BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ibnu
Taimiyah merupakan tokoh salaf ekstrim karena kurang memberi ruang gerak pada
akal. Masa hidupnya bersamaan dengan kondisi umat islam yg mengalami
disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya
lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasukan mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan.
Ibnu
Taimiyah dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan
memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Pemikiran-pemikiran yg dituangkan
dalam karya-karyanya memang cukup radikal. Ia berusaha membersihkan masyarakat
dari akidah dan kepercayaan yg dianggapnya sesat. Bahkan ia berani mengkritik
Khalifah Umar dan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Ia juga
menyerang Al-Ghazali dan Ibnu Arabi dan para filosof Islam lainnya. Kritiknya
juga ditujukan pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan
para ulama sezamannya.
Dalam makalah ini tertuang tentang bagaimana kehidupan
beliau dan bagaimana konsep teologi menurut pandangan beliau sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana biografi mengenai Ibnu Taimiyah?
2.
Bagaiman konsep berfikir Ibnu Taimiyah
mengenai teologi?
3.
Bagaimana konsep berfikir Ibnu Taimiyah
mengenai pendidikan?
4.
Relevankah Pemikiran Ibnu Taimiyah
terhadap Pendidikan Kontemporer?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui bagaimana biografi
mengenai Ibnu Taimiyah.
2.
Untuk mengetahui konsep berfikir Ibnu
Taimiyah mengenai teologi.
3.
Untuk mengetahui konsep berfikir Ibnu
Taimiyah mengenai pendidikan.
4.
Untuk mengetahui elevansi Pemikiran Ibnu
Taimiyah terhadap Pendidikan Kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas
Mengenai Biografi Ibnu Taimiyah
1.
Nama,
Kelahiran dan Sifat Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas
bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi
Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah
dinisbatkan kepadanya karena nenek moyangnya yang bernama Muhammad bin
Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari
haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian
diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah
sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[1]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada
hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh
salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah
murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan
penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits
mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan
memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.[2]
Kakeknya yang bernama Abu al-Dimasyqi
dalam kitab at-Tibyan mengatakan, “sesungguhnya ibu Muhammad bin al-Khadr
(kakeknya) adalah seorang penceramah, ahli fiqh dan juga ahli hadits”. Hal ini
yang berpengaruh terhadap Ibnu Taimiyah.
Asy-Syaukani mengatakan.”Adz-Dzahabi
berkata,” Ibnu Taimiyah memiliki kulit yang putih, rambut dan jenggot yang
hitam, dan uban yang sedikit. Rambutnya memanjang sampai ke daun telinganya,
sementara kedua matanya seolah lisan yang berkata. Di samping itu, ia adalah
orang yang panjang pundaknya, keras suaranya, fasih bicaranya, cepat bacaannya,
tinggi emosinya, namun emosi yang tinggi ini dikalahkan oleh sifat belas
kasihnya.[3]
2.
Guru-guru
Dan Murid-murid Ibnu Taimiyah
a.
Guru-gurunya
1)
Zainuddin Ahmad bin Abdu Ad-da`im
Al-Maqdisi
2)
Al-Majd Muhammad bin Ismail bin Utsman bin
Muzhaffar bin Hibatullah Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi
3)
Abdurrahman bin Sulaiman bin Sa’id bin
Sulaiman Al-Baghdadi
4)
Muhammad bin Ali Ash-Shabuni
5)
Taqiyuddin Ismail bin Ibrahi bin Abi
al-Yusr.
6)
Kamaluddin bin Abdul Azis bin Abdul Mun’im
bin Al-Khidhr bin Syibl.
7)
Saifuddin Yahya bin Abdurrahman bin Najm bin
Abdul Wahhab Al-Hanbali.
8)
Al-Mu`ammil bin Muhammad Al-baalisi
Ad-Dimasyqi.
9)
Yahya bin Abi Manshur Ash-Shairafi.
10)
Ahmad bin Abu Al-Khair Salamah bin Ibrahim
Ad-Dimasyqi Al-Hanbali.
11)
Dan banyak lagi lainnya.
b.
Murid-muridnya
Kepribadian dan watak keilmuan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, yang dimasa itu tiada seorangpun yang sebanding dengan
beliau, telah menarik banyak para alim serta imam besar dizaman itu, dalam
ragam disiplin keilmuan mereka untuk menyimak majlis Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Diantara banyak murid-murid beliau yang mengagumi dan mencintai
beliau, telah hadir pula dimajlis beliau ulama, qadhi, serta wa’izh penasihat
atau penceramah yang masyhur yang merupakan ulama yang sezaman dengan beliau
1)
Al-Imam Ar-Rabbani Al-‘Allamah Al-Hafizh
Muhammad bin Abi Bakar Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, murid terdekat syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
2)
Al-Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi, muarrikh
Islam, seorang hadizh hadits, penulsi kitab Siyar A’laam An-Nubala, Tarikh
Islam, Tadzkirah Al-Huffazh dan lain sebagainya.
3)
Al-Hafizh Al-Kabiir Al-Mufassir ‘Imaduddin
Abul Fida` Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, penulis kitab
Al-Bidayah wan-Nihaya dan Tafsir serta kitab-kitab lainnya. Beliau telah
mengalami siksa dalam pembelaan beliau terhadao Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4)
Al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin Abdil
Hadi, penulis Al-‘Uqqud Ad-Durriyah min Manaaqib Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5)
Imam Al-Huffazh Abul Hajaj Jamaluddin
Al-Mizzi, Syaikh Al-Jami’ah Al-‘Uraiqah Daar Al-Hadist Al-Asyrafiyah, penulis
kitab rujukan dalam ilmu ar-Rijal (biografi perawi hadits), yaki Tahdzib
Al-Kamaal.
6)
‘Imaduddin Ahmad bin Ibrahim Al-Hizaam.
7)
Al-Faqih Syarfuddin Muhammad bin Muhammad
bin An-Nujaih Al-Harrani.
8)
Asy-Syaikh Syarfuddin Muhammad bin
Al-Munjaa At-Tannukhi Al-Hanbali.
9)
Al-Muhaddits Asy-Syaikh ‘Afifuddin Ishaq
bin Yahyah Al-Aamidi Al-Hanafi, syaikh Daar Al-Hadist Azh-Zhahiriyah.
10)
Asy-Syaikh Abdullah bin Musa Al-Jazari,
salah seorang yang mulazamah lama kepada beliau.
11)
Dan masih banyak lagi lainnya.
3.
Karya-karya
Ibnu Taimiyah
Kitab-kitab beliau banyak dan sangat
bermacam-macam pembahasannya dalam bidang ilmu. Untuk menyingkat, di bawah ini
akan kami tuliskan yang masyhur saja, diantaranya:[6]
a.
Majmu’ Al-Fatawa (disusun oleh Ibnu
Al-Qasim)
b.
Dar`u At-Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql
c.
Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah
d.
Naqdhu At-Ta`sis
e.
Al-Jawaab Ash-Shahih liman Baddala Diin
al-Masiih
f.
Ar-Radd ‘ala Al-Bakrie (Al-Istighatsah)
g.
Syarah Hadits An-Nuzul
h.
Syarah Hadits Jibril (Al-Iman Al-Ausath)
i.
Kitab
Al-Iman
j.
Al-Istiqamah’
k.
As-Siyasah Asy-Syar’iyah
l.
Dan
lain sebagainya.
4.
Meninggalnya
Ibnu Taimiyah
Sesungguhnya di antara tanda kebaikan
orang shalih dan diterimanya dia di tengah-tengah kaum muslimin adalah:
orang-orang merasa kehilangannya tatkala dia meninggal dunia. Oleh karena itu,
para salaf menilai banyaknya orang yang menyalati merupakan tanda kebaikan dan
diterimanya orang tersebut. Oleh karena itu, Imam Ahmad – rahimahullah
mengatakan, “Katakan pada Ahlul Bid’ah, perbedaan antara kami dan kalian adalah
pada hari kematian”, yaitu orang-orang akan merasakan kehilangan Imam
Ahlusunnah, apabila imam itu meninggal akan terlihat banyaknya orang yang
mengiringi jenazahnya ke pemakaman. Sungguh realita telah menunjukkan hal itu.
Belum ada yang pernah terdengar seperti
kematian dua imam (yang samasama bernama Ahmad, pent) yaitu Imam Ahmad bin
Hambal dan Ahmad bin Taimiyyah ketika keduanya meninggal. Begitu banyak orang
yang mengiringi ke pemakaman dan keluar bersama jenazah keduanya serta
menyalati keduanya. Ini bukanlah suatu yang aneh karena kaum muslimin adalah
saksi Allah di bumi ini. Demikianlah Syaikhul Islam rahimahullah wafat, dalam
keadaan beliau terpenjara di penjara Al Qol’ah, Damaskus, pada malam Senin, 20
Dzulqo’dah 728 Hijriyah. Seluruh penduduk Damaskus dan sekitarnya merayap untuk
menyalati dan mengiringi jenazah beliau ke pemakaman. Berbagai referensi yang
menyebutkan kematian beliau sepakat bahwa yang menghadiri pemakaman beliau
adalah jumlah yang sangat besar sekali yang tidak bisa dibayangkan jumlahnya.[7]
5.
Keilmuan
Ibnu Taimiyah
Ibnu
Taimiyah berkembang di bawah bimbingan para ulama, bahkan ayah beliau sendiri
merupakan salah seorang pembesar madzhab Hanbali. Demikian pula kakek dan
pamannya, mereka semua tergolong para ulama yang terkenal. Mengenai kakek
beliau Al-Dzahabi berkata: “Beliau seorang imam yang sempurna, tidak ada yang
menandinginya di masa itu, pangkal ilmu fiqih dan ushulnya, menonjol di bidang
hadits dan maknanya serta pengetahuannya yang luas di bidang qiraat maupun
tafsir”. Jamaluddin ibn Malik berkata: “Ilmu fiqih telah dimudahkan untuk
syaikh al-Majd sebagaimana Allah telah melunakkan besi bagi Daud”[8]
Tanda-tanda kejeniusan telah nampak
semenjak kecil, beliau senang membaca berbagai pengetahuan, berkemauan tinggi,
menghadiri sekolah-sekolah dan majlis ilmu, beradu argument, mendatangkan
perkara yang membingungkan para pembesar dari kalangan ulama dan beliau mulai
berfatwa semenjak usia 19 tahun serta menjadi imam yang diakui oleh para ulama
sebelum berusia 30 tahun.
Mengkaji musnad Imam Ahmad,
kitab-kitab hadits enam yang pokok (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi,
al-Nasaa i dan Ibnu Maajah) dan kitab-kitab berjilid lainnya serta Mu’jam
Al-Thabraani Al-Kabiir.
Telah hafal al-Qur’an sejak kecil,
kemudian memperdalam tafsir, fiqih, ilmu-ilmu bahasa arab hingga menonjol dalam
hal itu dan beliau tetap menambah keilmuannya hingga kepadanya bermuara
keimaman bahkan sampai pada batas berijtihad dalam hal itu. Pembahasan ini
dikumpulkan oleh Al-Ba’liy dengan nama “Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah” juga Ibnu
Al-Qayyim mengumpulkannya dalam sebuah kitab dengan judul “Ikhtiyaaraat Ibn
Taimiyah”.
Disamping luasnya pengetahuan,
beliau juga menonjol di segala cabang ilmu. Seperti ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Al-Sunnah secara hafalan, pengetahuan, pengambilan hukum dalam berdalil
(istinbath). Mengetahui para perawi hadits beserta derajatnya, perkataan ulama
dan perbedaannya diantara mereka. Mata hatinya bening dalam menatap sebuah
kebenaran yang beliau nukil perkataannya dari para ulama tersebut.
Hal ini
diakui baik oleh teman, guru maupun muridnya bahkan oleh lawannya sekalipun.[9] Berbeda dengan ulama yang lainnya, khususnya mereka yang semasa hidupnya
larut dalam ilmu kalam dan filsafat hingga memiliki berbagai tingkatan semasa
hidupnya bahkan setiap tingkatan memiliki metode dan cara yang berbeda; Ibnu
Taimiyah sepanjang hidupnya tidak pernaha berubah. Beliau tetap diatas satu
manhaj, meskipun pernah ruju’ dari beberapa permasalahan karena pertamanya
taklid lalu setelah pengetahuannya sempurna merubah pendapatnya[10]
Allah ـ telah mengumpukan pada diri
beliau ilmu dan amal, keberanian dan zuhud, wara’ dan kewibawaan, amat
berpegang teguh dengan atsar, kesabaran dan kelembutan serta segala sifat yang
baik dari akhlak.
6.
Jihad di
masa hidup dan wafatnya
Ibnu Taimiyah
: bukanlah tipe orang alim yang duduk di rumahnya, mengkhususkan diri dengan
kegiatan berfatwa, mengajar dan menulis / mengarang.
Namun beliau sosok yang mengaitkan antara ilmu dengan amal. Hal ini yang
menjadikan beliau merasa punya tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan
melenyapkan kebathilan termasuk berjihad.
Pada masa beliau, perkembangan
politik dan kemasyarakatan berkecamuk, pasukan Tartar (Mongol) dan salib
(Inggris) mengepung negara-negara Islam, berbuat kerusakan di muka bumi serta membuat
orang-orang resah dan ketakutan.
Berbagai bid’ah dan kesesatan
terkumpul di masyarakat, Ibnu Taimiyah memerangi hal itu semua. Beliau
mengangkat pedang memerangi Tartar hingga terlihat paling berani diantara
manusia; paling kuat hatinya dan paling kokoh dalam menghadapi kegelisahan/
kekacauan. Beliau menunggang kuda mengelilingi musuh seraya bertakbir dengan
takbir yang membuat musuh lebih gentar daripada pedang yang terhunus hingga
berdampak besar bagi kekuatan kaum muslimin. Memberi motifasi kepada mereka dan
memberi kabar gembira serta menjanjikan pertolongan Allah ـ.
Di sisi yang lain beliau
bersungguh-sungguh memerangi pelaku bid’ah dari berbagai lapisan seperti mereka
yang telah sampai pada batas kufur, kaum filosof, kaum rafidhah, sufi, Ismailiyyah,
Nashiriyyah dan pelaku bid’ah yang keji di sekitar kuburan sebagaimana beliau
membantah kaum jahmiyyah, muktazilah, al-khawarij, ahli kalam dan Asy-‘ariyyah
hingga Allah أmenampakkan kebenaran melalui perantaraannya.
Bersamaan dengan itu pula telah nampak
sekelompok fuqaha’ dan sufi yang menyerangnya, menuduh beliau karena ijtihadnya
lalu menampakkan perbedaan hal itu dengan pendapat mereka yang ditopang oleh
pihak yang memiliki kedudukan dan kekuasaan. Namun Ibnu Taimiyah tetap
membantah mereka berdasarkan dalil dan bukti, menyingkap syubhat mereka yang
bathil hingga beliau dikenal memiliki sikap yang tegas berkenaan dengan mereka.
Hingga
sekarang bantahan-bantahan beliau menjadi senjata bagi para da’i yang
menghendaki perbaikan dalam menghadapi musuh kebenaran dan pelaku kebathilan
karena ditopang dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, kemudian
petunjuk al-salaf al-shalih serta kuatnya pengambilan dalil
syar’i (istinbaath) beserta ‘aqli yang menandakan luasnya ilmu yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Hal ini tidak berlebihan kiranya mengingat mereka
adalah perpanjangan dari kelompok sempalan yang ada di masa Ibn Taimiyah.
Beliau
mengalami cobaan karena sikapnya yang demikian. Seperti terusir dari negrinya,
beberapa kali masuk penjara namun beliau sabar dan mengharap pahala. Terakhir
beliau di penjara di qal’ah Damaskus karena fatwanya mengenai bepergian untuk
ziarah kubur, beliau sakit beberapa hari karena tekanan setelah mengeluarkan
kitab-kitab dan lembarannya hingga akhirnya wafat : di penjara pada malam
senin 20 dzulqa’dah 728 H. Setelah 5 bulan sebelumnya beliau mengosongkan
diri untuk ibadah dan membaca Al- Qur’an. Kejadian ini “disaksikan oleh
salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca
Al-Qur’an surah Al-Qamar yang berbunyi “Innal Muttaqina fi jannatin
wanaharin”[11]
Demikianlah selama 67 tahun masa
hidupnya beliau isi dengan ketekunan dan perjuangan. Sebagaimana pepatah
mengatakan: “Kematian orang yang shaleh merupakan peristirahatan baginya,
sedangkan kematian orang yang thaleh (lawan dari shaleh) merupakan
peristirahatan bagi orang-orang dari gangguannya”.
Pemandangan
saat pemakaman beliau demikian hebatnya, orang-orang saling berdesakan di sekitar
jenazahnya, suara tangisan orang-orang meninggi disertai doa dan pujian. “Pada
waktu itu tidak orang yang mendengar kematiannya di Damaskus melainkan sengaja
mengosongkan diri datang untuk menshalati jenazahnya. Pasar ditutup, kehidupan
seolah-olah berhenti. Para penguasa, pembesar, ulama’ dan fuqaha’, orang-orang
Turki dan tentara, laki-laki dan wanita serta anak-anak bahkan orang khusus
atau awam”[12]. Mereka
yang menghadiri peristiwa itu lebih dari 100.000 orang dari kalangan pria dan
15.000 dari kalangan wanita.
Sumber yang
lain menyatakan bahwa orang-orang yang menghadiri jenazahnya tidak dapat
digambarkan. Imam Ahmad ibn Hanbal : pernah berkata: “Katakanlah kepada para
pelaku bid’ah: Sebagai bukti kebenaran antara kita dengan mereka adalah pada
hari kematian”[13]. Sejarah
telah mencatat tidak ada orang-orang yang berkumpul pada hari kematian yang
lebih banyak dari kedua imam ini. Semoga Allah ـ melimpahkan pada keduanya
pahala yang berlimpah dan menjadikan beliau berdua mendampingi para Nabi dan
orang-orang yang mati syahid, serta orang-orang yang jujur dan shalih.
7.
Kepribadian
Ibnu Taimiyah
Selain dikenal dengan keilmuannya
dalam bidang agama, Ibn Taimiyah dikenal memiliki kepribadian yang mulya.
Beliau lebih mendahulukan orang-orang yang butuh daripada dirinya sendiri dalam
hal makanan, pakaian atau yang lain. Banyak beribadah, berdzikir, membaca
Al-Qur’an bersikap wara’ dan zuhud hingga tidak memiliki perhiasan dunia selain
yang berupa kebutuhan primer.
Beliau merupakan sosok yang tawadhu’
dalam penampilannya, pakaiannya dan interaksinya dengan orang lain. Beliau
tidak mengenakan pakaian yang mewah, tidak pula yang jelek / kumuh.
Tidak dibuat-buat dalam tingkah lakunya dengan orang dihadapannya. Beliau
dikenal berwibawa, memiliki prinsip yang kuat dalam berpegang teguh dengan
kebenaran baik di kalangan pemerintah, ulama maupun masyarakat. Setiap orang
yang melihatnya menyukainya, merasa sungkan dan hormat terhadapnya. Terkecuali
orang-orang yang dengki dari kalangan pengikut hawa nafsu.
Beliau
dikenal sebagai seorang yang penyabar, tahan banting di jalan Allah, memiliki
firasat yang kuat, doa yang cepat terkabul dan karomah yang diakui. Semoga
Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang Maha luas dan menempatkan beliau di
surga-Nya yang tinggi[14].
8.
Ibnu
Taimiyah di Mata Musuhnya
Ibarat pohon
yang tinggi maka angin yang menerpanya juga semakin kencang dan kuat. Mungkin
inilah kalimat yang cocok bagi sosok Ibnu Taimiyah. Kalaupun ada
segelintir manusia yang mencela beliau namun perkataannya tidak terhitung/
tidak dianggap[15] karena
menyelisihi perkataan mayoritas ummat.
Para musuh di sini maksudnya mereka
yang menyelisihi madzhab salaf dari golongan Asy’ariyyah, kaum falsafah,
tasawwuf, bathiniyah, rafidhah (syi’ah) dan yang lainnya. Ibnu Taimiyah berpegang
teguh pada pernyataannya: kaum salaf a’lam (lebih mengetahui) dan ahkam (lebih
berhak memutuskan hukum) .
“Kesempurnaan”
performa seperti ini tak heran mengundang rasa iri di benak sebagian orang.
Muncullah pena dan mulut-mulut usil yang berusaha mendeskriditkan Ibnu Taimiyah
denganmenuduhnya sebagai tokoh yang menentang Al-Qur’an dan Sunnah. Aneh
memang. Tampaknya sekelompok orang yang mendeskriditkan Ibnu Taimiyah tersebut
belum tuntas membaca karya-karyanya yang berjumlah lebih dari liam ratus judul.
Atau kemungkinan orang-orang tersebut telah dibayar oleh lawan-lawan Islam
untuk memfitnah Islam dan tokoh-tokohnya)[16].
Beliau dalam
membantah mereka menyusun dua metode: a. Menjelaskan
keadaan kaum tersebut dan sebab keberadaannya guna membangun sebuah hukum
tentangnya b. Membantah
mereka[17].
B.
Konsep
Berfikir Ibnu Thaimiyah Mengenai Teologi
1.
Latar
Balakang Pembentukan Pemikiran Ibnu Taimiyah
Disamping fitrah untuk beragama yang
ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga
dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri
manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang
lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan
jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian
kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material,
Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan
malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai
penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”, kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi
yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat.
potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi
yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk
bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam,
kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya. [18]
Namun tidak berarti fitrah rasionalitas
ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat
kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan
rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang
penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian
manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala
sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Imbas dari gerakan penerjemahan
besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya
pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu
memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para
ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan
yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling
gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu
filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat
Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.[19]
Sebenarnya gerakan penerjemahan ini
dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid
Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari
Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini
benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al- Manshur (136-158 H) hingga masa
pamerintahan AL-Ma’mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas
pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang
keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini,
contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang
keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan
politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi,
Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai
tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya,
yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan
bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh
filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi
secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani.[20]
Filsafat Islam bukanlah filsafat
Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal
tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah maupun
Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal
merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat
dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak
filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk
memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka
menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah)
dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang
menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai
dan mengkritik para filosof Islam tersebut.
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti
filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk
kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi
sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan
bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit
yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum
seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala
hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan
angan-angan dan bayangan, sikap Ibn Taimiyyah ini merupakan dampak dari kondisi
politik dan sosio- kultural masyarakat muslim pada waktu itu.[21]
2.
Pemikiran
Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim
Madzkur, adalah sebagai berikut:
a.
Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran
dan Al-Hadits).
b.
Tidak memberikan ruang gerak kepada akal.
c.
Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung
semua ilmu agama.
d.
Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga
generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan
bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka
kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu
pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah
(antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh Karen itu,
Al-Jauzi berpendapat bahwwa pengakuan ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau
kembali.[23]
a.
Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat
Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat
dimaksud adalah:.
1)
Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa,
mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
2)
Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah,
ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3)
Sifat khabariah (sifat yang diterangkan
Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti
keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah
turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak;
wajah, tangan, dan mata Allah.
4)
Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang
disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul
kaun dan lain-lain.
b.
Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya,
yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c.
Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah
tersebut dengan:
1)
Tidak mengubah maknanya kepada makna yang
tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual).
2)
Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min
ghoiri ta’thil).
3)
Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad).
4)
Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan,
baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif
at-takyif).
5)
Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan)
sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal
‘alamin).[25]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Biografi
mengenai Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas
bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi
Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah dilahirkan di
Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H.
Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang
ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan
penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits
mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan
memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Demikianlah Syaikhul Islam rahimahullah wafat, dalam keadaan
beliau terpenjara di penjara Al Qol’ah, Damaskus, pada malam Senin, 20
Dzulqo’dah 728 Hijriyah.
2.
Konsep
berfikir Ibnu Taimiyah mengenai teologi
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim
Madzkur, adalah Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits),
Tidak memberikan ruang gerak kepada akal, Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung
semua ilmu agama. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja
(sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Allah memiliki sifat yang tidak
bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung: Sinar Baru, 1993.
·
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2003.
·
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
·
Farid Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007, cet ke-2.
·
M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
·
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003.
·
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan,
Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, cet ke-2.
·
Rahman, Fazlur, terj. Aam Fahmia,
Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
·
Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,
1987.
[2] Razak,
Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia,
2006), cet ke-2, hal. 115.
[8]
Ibid hlm. 152.
[9] Iqtidhaa’ al-Shiraath al-Mustaqiim….tahqiq DR.
Nashir al-‘Aql hlm. 12
[10]
Mauqif Ibn Taimiyah…DR. Abd al-Rahmaan al-Mahmud
hlm. 156-157
[11]
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
[12]
Demikianlah al-Bazzar, salah seorang murid Ibnu
Taimiyah mensifati hari itu. Ibid hlm. 213
[13]
Iqtidhaa’ al-Shiraath al-Mustaqiim….tahqiq DR.
Nashir al-‘Aql hlm. 16
[14]
Ibid hlm. 14
[16]
Risalah Ibnu Taimiyah tentang tafsir Al-Qur’an
hlm. 12
[17]
Mauqif Ibn Taimiyah…DR. Abd al-Rahmaan al-Mahmud
hlm. 284.
[18]
Rahman,
Fazlur, terj. Aam Fahmia, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang
Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 186.
[19]
H. M.
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 142.
[24] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 58-60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar