BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kisah para nabi khususnya Nabi Akhir Zaman yakni Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
merupakan kisah yang selalu menarik dan tidak ada bosannya untuk dikaji secara
terus-menerus mengingat begitu banyak hikmah, pelajaran, suri tauladan dan yang
lainnya untuk kita ambil dan diharapkan bisa dipraktekan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kisah ini dimulai dari kehidupan Jahiliyah masyarakat
Arab waktu itu, Kelahiran Nabi, turunnya wahyu, sepak terjang Nabi dalam
memperjuangkan Islam termasuk terlibat dalam hampir setiap peperangan melawan
kaum kafir hingga akhirnya Islam bisa Berjaya dan tersebar hampir keseluruh
dunia
Sirah Nabawiah ini merupakan kisah nyata terbaik yang
pernah ada dan takkan pernah terlupakan terutama dihati orang-orang Mukmin
tentang sejarah Islam awal hingga masa kejayaannya.
Untuk itulah, kami ingin kembali mengisahkan Kisah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam makalah kali ini, dan tema yang kami bawakan hanya seputar perjalanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang pertama ke Syam dan usahanya mencari rezeki serta Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
Harta Khadijah dan pernikahannya.
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari
pemaparan makalah ini. Aamiin
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana
perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang Pertama ke Syam dan apa saja Usaha Beliau dalam Mencari
Rezeki?
2.
Bagaimana
Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Harta Khadijah dan pernikahan beliau dengannya?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
tentang perjalanan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang Pertama ke Syam dan Usaha Beliau dalam Mencari
Rezeki
2.
Menjelaskan
Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Harta Khadijah dan pernikahan beliau dengannya
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Pertama ke Syam dan Usahanya
Mencari Rezeki
Ketika berusia 12 tahun,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diajak
pamannya, Abu Thalib, pergi ke Syam dalam suatu kafilah dagang. Sewaktu kafilah
berada di Bashra, mereka melewati seorang pendeta bernama Bahira. Ia adalah
seorang pendeta yang banyak mengetahui Injil dan ahli dalam masalah-masalah
kenasranian. Bahira kemudian melihat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ia lalu mulai mengamati Nabi dan mengajaknya berbicara. Bahira
kemudian menoleh kepada Abu Thalib dan menanyakan kepadanya, “Apa status anak
ini disisimu?” Abu Thalib menjawab, “Anakku (Abu Thalib memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
panggilan anak karena kecintaan yang mendalam).” Bahira berkata kepadanya, “Dia
bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini masih hidup”. Abu Thalib berkata,
“Dia adalah anak saudaraku”. Bahira bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh
ayahnya?” Abu Thalib menjawab, “Dia meninggal ketika ibu anak ini
mengandungnya.” Bahira berkata, “Anda benar. Bawalah dia pulang ke negerinya
dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya disini, pasti
akan dijahatinya. Sesungguhnya, anak saudaramu ini akan memegang perkara
besar.” Abu Thalib kemudian cepat-cepat membawanya kembali ke Mekkah.[1]
Memasuki masa remaja,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mulai berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertutur tentang dirinya,
“Aku
dulu menggembalakan kambing penduduk Madinah dengan upah beberapa qirath.”[2]
Selama masa mudanya, Allah
telah memeliharanya dari penyimpangan yang biasanya dilakukan oleh para pemuda
seusianya, seperti berhura-hura dan permainan nista lainnya. Bertutur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang dirinya,
“Aku tidak
pernah menginginkan sesuatu yang biasa mereka lakukan dimasa Jahiliyah kecuali
dua kali. Itupun kemudian dicegah oleh Allah. Setelah itu, aku tidak pernah
menginginkannya sampai Allah memuliakan aku dengan risalah. Aku pernah berkata
kepada seseorang teman yang menggembala bersamaku di Mekkah, “Tolong awasi
kambingku karena aku akan memasuki kota Mekkah untuk begadang sebagaimana para
pemuda.” Kawan tersebut menjawab,”Lakukanlah”. Lalu aku keluar.
Ketika aku
sampai di rumah pertama di Mekkah, Aku mendengar nyanyian lalu aku berkata,”Apa
ini?” Mereka berkata, “Pesta”. Aku lalu duduk mendengarkannya. Allah kemudian
menutup telingaku lalu aku tertidur dan tidak terbangunkan kecuali oleh panas
matahari. Aku kemudian kembali kepada temanku lalu ia bertanya kepadaku dan aku
pun mengabarkannya. Pada malam yang lain, aku katakan kepadanya sebagaimana
malam pertama. Aku pun masuk ke Mekkah lalu mengalami kejadian sebagaimana
malam terdahulu. Setelah itu, aku tidak pernah lagi menginginkan keburukkan.”[3]
Beberapa ‘Ibrah
Hadits Bahira tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni
hadits yang diriwayatkan oleh jumhur ulama
sirah dan para perawinya dan
dikeluarkan oleh Tirmidzi secara panjang lebar dari hadits Abu Musa al-Asy’ari
menunjukkan bahwa para Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani memiliki pengetahuan
tentang bi’tsah Nabi dengan
mengetahui tanda-tandanya. Ini mereka ketahui dari berita kenabiannya serta
penjelasan tentang tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat didalam Taurat
dan Injil. Dalil tentang hal ini banyak sekali.
Diantaranya adalah tentang
apa yang diriwayatkan oleh para ulama sirah
bahwa orang-orang Yahudi biasa memohon kedatang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebelum bi’tsah) untuk mendapatkan kemenangan
atas kaum Aus dan Khazraj, dengan mengatakan, “Sesungguhnya sebentar lagi akan
dibangkitkan seorang Nabi yang kami akan mengikutinya. Kami lalu bersamanya akan
membunuh kalian sebagaimana pembunuhan yang dialami oleh kaum ‘Aad dan Iram.”
Ketika orang-orang Yahudi mengingkari janjinya, Allah menurunkan Firman-Nya,
$£Js9ur
öNèduä!%y`
Ò=»tGÏ.
ô`ÏiB
ÏYÏã
«!$#
×-Ïd|ÁãB
$yJÏj9
öNßgyètB
(#qçR%x.ur
`ÏB
ã@ö6s%
cqßsÏFøÿtGó¡t
n?tã
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
$£Jn=sù
Nèduä!$y_
$¨B
(#qèùttã
(#rãxÿ2
¾ÏmÎ/
4 èpuZ÷èn=sù
«!$#
n?tã
úïÍÏÿ»s3ø9$#
ÇÑÒÈ
dan setelah datang kepada
mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka[1],
Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang
telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas
orang-orang yang ingkar itu. (Q.S. Al-Baqoroh 2: 89)
[1] Maksudnya kedatangan
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan
sifat-sifatnya.
Al-Qurtubi dan lainnya
meriwayatkan bahwa ketika turun Firman Allah,
tûïÏ%©!$#
ãNßg»uZ÷s?#uä
|=»tGÅ3ø9$#
¼çmtRqèùÌ÷èt
$yJx.
tbqèùÌ÷èt
öNèduä!$oYö/r&
( ¨bÎ)ur
$Z)Ìsù
öNßg÷ZÏiB
tbqßJçGõ3us9
¨,ysø9$#
öNèdur
tbqßJn=ôèt
ÇÊÍÏÈ
orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) Mengenal
Muhammad seperti mereka Mengenal anak-anaknya sendiri[2]. dan Sesungguhnya
sebahagian diantara mereka Menyembunyikan kebenaran, Padahal mereka mengetahui.
(Q.S. Al-Baqoroh 2: 146)
[2] Mengenal Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Yaitu Mengenal
sifat-sifatnya sebagai yang tersebut dalam Taurat dan Injil.
Umar bin Khattab bertanya
kepada Abdullah bin Salam (Seorang Ahli Kitab yang telah masuk Islam), “Apakah
kamu mengetahui Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana kamu mengetahui anakmu?” Ia menjawab, “Ya,
bahkan lebih banyak. Allah mengutus (malaikat) kepercayaan-Nya dibumi dengan
sifat-sifatnya, lalu saya mengetahuinya. Adapun anak saya maka saya tidak
mengetahui apa yang telah terjadi dari ibunya.”
Bahkan keislaman Salman
al-Farisi juga disebakan karena ia telah melacak berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sifat-sifatnya dari Injil, para pendeta, dan ulama al-Kitab.
Ini tidak dapat dinafikan
oleh banyaknya para Ahli Kitab yang mengingkari adanya pemberitaan tersebut
atau oleh tidak adanya isyarat penyebutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam Injil yang beredar sekarang.
Hal ini karena terjadi pemalsuan dan perubahan secara beruntun pada kitab-kitab
tersebut telah diketahui dan diakui oleh semua pihak. Mahabenar Allah yang
berfirman didalam kitab-Nya,
öNåk÷]ÏBur
tbqÏiBé&
w cqßJn=ôèt
|=»tGÅ3ø9$#
HwÎ)
¥ÎT$tBr&
÷bÎ)ur
öNèd
wÎ)
tbqZÝàt
ÇÐÑÈ ×@÷uqsù
tûïÏ%©#Ïj9
tbqç7çFõ3t
|=»tGÅ3ø9$#
öNÍkÏ÷r'Î/
§NèO
tbqä9qà)t
#x»yd
ô`ÏB
ÏYÏã
«!$#
(#rçtIô±uÏ9
¾ÏmÎ/
$YYyJrO
WxÎ=s%
( ×@÷uqsù
Nßg©9
$£JÏiB
ôMt6tG2
öNÍgÏ÷r&
×@÷urur
Nßg©9
$£JÏiB
tbqç7Å¡õ3t
ÇÐÒÈ
dan
diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab (Taurat),
kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga[3]. Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud)
untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri,
dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.
(Q.S. Al-Baqoroh 2: 78-79)
[3] Kebanyakan bangsa Yahudi
itu buta huruf, dan tidak mengetahui isi Taurat selain dari dongeng-dongeng
yang diceritakan pendeta-pendeta mereka.
Sehubungan dengan usaha
Rasulullah menggembalakan kambing untuk tujuan mencari rezeki, terdapat tiga
pelajaran penting.
Pertama, selera
tinggi dan perasaan halus. Dengan kedua sifat inilah Allah “memperindah”
kepribadian Nabi-Nya Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Selama ini. Pamannyalah yang mengasuh dengan kasih
sayang sebagai seorang bapak. Akan tetapi, begitu merasakan kemampuan untuk
bekerja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam segera melakukannya dan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan
sebagian beban nafkah dari pamannya. Barangkali hasil yang diperolehnya dari
hasil pekerjaan yang dipilihkan Allah tersebut tidak begitu banyak dan penting
bagi pamannya, tetapi ini merupakan akhlak yang mengungkapkan rasa syukur,
kecerdasan watak, dan kebaikan prilaku.
Kedua, berkaitan
dengan penjelasan tentang bentuk kehidupan yang diridhoi oleh Allah untuk para
hamba-Nya yang saleh didunia. Sangatlah mudah bagi Allah mempersiapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal
kehidupannya, segala sarana kehidupan dan kemewahan yang dapat mencukupi
sehingga tidak memerlukan lagi memeras keringat menggembalakan kambing. Akan
tetapi, hikmah Ilahi menghendaki agar
kita mengetahui bahwa harta manusia yang terbaik adalah harta yang diperoleh
dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan
saudaranya. Sebaliknya, harta yang terburuk ialah harta yang didapatkan
seseorang tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan
kepada masyarakat.
Ketiga, para
aktivis dakwah (dakwah apa saja) tidak akan dihargai orang manakala mereka
menjadikan dakwah sebagai sumber rezekinya atau hidup dari mengharapkan
pemberian dan sedekah orang.
Karena itu, para aktivis dakwah
Islam merupakan orang yang paling patut untuk mencari ma’isyah (nafkah)-nya melalui usaha sendiri atau sumber yang mulia
yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar mereka tidak “berutang budi”
kepada seorangpun yang menghalangi dari menyatakan kebenaran dihadapan
“investor budi”.
Kendatipun hakikat ini belum
terlintas dalam benak pikiran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada masa itu karena beliau belum mengetahui bahwa
dirinya akan diserahi urusan dakwah dan risalah Ilahi, manhaj yang ditetapkan Allah untuk itu telah mengandung tujuan ini
dan menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar tidak ada sesuatu pun dari
kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebelum bi’tsah yang
menghalangi jalan dakwahnya atau menimbulkan pengaruh negatif terhadap
dakwahnya sesudah bi’tsah.
Menyangkut kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal
dirinya yang telah mendapatkan pemeliharaan Allah dari segala keburukan sejak
kecilnya dan awal masa remajanya, terdapat penjelasan mengenai dua hal yang sangat
penting.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (juga)
memiliki seluruh karakteristik manusia sehingga ia mendapati pada dirinya apa
yang terdapat pada setiap pemuda berupa berbagai kecenderungan fitrah yang
telah ditetapkan Allah pada Manusia.
Kedua,
sesungguhnya Allah, kendatipun demikian, telah melindunginya dari segala bentuk
penyimpangan dan dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan berbagai tuntunan
dakwah. Karena itu, sekalipun belum mendapatkan wahyu atau syariat yang akan
melindunginya dari memperturutkan dorongan-dorongan nafsu. beliau telah
mendapat perlindungan lain yang tersamar yang menghalanginya dari
memperturutkan nafsunya yang tidak sesuai dengan dirinya yang telah
dipersiapkan Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan menegakkan
syariat Islam.
Terhimpunnya dua hal
tersebut pada diri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang jelas akan adanya ‘inayah Ilahi (Pemeliharaan Ilahi) secara khusus yang menuntunnya
tanpa perantara faktor-faktor yang lazim (biasa), seperti pembinaan dan
pengarahan. Siapakah gerangan yang mengarahkannya ke jalan ke-ma’tsum-an ini, padahal semua orang
disekitarnya, keluarganya, kaum dan tetangga, asing sama sekali dari jalan
tersebut, tersesat jauh dari arah jalan tersebut?
Jelas, hanya ‘Inayah Ilahi-lah yang memberikan kepada
pemuda Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam jalan terang berupa cahaya yang menembus lorong-lorong jahiliyah, termasuk tanda-tanda besar
yang menunjukkan kenabian yang diciptakan dan disiapkan Allah untuknya. Juga
menunjukkan bahwa arti kenabian merupakan asas pembentukkan kepribadian dan
arah kehidupannya, baik menyangkut kejiwaan maupun pemikiran.
Tidaklah sulit bagi Allah
untuk mencabut, sejak kelahiran Rasulullah, dorongan-dorongan naluriahnya
kepada kesenangan syahwat dan hawa nafsu. Dengan demikian, beliau tidak akan
pernah sama sekali menitipkan kambing gembalaannya kepada temannya untuk turun
ke rumah-rumah Mekkah mencari orang-orang yang begadang dan berhura-hura. Akan
tetapi, hal tersebut tidak menunjukkan, pada saat itu, kepada kelainan-kelainan
pada tatanan kejiwaanya karena gejala ini ada contohnya pada setiap zaman.
Jadi, tidak ada sesuatu yang menunjukkan kepada “pemeliharaan tersembunyi” yang
memalingkan dari sesuatu yang tidak layak, disamping adanya dorongan-dorongan
naluriah terhadapnya. Allah menghendaki agar manusia mengetahui ‘Inayah Ilahi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga
akan memudahkan keimanan terhadap risalahnya dan menjauhkan faktor-faktor
keraguan terhadap kebenarannya.***
B.
Perniagaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Harta Khadijah dan
pernikahannya.
Khadijah, menurut riwayat
Ibnu Katsir dan Ibnu Hisyam, adalah seorang pedagang yang mulia dan kaya.
Beliau sering mengirim orang kepercayaannya untuk berdagang. Ketika mendengar
tentang kejujuran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kemuliaan akhlaknya, Khadijah mencoba memberi amanat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan membawa dagangannya ke Syam (sekarang Palestina, Syiria, Lebanon dan
Yordania).
Khadijah membawa barang
dagangan yang lebih baik dari apa yang dibawakan kepada orang lain. Dalam
perjalanan dagang ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditemani Maisarah, seorang kepercayaan Khadijah. Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerima tawaran ini dan berangkat ke Syam bersama Maisarah meniagakan harta
Khadijah. Dalam perjalanan ini, Nabi berhasil membawa keuntungan yang berlipat
ganda sehingga kepercayaan Khadijah bertambah terhadapnya. Selama perjalanan
tersebut, Maisarah sangat mengagumi akhlak dan kejujuran Nabi. Semua sifat dan
perilaku itu dilaporkan oleh Maisarah kepada Khadijah. Khadijah tertarik kepada
kejujurannya dan ia pun terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari
perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Khadijah kemudian menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
perantara Nafisah binti Muniyah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyetujuinya kemudian Nabi menyampaikan hal itu kepada
paman-pamannya. Setelah itu, mereka meminang Khadijah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari paman
Khadijah, Amr bin Asad. Ketika menikahinya, Nabi berusia dua puluh lima tahun,
sedangkan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Sebelum menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah
pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’idz at-Tamimi dan yang kedua
dengan Abu Halah at-Tamimi.[4]
Beberapa
‘Ibrah
Usaha menjalankan perniagaan
Khadijah ini merupakan kelanjutan dari kehidupan mencari nafkah yang telah
dimulainya dengan menggembalakan kambing. Hikmah dan ‘ibrah mengenai ini telah dijelaskan sebagaimana pembahasan
sebelumnya.
Mengenai keutamaan dan
kedudukan Khadijah dalam kehidupan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia tetap mendapatkan kedudukan yang tinggi
disisi Rasulullah sepanjang hidupnya. Telah disebutkan didalam riwayat Bukhari
dan Muslim bahwa Khadijah adalah wanita terbaik pada zamannya.
Bukhari dan Muslim
meriwayatkan bahwa Ali radiallahu ‘anhu
pernah mendengar Rasulullah bersabda,
Sebaik-baiknya
wanita (langit) adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baiknya wanita (bumi)
adalah Khadijah binti Khuwailid.[5]
Bukhari dan Muslim juga
meriwayatkan dari Aisyah radiallahu
‘anha, ia berkata,
Aku tidak pernah
cemburu kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali kepada
Khadijah sekalipun aku tidak pernah bertemu dengannya. Apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing, beliau berpesan, “Kirimkan
daging kepada teman-teman Khadijah.” Pada suatu hari, aku memarahinya lalu aku
katakan, “Khadijah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,
“Sesungguhnya aku telah dikaruniai cintanya”.[6]
Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Masruq dari
Aisyah radiallahu ‘anha, ia berkata,
Hampir tidak
pernah Rasulullah keluar rumah sehingga menyebut Khadijah dan memujinya. Pada
suatu hari, Rasulullah menyebutnya sehingga menimbulkan kecemburuanku. Aku lalu
katakan, “Bukankah ia hanya seorang tua yang Allah telah menggantinya untuk
kakanda orang yang lebih baik darinya?” Rasulullah lalu marah seraya bersabda,
“Demi Allah, Allah tidak menggantikan untukku orang yang lebih baik darinya.
Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakanku, dia membela dengan hartanya ketika orang-orang menghalaingku,
dan aku dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak sama
sekali dari istri lainnya.”
Sehubungan dengan pernikahan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan Khadijah, kesan yang peertama kali didapatkan dari pernikahan ini ialah
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sama sekali tidak memperhatikan faktor kesenangan jasadiah.
Seandainya Rasulullah sangat memperhatikan hal tersebut, sebagaimana pemuda
seusianya, niscaya beliau mencari orang yang lebih muda atau minimal orang yang
tidak lebih tua darinya. Tampaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan Khadijah karena
kemuliaan akhlaknya diantara kerabat dan kaumnya, sampai ia pernah mendapatkan
julukan ‘Afifah Thahirah (wanita
suci) pada masa Jahiliyah.
Pernikahan ini berlangsung
hingga Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mendekati usia 50 tahun, tanpa berfikir selama masa ini untuk menikah dengan
wanita atau gadis lain, padahal usia antara 20 sampai 50 tahun merupakan masa
bergejolaknya keinginan atau kecenderungan untuk menambah istri karena dorongan
syahwat.
Akan tetapi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melampaui masa tersebut tanpa pernah berfikir untuk memadu Khadijah. Seandainya
beliau mau, tentu beliau akan mendapatkan istri tanpa bersusah payah menentang
adat atau kebiasaan masyarakat. Terlebih lagi, beliau menikah dengan Khadijah
yang berstatus janda dan lebih tua darinya.
Hakikat ini akan membungkam
mulut orang-orang yang hatinya terbakar oleh Islam dan kekuatan pengaruhnya
dari kalangan misionaris, orientalis dan antek-antek mereka.
Mereka mengira bahwa tema
pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam akan dapat dijadikan sasaran empuk untuk menyerang Islam dan
merusak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dibayangkan bahwa mereka akan mampu mengubah citra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimata
semua orang, sebagai seorang seks maniak yang tenggelam dalam kelezatan
jasadiah.
Para misionaris dan sebagian
besar orientalis adalah musuh-musuh bayaran terhadap Islam yang menjadikan
“Penikaman Agama (Islam)” sebagai profesi unntuk mencari nafkah. Adapun para
murid mereka yang tertipu, kebanyakan memusuhi Islam karena taqlid buta, sekadar ikut-ikutan tanpa
berfikir sedikitpun, apalagi melalui kajian. Permusuhan mereka (para murid
orientalis) terhadap Islam tak ubahnnya seperti lencana yang digantungkan
seseorang diatas dadanya sekadar supaya diketahui orang keterkaitannya dengan
pihak tertentu. Seperti diketahui, lencana itu tidak lebih dari sekadar simbol.
Karena itu, permusuhan mereka terhadap Islam tidak lain hanyalah simbol yang menjelaskan
identitas mereka kepada semua orang, bahwa mereka bukan termasuk dari bagian
sejarah Islam, dan bahwa loyalitas mereka hanyalah sekadar lencana yang
menjelaskan identitas diri mereka ditengah kaumnya, bukan suatu hasil pemikiran
untuk pengkajian atau argumentasi.
Jika tidak, tentu tema
pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam merupakan dalil yang dapat digunakan oleh Muslim yang mengetahui
agama dan mengenal sirah nabinya
untuk membantah tikaman-tikaman para musuh agama ini.
Mereka bermaksud
menggambarkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai seorang pemburu seks yang tenggelam dalam
kelezatan jasadiah, padahal tema pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini saja sudah cukup sebagai dalil
untuk membantah tuduhan tersebut.
Seorang pemburu seks tidak
akan hidup bersih dan suci sampai menginjak usia 25 tahun dalam suatu
lingkungan Arab jahiliyah seperti
itu, tanpa terbawa arus kerusakan yang mengelilinginya. Seorang pemburu seks
tidak akan pernah bersedia dengan seorang janda yang lebih tua darinya,
kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik kepada wanita-wanita lain yang
juga menginginkannya, sampai melewati masa remajanya, kemudia masa tua dan
memasuki pascatua.
Adapun pernikahannya setelah
itu dengan Aisyah kemudian dengan yang lainnya, maka masing-masing memiliki
kisah tersendiri. Setiap pernikahan memiliki hikmah dan sebab yang akan
menambah keimanan seorang Muslim kepada keagungan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesempurnaan akhlaknya.
Tentang hikmah dan sebabnya,
yang jelas pernikahan tersebut bukan untuk memperturutkan dorongan seksual,
sebab seandainya demikian, niscaya sudah dilampiaskan pada masa-masa
sebelumnya. Terlebih lagi, pada masa-masa tersebut, pemuda Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum memikirkan dakwah dan
permasalahannya yang dapat memalingkan dari kebutuhan nalurinya.***
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kedatangan Nabi akhir zaman yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya
sudah jauh-jauh dikabarkan oleh kitab-kitab terdahulu seperti dalam Injil dan
Taurat. Hal ini juga dibuktikan tatkala pendeta Nasrani yang bernama Bahira
telah melihat sendiri tan-tanda kenabian pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi
pada akhirnya orang-orang Nasrani dan Yahudi malah enggan mengakui Nabi
Muhammad sebagai penutup para Nabi hingga mereka menyembunyikan bahkan merubah
isi kandungan tentang kebenaran Nabi Akhir Zaman didalam kitab-kitab mereka.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menunjukkan akhlak-akhlak yang begitu mulia bahkan
diusianya yang masih sangat muda. Salah satunya ialah, beliau diusia 12 tahun
telah belajar hidup mandiri, hal ini dibuktikannya dengan mencari rezeki dengan
cara menggembalakan kambing. Tentu saja hal tersebut berbeda jauh dengan
anak-anak muda seusianya yang lebih memilih hidup berhura-hura dan berbuat
banyak kenistaan.
Selain itu Rasulullah dikenal jujur dan dapat
dipercaya dalam menjalankan barang dagangan milik Khadijah, sehingga lambat
laun Khadijah mulai tertarik terhadapa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan hendak menikahinya. Sehingga pada akhirnya mereka
menikah dan kesetian serta kecintaan Khadijah turut dibuktikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
rangka perjuangan beliau untuk menegakkan Agama Allah yakni Islam sampai akhir
hayatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Fiqhus Sirah : Dirasat Manhajiah ‘Ilmiah li
Siratil-Musthafa ‘alaihish-Shalatu was-Salam, Lebanon : Darul Fikr 1397
H/1977 M
[1]
Diringkas dari Sirah Ibnu Hisyam, 1/180; diriwayatkan
oleh Thabari didalam Tarikh-nya,
2/287; Baihaqi didalam Sunan-nya; dan
Abu Nu’aim didalam al-Hilyah. Diantara
riwayat-riwayat ini terdapat sedikit perbedaan menyangkut beberapa rincian
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari
[3]
Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir
dan Hakim dari Ali bin Abi Thalib. Hakim berkata tentang riwayat ini,
“Periwayatan ini sesuia dengan syarat Muslim.” Diriwayatkan oleh Tabrani dari
hadits Ammar bin Yasir.
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Sayyid an-Nas
dalam ‘Uyunul Atsar, Ibnu Hajar dalam
al-ishabah dan lainnya.
[5]
Kata ganti didalam kata nisa’iha seperti ditunjukkan oleh
riwayat Muslim kembali kepada langit untuk yang pertama (Maryam) dan kepada
bumi untuk yang kedua (Khadijah). Berkatalah Ath-Thaibi, “Kata ganti yang
pertama kembali kepada umat dimasa Maryam hidup, yang kedua kembali kepada umat
ini.” Lihat Fat-hul Bari. 7/91
[6] Muttafaq ‘alaih, lafal ini bagi Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar