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Pasal 28 menyatakan bahwa
"Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah
laku perbuatan di dalam dan di luar kedinasan".
Dalam Penjelasan
Undang-undang tersebut dinyatakan dengan adanya Kode Etik ini, Pegawai Negeri
Sipil sebagai aparatur negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat mempunyai
pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan
dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Selanjutnya dalam Kode
Etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat di
simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari- hari.
b. Kongres
PGRI ke XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru
Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI
dalam melaksanakan panggilan pengabdiaan bekerja sebagai guru (PGRI, 1973).
Dari pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik Guru Indonesia
terdapat dua unsur pokok yakni: (1) sebagai landasan moral, dan (2) sebagai
pedoman tingkah laku.
Secara umum, kode etik
guru ialah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru di
Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi
sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga Negara.
2.
Isi
Kode Etik Guru
Adapun
rumusan kode etik guru yang merupakan kerangka pedoman guru dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya itu sesuai dengan hasil kongres PGRI XIII, yang
terdiri dari 9 item berikut:
- Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
- Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing
- Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
- Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
- Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
- Guru secara sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
- Guru menciptakan dan memelihara hubungan antarsesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan keseluruhan.
- Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru professional sebagai sarana pengabdiannya.
- Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
3.
Hakikat
Kode Etik Guru
Pada
dasarnya guru adalah tenaga professional dibidang kependidikan yang memiliki
tugas mengajar, mendidik, dan membimbing anak didik agar menjadi manusia yang
berpribadi (pancasila). Dengan demikian, guru memiliki kedudukan yang sangat
penting dan tanggung jawab yang sangat besar dalam menangani berhasil atau
tidaknya program pendidikan. Kalau boleh dikatakan sedikit secara ideal, baik
atar buruknya suatu bangsa di masa mendatang banyak terletak di tangan guru.
Sehubungan
dengan itu guru sebagai tenaga professional memerlukan pedoman atau kode etik
guru agar terhidar dari segala bentuk penyimpangan. Kode etik menjadi pedoman
baginya untuk tetap professional (sesuai dengan tuntutan dan persyaratan
profesi). Setiap guru yang memegang keprofesionalannya sebagai pendidik akan
selalu berpegang kepada kode etik guru. Sebab kode etik guru ini sebagai salah
satu ciri yang harus ada pada profesi itu sendiri.
Kode
etik yang memedomani setiap tingkah laku guru senantiasa sangat diperlukan.
Karena dengan itu penampilan guru akan terarah dengan baik, bahkan akan terus
bertambah baik. Ia akan terus menerus memperhatikan dan mengembangkan profesi
keguruannya. Kalau kode etik yang merupakan pedoman atau pegangan itu tidak
dihiraukan berarti akan kehilangan pola umum sebagai guru.
Jadi
postur kepribadian guru akan dapat dilihat bagaimana pemanfaatan dan
pelaksanaan dari kode etik yang sudah disepakati bersama tersebut. Dalam
hubungan ini jabatan guru yang betuk-betuk professional selalu dituntut adanya
kejujuran professional. Sebab kalau tidak ia akan kehilangan pamornya sebagai
guru atau boleh dikatakan hidup diluar lingkup keguruan.
4.
Tujuan
Kode Etik Guru
Pada
dasarnya tujuan merumuskan kode etik guru adalah untuk kepentingan guru,
peserta didik dan lembaga pendidikan itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan
kode etik guru adalah sebagai berikut:
a.
Untuk menjunjung tinggi martabat guru
Dalam
hal ini kode etik guru dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau
masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah terhadap profesi
keguruan. Oleh karenya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai
bentuk tindak-tanduk atau kelakuan setiap anggota profesi keguruan yang dapat
mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik
juga sering kali disebut kode kehormatan.
b.
Untuk
menjaga dan memelihara kesejahteraan guru
Yang
dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material)
maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan
lahir para anggota profesi keguruan, kode etik umumnya memuat larangan-larangan
kepada para anggotanya (guru) untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merusak kesejahteraan profesi keguruan
Misalnya
dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorium anggota profesi keguruan
dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di
bawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam
hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi
petunjuk-petunjuk para anggota keguruan untuk melaksanakan profesinya.
Kode
etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi keguruan
dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi.
c.
Untuk
meningkatkan pengabadian bagi guru
Tujuan
lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabian
profesi keguruan, sehingga bagi anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui
tugas dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena
itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota
profesi keguruan dalam menjalankan tugasnya.
d.
Untuk
meningkatkan mutu profesi keguruan
Untuk
meningkatkan mutu profesi keguruan, kode etik juga memuat norma-norma dan
anjuran agar para anggota profesi keguruan selalu berusaha untuk meningkatkan mutu,
terutama dalam hal mendidik/mengajar.
Dari
uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun
kode etik guru adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi keguruan,
menjaga dan memelihara kesejateraan guru, meningkatkan pengabdian bagi guru,
dan meningkatkan mutu profesi keguruan.
5.
Fungsi Kode Etik Guru
Pada
dasarnya kode etik berfungsi sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi
itu, dan sebagai pelindung bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan suatu
profesi. Gibson and Mitchel (1995;449), sebagai pedoman pelaksanaan tugas
profesional anggota suatu profesi dan pedoman bagi masyarakat pengguna suatu
profesi dalam meminta pertanggungjawaban jika anggota profesi yang bertindak di
luar kewajaaran.
Secara
umum, fungsi kode etik guru adalah sebagai berikut:
a. Agar
guru memiliki pedoman dan arah yang jelas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga
terhindar dari penyimpangan profesi.
b. Agar
guru bertanggungjawab atas profesinya.
c. Agar
profesi guru terhindar dari perpecahan dan pertentangan internal.
d. Agar
guru dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan.
e. Agar
profesi ini membantu memecahkan masalah dan mengembangkan diri.
f.
Agar profesi ini
terhindar dari campur tangan profesi lain dan pemerintah.
B.
Kebijakan
Pendidikan
1.
Pengertian
Kebijakan
Kebijakan
(policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu
“Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan
gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya
(Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75).
Abidin
(2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum
dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan
adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang
bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata
nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota
organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku. Kebijakan pada umumnya
bersifat problem solving dan
proaktif.
2.
Fungsi
Kebijakan
Faktor
yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah
terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan
tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa
keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format
kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf,
dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan
diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai
sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam
membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor
lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan
kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan
dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak,
(2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan (Pongtuluran,
1995:7).
Berdasarkan
penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi
pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum
untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan, maka kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang
pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam
suatu negara dengan maksud agar tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan
3.
Arah
Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Kebijakan
pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal
sebagai berikut:
a.
Mengupayakan perluasan
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi
seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
b.
Meningkatkan kemampuan
akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga
kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama
dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan
wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
c.
Melakukan pembaharuan
sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi
kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang
berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
d.
Memberdayakan lembaga
pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat
yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
e.
Melakukan pembaharuan
dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi,
otonomi keilmuan dan manajemen;
f. Meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
g.
Mengembangkan kualitas
sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh
melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar
generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan
potensinya;
h.
Meningkatkan
penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil,
menengah, dan koperasi.
4.
Karakteristik
Kebijakan Pendidikan
Guna meningkatkan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
a.
Memiliki
tujuan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki
tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada
pendidikan.
b.
Memenuhi
aspek legal-formal.
Kebijakan
pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara
sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi
syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah
wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.
Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.
Memiliki
konsep operasional
Kebijakan
pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai
manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan
keputusan.
- Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan
pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan
dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola
lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan
adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
- Dapat dievaluasi
Kebijakan
pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan
pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi secara mudah
dan efektif.
- Memiliki sistematika
Kebijakan
pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki
sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.
Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan
sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat
pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang
hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan
dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum
secara internal.
Kemudian,
secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan
lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di
atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis
sumber daya lokal.
Sampai
saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi
di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah
program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan
pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu
pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut:
a.
Telah berlakunya UAS
dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
b.
Telah dibentuknya
Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
c.
Telah diterapkan muatan
lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
d.
Dihapuskannya sistem
Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
e.
Pemberian insentif
kepada guru-guru negeri
f.
Bantuan dana
operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
g.
Bantuan peningkatan SDM
sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program
Pascasarjana.
5.
Implementasi
Kebijakan Pendidikan
Dalam
menentukan kebijakan pendidikan, para guru dan birokrasi pendidikan ditutut
profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus
kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua
kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka harus selalu
berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengen
kebutuhan masyarakat.
Karena
kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan
kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat
dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua
kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal
pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk
memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites
kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari
bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan
dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan
yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di
instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Memang
benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari
masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu
dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara
kita ini bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi
sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal
tersebut.
Dalam
penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai
maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita
sering berganti-gantinya kurikulum. Akhirnya pemeintah kebingungan untuk
menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah
belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan
pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari
pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus
mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya
pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang
ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Secara umum, kode etik
guru ialah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru di
Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi
sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga Negara.
2.
Dalam kaitannya dengan
pendidikan, maka kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk
menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu Negara
dengan maksud agar tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas
Dunn,
William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada
University Press
Hasbullah,
2006. Otonomi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Imron
, Ali. 1995. Kebijakan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Koesoemahatmadja.
1979. Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan di Daerah di Indonesia. Bandung :
Binacipta
Muhdi,
Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Pustaka Fahima.
Purwanto
Ngalim. 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya
Offset:Bandung
Suryono,
Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.
Yogyakarta. FIP UNY
Syafaruddin.
2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta
Wayong
J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Penerbit Djambatan
Situs
Web:
(Dikutip sebagian pada Rabu, 8 Maret
2017. Jam 10.00 WIB)
(Dikutip
sebagian pada Rabu, 8 Maret 2017. Jam 10.00 WIB)
(Dikutip
sebagian pada Rabu, 8 Maret 2017. Jam 10.00 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar